12

828 88 5
                                    

Di dalam kamar dengan penerangan yang hanya berasal dari lampu tidur, Yoongi duduk bersandar pada headboard. Tangannya sibuk mengelus surai halus milik Jimin yang juga tengah bersandar pada dada bidangnya. Tidak lupa selimut yang menutupi separuh badan mereka.

"Sejak kapan dia ada?" Tanya Yoongi tanpa menghentikan usapannya.

"Entah. Aku baru tau tadi." Jawab Jimin yang semakin menyamankan diri di pelukan sang suami.

"Maaf aku sempat menuduhmu dan anak kita. Karena aku pun tidak menyangka kalau aku telah melakukannya padamu."

"Tidak apa-apa. Wajar kan? Lagi pula kau sedang mabuk berat saat itu."

"Bantu aku meyakinkan diri ya?"

Jimin mengangguk, lalu mendongak menatap Yoongi dan tersenyum. "Baby akan bantu Daddy untuk meyakinkan diri."

"Baiklah... Emm... Mau dipanggil apa? Mommy?"

"Mommy? Aku pria. Panggil aku Papa!"

"Baiklah Papa."

Chup!

Sebuah kecupan mendarat di kening si manis yang memunculkan semburat merah di pipi gembilnya.

"Manisnya Papa Baby!" Goda Yoongi, membuat sang suami sontak memukul dadanya.

"Awwhhh.. Sakit Papa. Kenapa Daddy dipukul?" Dengan bibir yang sedikit mengerucut, si pria Min memasang raut merajuk yang dibuat-buat.

"Wajahmu jelek sekali." Ucap Jimin dengan mimik yang terlihat sangat santai.

"Jelek tapi kau cinta kan?"

"Kata siapa?"

"Kataku barusan."

"Aku hanya cinta uangmu saja. Tidak denganmu. Sekarang beri suamimu ini uang!" Jimin mengangkat salah satu tangannya dan menengadah di depan wajah Yoongi.

"Aku tidak punya uang. Aku miskin. Aku hanya punya cinta untukmu. Mau?"

"Untuk apa cinta kalau tidak ada uang?"

"Memang uang mengalahkan segalanya. Bahkan suamiku sekarang jadi gila uang."

"Iya, suamimu ini jadi gila uang sejak menikah dengan pewaris tunggal keluarga Min. Sekarang beri aku uang! Mana uangku."

"Kau ingin uang?"

"Yah."

"Baiklah, ini uangmu!" Tubuh Jimin terlonjak saat Yoongi tiba-tiba menarikan tangan, menggelitik tubuh mungil suaminya.

Suara tawa keduanya menggema memenuhi kamar hingga sebuah getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Sejenak kedua insan itu saling tatap, kemudian diraihnya ponsel yang berada di atas meja nakas oleh si manis.

Terdiam, Jimin hanya menatap layar ponselnya yang menampilkan nama orang yang sangat dia kenal membuat Yoongi mengerutkan kening melihat keterdiaman sang suami.

"Siapa?" Tanya pria Min.

Perlahan si manis menoleh dan menatapnya. "Taehyung. Boleh aku angkat?"

Ikut terdiam, Yoongi kemudian menghela nafas sejenak dan mengangguk. "Loudspeaker!"

Jimin mengangguk lalu menggeser tombol hijau. "Ya Tae, ada apa?"

"Jimin, bagaimana kabarmu? Maaf aku tidak bisa mengunjungimu akhir-akhir ini karena pekerjaanku sangat banyak."

"Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, Tae! Aku mengerti."

"Besok aku free. Emm... Bisa kita bertemu?"

Sontak saja Jimin kembali menoleh dan mendapati wajah sang suami yang terlihat kesal dengan kening yang berkerut serta alis yang menukik.

"Boleh?" Tanya Jimin tanpa suara.

Melirik sekilas, Yoongi lalu mengangguk menyetujui.

"Bisa, Tae! Dimana kita akan bertemu?"

"Sungguh?"

"Yah."

"Kalau begitu kita bertemu di cafe xxx jam 8 pagi!"

"Baiklah sampai jumpa." Jimin segera meletakkan kembali ponselnya setelah panggilan terputus dan beringsut masuk ke dalam pelukan Yoongi.

"Jangan marah."

"Hmm. Sekarang tidur! Ini sudah larut, kau harus banyak istirahat, ingat?"

Jimin mengangguk dan semakin menyamankan diri. Tidak lama kemudian mata cantik itu terpejam. Namun belum sampai satu menit dia kembali membukanya.

"Yoongi!"

"Hmm."

"Eomma? Apa Eomma akan memaafkan kita?"

"Aku juga tidak tau. Tapi kau tenang saja, aku akan kembalikan kepercayaan Eomma pada kita. Lagi pula kita juga sudah memusnahkan surat kontrak itu kan?" Ucap Yoongi yakin yang dibalas anggukan dari si manis.

•••

Chaerin tengah duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya memegang sebuah bingkai yang berisi foto pernikahan sang putra. Senyuman manis terlihat jelas di wajah mereka hingga tidak ada yang menyadari bahwa sebenarnya pernikahan itu terselenggara dengan adanya kesepakatan kontrak.

"Maaf, aku belum bisa memaafkan kalian. Aku masih kecewa dengan keputusan kalian. Tapi aku turut bahagia dengan kehadiran calon anak kalian, cucuku dan pewaris keluarga Min."

PRANGG

Sebuah suara pecahan tiba-tiba terdengar, membuat Chaerin yang hendak meletakkan kembali bingkai tersebut terkejut. Untung saja tidak sampai menjatuhkannya.

"Apa itu?" Dengan rasa penasaran, si ratu Min berjalan keluar kamar dan melangkah menuju asal suara yang diduga dari dapur.

•••

Kaki dengan sandal rumahan sebagai alas itu berhenti melangkah sebelum menuruni anak tangga. Netranya menangkap sosok mungil yang tengah merunduk sembari mencengkram kuat sandaran kursi meja makan. Pecahan beling juga terlihat berserakan di lantai dengan air yang sebelumnya mengisi penuh.

Rasa khawatir tiba-tiba menghantui ibu satu anak itu kala kembali melihat sang menantu semakin merunduk nyaris membungkuk dengan cengkraman tangan yang menguat. Walaupun sudah berumur, matanya masih dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi pada menantu kesayangannya dari jarak sejauh itu.

Hendak menghampiri, namun lagi-lagi urung saat ingatannya kembali menampilkan deretan huruf yang dibacanya tempo lalu.

Lebih mendengarkan ego, Chaerin pun memilih untuk berbalik dan kembali ke kamar. Mencoba mengabaikan sang menantu yang terlihat tengah menahan sakit.




Kontrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang