24. LYING BROTHER

9 5 0
                                    

Wira POV

Entah kenapa aku kehilangan kendali dalam diriku sendiri. Awalnya aku merasa mengikhlaskan kepergian sosok saudara yang sudah bersama sejak dalam kandungan. Toh, kematian adalah hal yang sudah pasti. Semua manusia akan mendapatkannya. Namun nyatanya, hati kecilku tidak dapat menerimanya.

Satu hari, dua hari, dan hari ketiga ..., aku merasa sakit. Dadaku sesak dan kepalaku kerap terasa sakit, tubuhku begitu lemas dan aku hanya ingin tidur beberapa saat. Namun, hari demi hari aku merasa tidak ingin beranjak dari kasur yang dulunya tempat Dika.

Aku ikhlas, aku ikhlas ..., berulang kali aku mengatakan jika aku ikhlas.

Dadaku kembali merasa sakit. Kata orang, apa yang dirasakan oleh saudara kembar, kita akan merasakannya juga. Ya, memang terbukti saat kematian Dika. Tubuhku tak kalah merasakan sakit hingga aku tak sadarkan diri. Aku merasakan betapa sakitnya yang dirasakan oleh Dika saat itu. Sayangnya rasa sakit itu tidak berhenti sampai di sana, aku terus merasakan sakitnya hingga aku lupa dengan keadaan di sekitarmu, aku bahkan lebih sensitif dari biasanya.

Aku tidak bisa mengenal siapa saja yang ada di lingkunganku.

Dia siapa? Laki-laki tinggi berbadan kurus itu, lalu siapa dua laki-laki lainnya? Kenapa mereka memperdulikanku? Kenapa mereka memaksaku makan, dan kenapa mereka menatapku dengan tatapan kesedihan? Memangnya aku semenyedihkan itu? Siapa mereka?

Aku muak, aku muak dengan mereka semua dan aku muak dengan diriku sendiri. Sebenarnya ada apa denganku? Kenapa kepergian Dika malah membuatku kehilangan semuanya?

Ka, gue harap ini bukan karena ulah lo. Jangan siksa gue.

Benda pipih yang ada di atas nakas ikut mengganggu. Benda itu terus berbunyi, dia seakan tidak memberiku waktu istirahat, dan laki-laki itu kembali datang. Apa yang ia sebutkan? Pekerjaan? Memangnya dia siapa? Siapa dia yang bisa mengaturku seperti itu?

Sungguh, ternyata hidup di dunia ini sangat memuakkan, pantas saja Dika memilih pergi. Lo jahat, Ka, seharusnya lo gak ninggalin gue sendiri. Lo bohong sama gue, lo bilang kita harus sama-sama, bahkan gue sengaja nunggu lo dapat pasangan biar kita bisa nikah bareng. Lo bohong, Ka.

Argh!

Kepalaku kembali terasa sakit dan ..., ponsel yang ada di sampingku menjadi imbasnya. Tangan ini sengaja melemparnya hingga ia benar-benar mati. Setidaknya aku merasa sedikit tenang.

Hari-hariku tidak tenang saat ada orang lain di rumah. Hingga mereka pergi entah kemana, yang pasti sekarang aku tinggal sendiri di rumah ini. Aku berjalan keluar, meski tubuhku menolak, tapi aku berusaha untuk memastikan apakah Dika datang seperti yang ia lakukan jika aku memejamkan mata.

Lo masih di sini, kan? Lo mau jemput gue, kan, Ka?

Melihat makanan di atas meja, aku hanya menatapnya sesaat. Ada tulisan disampingnya dan kembali yakin jika Dika masih ada di rumah ini. Dia belum pergi, lagipula kembaran mana yang rela meninggalkan saudaranya sendiri.

-Lo makan, Wir, badan lo butuh asupan.-

Haha, lucu sekali. Sejak kapan Dika bersikap manis seperti ini. Menggelikan sekali. Namun tak apa, aku akan menghabiskannya. Sayangnya perutku sepertinya mengecil. Untung saja aku sudah membaginya dan Dika bisa memakan sisanya nanti.

Tunggu, kenapa aku membaginya menjadi tiga bagian? Untuk siapa satunya?

Kita punya nasi tambah, Ka?

Entahlah, aku sedikit lupa.

Setiap siang, dikala rumah kosong aku selalu memakan nasi yang ditinggalkan Dika. Namun sayangnya, dia tidak pernah menampakkan dirinya. Menyebalkan sekali. Apa dia tidak mau bertemu karena merasa aku akan ikut dengannya. Jika tidak, aku sendiri yang akan menyusuinya. Lagipula hidup sendiri seperti ini menyebalkan sekali, aku tak punya tujuan sama sekali

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang