10. Entierro.

16 6 2
                                    

"Jangan pernah berpikir bahwa peran seseorang
di hidupmu tak berdampak apa pun pada kehidupanmu."
-Bumantara Harsa Albara.




Happy Reading.

"Bunuh semua manusia yang ada di rumah ini! Jangan biarkan satu pun dari mereka berhasil lolos dari pandangan!" Wanita bagaikan pemimpin pasukannya itu menunjuk segala sisi rumah tersebut. Masuk tanpa permisi, berteriak dengan lantang memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi satu keluarga yang tinggal di rumah ini.

"Tapi Bos, hanya orang tua-" Salah satu anak buah wanita itu tak dapat menyelesaikan kalimatnya, wanita bersurai seleher itu sudah berujar, "Aku bilang, bunuh semua manusia yang ada di rumah ini. Tidak mengerti? Jadilah bagian dari mereka, biar aku yang melayangkan peluru ini tepat di dahimu."

Merasa takut dengan kalimat yang menimbulkan hawa mencekam itu, saliva perempuan cantik itu susah untuk ditelan. Dengan cepat, ia mencari keberadaan anak-anak dari kedua manusia bersalah yang menjadi target bunuh Bos dan Bos besar mereka.

Memasuki satu persatu ruangan yang ada di rumah luas ini membuatnya kewalahan, ditambah lagi hanya dirinya seorang yang berpisah dari rombongan untuk mencari dua insan tak bersalah itu.

"Kenapa tak mengajak orang lain?" tidak ada manusia yang dapat dipercayai di sana.

Ruangan terakhir di rumah ini sudah dibuka pintunya, namun hanya kegelapan yang terdapat di pandangannya. Ia tak akan tahu bahwa di sana ada orang lain bila anak perempuan tak memanggilnya, "Nona ..." Sontak perempuan itu menoleh ke sumber suara, suara seorang gadis kecil membuatnya bernapas lega, di sini ternyata anak yang ia cari.

Dengan cepat perempuan berkuncir kuda itu berjongkok di hadapan gadis kecil itu, meski pandangannya hanya kegelapan semata, ia tahu bahwa di sana terdapat manusia. "Sara, adikmu bersamamu, 'kan?" Gadis kecil itu mengangguk dan menunduk untuk memberitahukan bahwa sang adik masih tertidur di dekapannya, membuat buliran-buliran bening dari mata indahnya terjatuh.

"Siapa mereka ... kenapa mereka membawa itu ...?" Isak Sara yang masih tertahan, ia menahan ketakutan saat itu agar tak membangunkan Harsa, sang adik.

Perempuan dengan air mata yang tertahan itu menunduk, mengusap hidungnya yang terasa basah hingga menimbulkan suara di tengah-tengah gentingnya situasi di luar sana. Dengan cepat ia meletakkan pistolnya untuk menggenggam kedua bahu anak perempuan di hadapannya ini.

"Kamu enggak boleh kabur ke mana-mana, ya. Diam di sini sampai semuanya baik-baik aja," Lagi-lagi perempuan itu tertunduk untuk meredam tangisan. Membuat Sara semakin dikuasai oleh rasa takut dan bingung, "Orang tua kamu bakal ditahan untuk beberapa saat karena kesalahan yang mereka perbuat, kamu ... bisa menjaga Harsa selama mereka ditahan, 'kan?" Dengan air mata yang telah meluruh, perempuan itu berusaha meyakinkan gadis kecil itu. Air matanya tak kuat bila tak tumpah saat melihat Sara menggeleng pelan menatapnya.

"Mereka buat kesalahan, orang yang salah harus ditahan untuk sementara agar mereka bisa melamuni kesalahan mereka. Kamu harus menerima kepergian mereka, ya?" Karena sudah lelah menatap wajah Sara, perempuan itu dengan cepat memeluk raga rapuh gadis kecil itu. Mengusap pelan kepala dan punggung untuk menyalurkan kekuatan.

Lumen Spei. [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang