12 LYING BROTHER

12 6 0
                                    

Hampir satu minggu Aji tidak mengunjungi makam mamanya dan waktunya untuk bicara dengan mamanya sudah berkurang. Setelah pulang sekolah dia akan langsung ke tempat Gema dan di sana Gema selalu bicara tanpa peduli Aji menimpali atau tidak. Malam pun ia sudah lelah dan akhirnya tertidur pulas.

Sesekali Aji masih menggumam dan mengatakan rindu kepada mamanya, tapi setidaknya ia sudah memiliki semangat untuk tetap hidup. Meski kebiasaan mengatakan ingin bertemu mama belum bisa untuk dihilangkan.

Satu lagi ..., semenjak sering bersama dengan Gema, Aji tau banyak hal tentang abangnya, terutama Dika. Di awal Aji tidak yakin apa yang diceritakan Gema, tapi seiring waktu apa yang dikatakannya masuk akal semua. Dika memang sayang kepada adiknya, tapi tidak tahu bagaimana cara memperlihatkannya.

"Dari kecil dia selalu kurang uang, jadi Dika merasa kalau kebutuhan finansial lo tercukupi lo bakal bahagia. Gue juga anak susah dulunya, harus kerja dulu buat dapat uang. Sedih banget kalau gak ada uang, tapi kita lagi pengen sesuatu. Atau lagi butuh uang, tapi gak ada tempat buat minta, itu rasanya mau mati aja," jelas Gema saat itu.

Dari kecil Aji memang tidak pernah merasa kekurangan uang. Apa yang menjadi kebutuhannya akan dipenuhi oleh Dika atau Wira. Bahkan saat ekonomi mereka juga sedang tidak baik, tapi keduanya akan selalu mengusahakan. Itu sebabnya Aji sering merasa menjadi beban karena abangnya memberikan uang tanpa mengatakan apapun.

"Mereka cuma ngasih uang, Bang. Gak ngomong ini-itu. Uang bakal ditinggal di atas meja trus kirim pesan. Apaan begitu."

"Ya, karena mereka juga bingung kalau ngasih langsung atau ..., mereka harus pergi pagi dan lo belum bangun."

"Ya, emang, tapi apa salahnya bangunin gue."

"Terus lo berharap pas mereka bangunin, mereka bakal bilang, nih uang buat lo. Sebenarnya gue gak ada duit, tapi yaudalah lo pakai aja. Ikhlas gak ikhlas mau gimana lagi. Lo butuh itu. Gak mungkin mereka ngomong gitu, Ji." Gema memukul kepala Aji dengan handuk yang sudah menghitam karena bekas oli itu. "Mereka itu emang abang lo, tapi takdir jadiin mereka orang tua. Mereka juga terpaksa, Ji. Seenggaknya itu jadi alasan lo buat bersyukur."

Setiap hari Aji memang sering mendapatkan wejangan dari Gema. Setelah itu, setiap melihat Dika, Aji akan merasa bersalah. Selama ini Aji merasa Dika itu jahat, manusia cuek tanpa ekspresi, tapi sejauh ini Dika yang selalu mengusahakan apapun untuk Aji.

"Kalau Wira, dia lebih banyak cari uang buat dirinya sendiri, Ji. Biaya kuliah, biaya makan, kebutuhan rumah. Gue tau itu dari Dika juga. Bayangin Dika ngerasa bersalah karena Wira harus berjuang sendiri buat hidupnya. Padahal jarak umur mereka gak nyampe satu jam, Ji, tapi Dika ngerasa bersalah karena gak bisa bertanggung jawab sama adiknya."

Aji menghela napas, "Gue udah bilang makasih sama mereka berdua, tapi dimarahin, Bang. Gue harus gimana coba?" Aji menyandarkan punggungnya, mengingat eksiden beberapa hari yang lalu saat ia dilempar dengan gayung oleh abangnya hanya karena mengucapkan terima kasih.

"Ya, jangan begitu juga caranya. Gak usah ngomong makasi atau apalah, lo balas sama rasa peduli lo, perhatian lo sama mereka, dan menghargai apa yang udah mereka kasih sama lo. Itu bakal bikin mereka seneng banget karena mereka ngeusahain buat bikin lo bahagia juga. Terima aja udah."

Aji kembali menghela napas dan menyandarkan punggungnya. Kepalanya sedang memikirkan bagaimana cara melakukan apa yang dikatakan oleh Gema. Akan sulit hari Aji ke depannya karena dia harus keluar dari zona nyamannya.

-LYING BROTHER-

"Bang, beli nasi padang, yok!" ajak Aji penuh semangat.

"Tumben banget lo ajakin duluan?" tanya Dika yang menatap adiknya penuh curiga, tapi Aji tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Gue lapar, Bang. Kalian di sini aja. Biar gue yang pesan, tapi pinjam motor."

Kali ini Wira yang menatap Aji curiga, "Bilang aja lo mau ketemu sama pacar lo, kan?"

Aji tertawa, "Belum jadi pacar, sih, Bang. Doain aja," jawab Aji seakan mengiakan asumsi abangnya itu.

Aji melajukan motor milik Wira. Padahal ada rumah makan yang dekat, tapi Aji memilih tempat yang jauh karena dia ingin melihat motor yang akan menjadi targetnya. Pacar yang dimaksud Aji adalah motor itu. Setiap ada kesempatan Aji akan melewati sorum motor yang selalu memajang kesayangan Aji di depan sana.

"Tunggu aku. Nanti lulus SMA bakal kujemput." Kalimat yang selalu dikatakan Aji setiap melihat motor sport jenis Yamaha itu. Meski mustahil untuk mendapatkan uang sebanyak itu, tapi tidak ada salahnya untuk bermimpi.

Belakangan ini Aji sudah menerapkan apa yang disarankan Gema. Jika susah, paling tidak Aji bisa memanfaatkan waktu bersama dengan kedua abangnya.

"Gini, Ji, kalau udah pada punya keluarga kesempatan kalian bareng gak bakal banyak. Gue iri banget sampai gue pengen jadi adiknya Dika, tapi dia nolak soalnya tuaan gue dari dia," jelas Gema sambil tertawa saat bersama dengan Aji.

Dan sekarang ... Aji menerapkannya. Makan nasi padang adalah solusi agar bisa bersama dan sekaran Aji juga sadar makna abangnya yang hanya memesan dua bungkus saja. Sebab, di sanalah rasa kenikmatannya, saling merebut jatah makanan.

"Tunggu!" tahan Aji saat kedua abangnya siap menyantap nasi yang baru saja ia beli. "Kita harus bagi biar gak ada yang curang." Aji membagi menjadi tiga bagian, tapi masih ada di tempat yang sama.

Awalnya tidak ada masalah dan mereka makan seperti biasa. Hingga jatah Dika habis lebih dulu dan mengambil jatah nasi yang lain. Wira memukul tangan Dika agar berhenti makan, tapi Dika tidak peduli dan beralih pada Aji.

"Karena lo adik, jadi harus bagi abang," ucap Dika. Namun, Aji malah menggenggam semua sisa nasi miliknya, lalu memasukkan ke dalam mulut. Tidak peduli jika mulutnya terisi penuh dan susah untuk mengunyah.

Wira juga memiliki trik yang jelas membuat Aji merasa jijik melihatnya. Bagaimana bisa Wira meludahi makanannya sendiri agar Dika tidak makan miliknya.

"Lo jorok banget, woi!" teriak Dika, tapi Wira malah tersenyum dan melanjutkan menyuap nasi.

"Demi perut gue, gue bakal lakuin apa aja."

Aji tertawa, tak peduli di mulutnya masih ada nasi sehingga ia tersedak dan hampir semua yang ada di dalam mulutnya keluar.

"Tuh, azab orang pelit," tunjuk Dika. "Makan lagi tuh nasi yang keluar," suruh Dika kepada Aji yang sedang berlari mencari minum karena minum yang sebelumnya diambil sudah dihabiskan oleh Dika.

Dika dan Wira hanya tertawa melihat Aji yang sedang berusaha menyelamatkan hidungnya yang di dalamnya ada nasi. Kasian sekali, apalagi nasi mereka dipenuhi dengan sambal yang super pedas.

"Turut berduka cita gue ama idung lo, Ji," ucap Dika.

Meski hari ini Aji merasa tidak beruntung, tapi dia merasakan kepuasan tersendiri. Aji merasa Gema tidak bohong kepadanya. Menikmati waktu bersama keluarga memang momen yang menyenangkan. Ada kalanya bertengkar dan ada juga saling menertawakan di atas penderitaan adiknya sendiri.

Seharusnya gue terbuka dari dulu sama kalian, Bang. Gue ngerasa punya teman sekarang.

-LYING BROTHER-

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang