8. Partida.

24 6 1
                                    

"Meski hingga akhir hayatku pun
kita tak berada di pihak yang sama,
aku tetap senang mengenalmu."
-Violeta Yanara Sandykala.

️⚠️KEMAREN LUPAA NGASIH WARNING PLIZ t__t⚠️




Happy Reading.

"Eth,"

Mendengar suara pelan dari saudara angkatnya membuat gadis yang dibalut mantel berwarna cokelat susu itu menoleh. Mendapati Rathea yang tadi berdiri di ambang pintu kini melangkah masuk.

"Lo mau ke mana?"

Tanpa melihat ke arah Rathea lagi, gadis dengan beberapa baju di tangannya itu kemudian kembali menyibukkan diri. Menata beberapa pakaian yang akan dibawanya nanti.

"Eth," panggil Rathea sekali lagi. Barulah saudara angkatnya itu menoleh, menatap kedua netranya setelah mengembuskan napas kasar.

"Suatu tempat," Kini Hiraeth tak hanya diam di tempat untuk menata pakaiannya, gadis itu kini tengah mencari sesuatu di laci meja riasnya.

"Ke mana pun lo pergi, hati-hati, ya."

Pergerakan adik angkat dari dua saudara itu menoleh, mendapati sang Kakak, yaitu Rathea tengah berjalan ke balkon kamarnya. Melihat itu, Hiraeth tentu tak ambil pusing, karena ia tahu bahwa Rathea akan merokok di balkon yang mengarah ke timur itu.

"Gue pergi dulu," Hiraeth berucap, berpamitan dengan Rathea meski tak kunjung mendapat jawaban. Dengan gaya jalan khas dirinya, Hiraeth melangkah ke luar kamar. Sembari menyeret koper di tangan kiri dan memegang ponsel di tangan kanan.

Seperginya Hiraeth, Rathea kemudian duduk, di salah satu dari dua kursi yang ada di balkon kamar saudara angkatnya itu. Setelah mendengar kedua orang tuanya tengah bercakap dengan Hiraeth untuk berpamitan, ia mengeluarkan rokoknya. Setelah dihidupkannya korek api dan diarahkan ke ujung rokok itu, mulut gadis itu kemudian menghisap ujung yang tak terbakar.

Melihat Hiraeth sudah memasuki mobil travel yang sedari tadi menunggu di depan rumah membuatnya mengembuskan asap dari rokok tersebut. Menatap kepergian Hiraeth malam itu tak membuatnya merasa sedih, ia justru merasa senang karena pasti akan dapat merekam apapun yang dikatakan dua bajingan itu.

"Thea," tanpa melihat ke sumber suara pun, gadis itu tahu siapa yang memanggilnya. "Berhenti merokok di kamar Hiraeth, baunya pasti menempel di dinding kamarnya. Kamu lupa dia punya asma?"

Rathea yang merasa bahwa sang Ibu masih berada di ambang pintu kemudian bangkit, menatap ke dalam dari pintu yang mengarah ke dunia luar.

"Gue enggak lupa akan hal itu, jadi lo enggak usah sok sayang dengan gue." Mendapati ekspresi yang menahan amarah itu membuat Rathea tersenyum, apa lagi ketika sang Ibu membanting keras pintu ruangan itu.

•••

Flashback on.
Rathea's Point of view.

Mendengar suara keras dari kamar belakang membuatku bangkit. Kaki kecilku berusaha untuk menginjak lantai kamar tidur ini. Setelah berhasil turun dari kasur tanpa membangunkan Hiraeth, aku menghela napas pelan, lega rasanya jika gadis yang sensitif dengan pergerakan saat dirinya tidur itu tak terbangun ketika aku mulai melangkah ke luar.

Lumen Spei. [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang