10. LYING BROTHER

11 6 0
                                    

Tidak mudah bagi Aji untuk membujuk kedua abangnya. Apalagi dengan riwayat ia pernah sakit saat mencoba untuk bekerja. Kali ini Aji harus menyiapkan alasan yang menarik, setidaknya Wira dan Dika percaya jika ia bukan Aji yang dulu.

Aji menggigiti kukunya sambil menggoyangkan kedua kakinya di tengah jam pelajaran siang ini. Seakan ia sedang memikirkan jawaban kuis dari soal yang ada di depan sana. Sayangnya, otaknya terlalu kosong untuk menjawab deretan angka yang diberikan oleh gurunya.

"Gimana, Aji? Kamu dapat jawabannya?" tanya guru yang sejak tadi tengah memperhatikan Aji. Akan tetapi, Aji menggelengkan kepala, lalu tersenyum. Akhirnya Aji memutuskan untuk keluar kelas. Sebelum jam istirahat dimulai, ia harus mengisi perutnya lebih dulu.

Seperti biasa, Aji melahap makanannya dengan cepat. Tidak butuh waktu lama dan ia sudah kembali ke kelasnya. Namun, setelah perutnya diisi, ide itu tak kunjung muncul.

"Gue harus cari duit kemana lagi, dah," keluh salah satu teman kelas Aji yang duduk di belakang. Dia sedang bicara dengan teman sebangkunya dan secara tidak sengaja Aji mendengarnya. "Si Ana bentar lagi ulang tahun, mana waktu itu dia beliin gue sepatu."

"Kerja makanya. Kalau punya pacar lo harus punya uang, haha," ledek teman sebangkunya.

Aji masih mendengarkannya, tapi beberapa saat kemudian ia menggelengkan kepalanya. Ide itu terlalu tak masuk akal. Aji tidak akan melakukannya.

-LYING BROTHER-

"Bang, gue harus kerja, Bang." Aji masih berusaha meyakinkan Dika. Kali ini dia tidak peduli dengan tatapan tajam laki-laki itu lagi, sebab Aji tahu Dika sama baik hatinya dengan Wira. Minus pada tampangnya saja yang sangar.

"Lo udah berapa kali gue bilangin, Ji. Disuruh belajar aja susah. Kalau bilang lo gak mau jadi beban. Lo gak beban sama sekali. Asalkan lo pastiin aja itu rumah gak berantakan udah aman."

Aji menghela napas, "Masalahnya gak gitu, Bang. Gue perlu uang."

"Buat apa? Bakal gue bantu."

"Emang lo mau bantu kalau uangnya buat pacar gue?"

"Si bego!" Dika langsung memukul kepala Aji dengan handuk kecil yang sejak tadi berada di lehernya. "Lo udah punya pacar?" tanya Dika untuk memastikan dan Aji mengangguk pelan. Setelah ia mendapatkan pekerjaan, Aji berjanji akan meminta maaf kepada abangnya.

"Gak sopan banget lo, abang-abang lo gak ada yang punya pacar, tapi lo?"

Aji mengulum bibirnya dan tersenyum tipis. Ia masih berusaha untuk membujuk abangnya agar memberikan izin. Namun, yang ditunggu tak kunjung merespon.

"Jadi, gimana Bang?"

"Gak tau, dah. Tanyain ama Wira dulu. Gue gak tau mau respon gimana." Dika hanya bisa menggelengkan kepala, tidak percaya jika adiknya memang sudah besar.

"Seharusnya Bang Wira kasih izin, dia juga deket sama guru di sekolah gue. Bang Wira yang ngomong sendiri waktu itu," kata Aji untuk mengompori Dika "Lo gak mau nyoba deket sama cewek juga?"

Dika menggelengkan kepala, "Ribet, ntar kalau udah waktunya juga datang sendiri. Lagian susah cari cewek, Ji, apalagi kerjaan gue di bengkel. Makanya lo gue suruh kuliah biar bisa cariin gue cewek," jelas Dika dan diakhiri dengan tawa.

Dika tidak memperpanjang lagi. Keputusannya tetap menunggu dari Wira. Aji sudah bisa membayangkan abangnya itu akan memberikan izin. Sepertinya tak masalah memberikan pelukan kepada mereka untuk rasa terima kasih.

Motor sayang, sebentar lagi kujemput, batin Aji. Meski dia juga belum yakin kapan akan mendapatkan motor yang diinginkannya.

Sayangnya ..., senyum Aji seketika pudar ketika Wira mengetahui jika adiknya itu berbohong. Sosok Aji? Punya pacar? Logikanya saja, untuk sekarang mana mungkin.

"Abang kamu ini jangan ditipu, Ji. Tau abang, mah," timpal Wira ketika Aji menjelaskan kepada abangnya. Dia mengatakan kalimat yang sama kepada Dika sebelumnya, tapi bedanya Wira tak percaya sama sekali.

"Abang sok tau, Aji sama dia backstreet," jawab Aji. Ia masih mencoba meyakinkan Wira.

"Kalau ada buktinya abang bakal izinin kamu kerja."

Aji terdiam, dia tidak bisa membuktikannya dan untuk kedua kalinya, Aji mendapatkan pukulan dari Dika.

"Udah berani lo bohongi gue, ya?"

Aji hanya bisa menyandarkan bahunya yang lemah. "Apa salahnya, sih, kerja?" rutuknya kesal.

"Apa salahnya, sih, lo nikmatin apa yang ada. Kita emang gak sekaya orang di luar sana, tapi lo bisa menikmati apa yang lo mau. Seharusnya lo seneng Fajriii!!" Dika menoyor kepala adiknya dan berlalu keluar rumah.

-LYING BROTHER-

Bukan si bungsu namanya jika dia tak keras kepala. Kali ini dia tak membutuhkan izin dari abangnya. Aji akan bekerja tanpa sepengetahuan mereka berdua. Namun, ia masih bingung harus melakukan apa secara diam-diam.

Kemarin Aji menanyakan apakah di kantin sekolah mau menerimanya menjadi karyawan, tapi yang berjualan di kantin tau dengan keajaiban tangan Aji. Pasalnya saat makan saja dia sering menumpahkan air di meja. Bagaimana jika ia bekerja.

Aji bisa bekerja dengan tenang asalkan dia sendiri, seperti mencuci piring di restoran dulu. Intinya tidak ada interaksi dengan orang lain. Aji bingung ... ia harus melakukan apa dan pada akhirnya hanya bisa memasrahkan diri.

Aji hari ini tidak masuk les, dengan alasan ada kelas tambahan. Padahal dia berkunjung ke makam mamanya. Sejauh ini Aji memang tidak mengatakan kepada abangnya jika masih sering ke tempat mamanya itu. Menurut Aji, abangnya akan marah.

"Ma, emang iya kalau mama masih hidup, mama bakal larang Aji kerja? Padahal Aji udah gede, ma. Temen Aji banyak yang kerja kok. Apalagi Aji cowok, ma. Seharusnya bangga kalau Aji udah bisa sendiri, tapi kenapa dilarang?"

"Ribet tau, ma, tinggal di sini. Semuanya dilarang. Kalau di sana gak, kan? Kapan kita bisa barengan, Ma? Aji kangen, Aji penasaran lihat gimana cantiknya mama. Pasti cantik banget, kan? Soalnya anak-anaknya juga ganteng."

Aji mengusap nama mamanya dan menghela napas. Meski sudah berdamai dengan abangnya, tapi keinginan untuk bertemu dengan mamanya belum hilang. Pergi dari dunia untuk menyusul mamanya adalah tujuan Aji hingga saat ini.

"Ma, bujuk Tuhan di sana, ma. Bilang kalau mama kangen sama bungsunya ini. Mama emang gak kangen atau mama gak mau ngeliat anaknya yang udah ganteng?" Aji duduk di atas batu dan menyilakan kakinya. "Buat ke sana gak perlu ijazah SMA, kan? Setau Aji, gak kok, Ma. Lagian kasian abang, nanti udah capek biayai Aji kuliah, tapi Aji keburu nyusul mama. Mending perginya dari sekarang, kan?"

Aji menghela napas dan mengusap sudut matanya, entah sejak kapan ada buliran air di sana. "Aji beneran pengen ketemu sama mama. Aji punya tujuan baru, Aji pengen motor, tapi abang gak izinin Aji kerja kalau gak kerja gimana dapatinnya. Jadi, Aji balik sama tujuan awal. Ketemu sama mama."

-LYING BROTHER-

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang