Part 8

378 47 10
                                    

"Bukankah sudah kubilang, bila waktunya tiba, akan kubawa hubungan kita ketingkat yang lebih serius, dan sekaranglah waktunya." Ucap Jisoo mengecup kening Jennie sedikit lebih lama. "Secepatnya aku akan menemui keluargamu..."

"Tidak. Tidak perlu."

"Maksud kamu?"

"Tidak perlu, Ji. Kamu tidak perlu menemui keluargaku."

Jisoo mengerutkan keningnya. Bingung dengan ucapan wanitanya itu. "Kenapa? Apa kamu tidak mau menikah denganku?"

Jennie menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu menangkup kedua pipi sang pacar. "Aku wanita terbodoh, jika menolak menikah dengan lelaki sempurna sepertimu. Tapi, kita masih muda, Jisoo..."

"Umur 29 tahun itu bukan lagi muda, Jennie."

Sungguh Jisoo tidak mengerti pikiran sang pacar. Tahun ini, Jennie berumur 29 tahun dan Jisoo berumur 30 tahun. Mereka itu termasuk umur yang sangat matang untuk membangun sebuah keluarga. Dan mereka berpacaran sudah masuk tahun ke 5. Itu bukanlah waktu sebentar untuk mengetahui sifat dan kebiasaan mereka masing-masing.

Jennie mengusap lembut kedua pipi Jisoo. Berharap lelaki di depannya ini mengerti yang dia maksud. "Oke. Tapi di umur segitu masih banyak yang belum kita capai. Contohnya karir dan keuangan..."

"Tunggu." Ucap Jisoo, menghentikan ucapan Jennie. "Karir? Apa kamu mesti jadi kepala divisi, baru ingin aku nikahi? Apa aku mesti naik jabatan jadi kepala bidang dulu, baru kamu mau menikah denganku?"

Sejenak Jennie dan Jisoo saling menatap dalam diam. Berbeda pendapat seperti ini bukanlah pertama kali bagi mereka. Namun kali ini, permasalahan yang mereka hadapi lebih berat dari sebelumnya. Kematangan dalam berpikir adalah kunci untuk mendapatkan solusinya.

"Jennie..." Panggil Jisoo lembut, sambil mengusap kedua tangan sang pacar yang menangkup pipinya. "Jangan terlalu mengkhwatirkan tentang keuangan. Kita berdua bekerja, Jen. Walau nanti kamu resign, aku masih bisa memenuhi kebutuhan kita. Bukankah kita sudah menabung sejak 2 tahun yang lalu."

"2 tahun itu belum cukup, Ji. Untuk biaya pernikahan aja masih kurang. Apalagi nanti ada anak diantara kita. Jadi... hm..."

"Jadi?"

"Bagaimana kalo kita menundanya dulu. Menunda mempunyai anak..."

"Maksud kamu?"

"Hm, a-aku berniat buat g-gu..."

"Jangan pernah berpikir sampai kesana, Jennie!" Ucap Jisoo, sedikit menaikan volume suaranya. Lalu menyingkirkan kedua tangan Jennie dari pipinya, bangkit dan duduk di tepi kasur, membelakangi Jennie.

"Tapi, Ji..." Ucap Jennie, yang juga bangkit dan duduk mengikuti Jisoo.

"Gak ada tapi-tapian." Jisoo menatap wanita di sampingnya. "Aku tidak akan pernah mengizinkan kamu melakukan itu." Ucapnya lagi tegas.

Kembali mereka saling menatap sejenak dengan pikiran masing-masing. Hingga Jisoo kembali bersuara.

"Aku percaya, setiap anak itu berharga, termasuk yang masih berbentuk janin. Mereka berhak untuk hidup. Mereka berhak menghirup udara bebas. Mereka berhak melihat dunia. Mereka berhak merasakan kebahagian kedua orangtuanya. " Ucap Jisoo, mulai melembut. Diraihnya kedua tangan Jennie. "Sayang, anak itu titipan Tuhan. Dan mereka hadir membawa rezeki untuk ibu dan ayahnya." Ucapnya lagi, meremas lembut kedua tangan sang pacar. "Jadi kamu jangan khawatir tentang apapun lagi ya..."

Jennie menatap dalam kedua mata teduh Jisoo, sebelum mengangguk pelan.

"Aku janji, aku akan selalu ada di samping kamu, menemanimu melewati masa-masa kehamilanmu, Jennie."

Dia Dia DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang