23. LYING BROTHER

14 5 0
                                    

Kabar baik sampai di telinga Aji. Rasa lelahnya hari ini seakan sudah mendapatkan balasannya. Dini menghampiri Aji ke bengkel dan menjelaskan jika salah satu keluarganya mengelola sebuah tempat untuk mengontrol dan mengobati trauma dan Wira bisa tinggal di sana untuk sementara waktu. Mereka akan diasramakan dan setiap harinya akan menjalani aktivitas yang memungkin mereka bisa melupakan traumanya.

"Kamu gak perlu cari kontrakan dulu. Di sana Wira ada yang bakal jaga dan kamu fokus sama belajar kamu di sini."

"Maaf, ya, Bu. Aji banyak ngerepotin Ibuk."

Dini menggelengkan kepala dan mengusap bahu Aji. "Ibuk bantunya ikhlas kok."

Aji bersyukur Wira memiliki perempuan seperti Dini. Meski kata Dini mereka belum memiliki hubungan yang pasti. Ya, hanya sekedar dekat lebih dari teman saja.

"Nanti Aji coba ngomong sama abang, semoga dia mau."

"Tapi jangan bilang di sana ada keluarga Ibuk atau Ibuk yang rekomendasikan buat Wira."

Aji menganggukkan kepala. Untuk sekarang mungkin tidak akan dikatakannya, entah nanti. Sebab Wira harus tahu seberapa pengorbanan yang dilakukan Dini kepadanya.

Setelah memastikan bengkelnya bersih dan tidak ada lagi pekerjaannya, Aji mengantar Dini pulang. Tadinya Aji akan langsung ke rumah sakit tempat Wira, tapi rasanya malam ini akan sia-sia saja karena mereka tak akan bisa bertemu.

"Besok aja, lagian libur, Ji," ucap Dini saat mereka sampai di depan rumahnya. "Mending kamu istirahat dulu, mana tau besok Wira bisa langsung dibawa pulang. Jadi, kamu gak kecapean.

Aji sudah memikirkan hal itu sebelumnya dan saat Dini mengatakannya, ia mengangguk. "Makasi, Buk," ucap Aji untuk kesekian kali.

"Iya, kembali kasih, kamu juga udah antar Ibuk pulang." Aji tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. "Eh, satu lagi, Ji. Kamu gak keberatan sama apa yang diomongin di sekolah?" tanya Dini dengan ragu. Sesaat kening Aji berkerut, hingga ia sadar apa yang dimaksud oleh gurunya itu.

"Ah, yang aku dibilang deketin Ibuk?" Aji memastikannya dan Dini mengangguk.

Belakangan ini banyak rumor tentang Aji yang sedang berusaha mendekati Dini. Apalagi setiap pagi Aji selalu bersama dengan Dini ke sekolah. Memang Aji yang menjemputnya, sebagai tanda terima kasih. Ya, Aji tidak bisa membalas kebaikan Dini dengan uang dan setidaknya ia bisa membalas dengan hal lain.

"Aji gak pernah dengerin itu, tapi kalau Ibuk yang ngerasa risih, Aji bakal buat jarak."

Dini tersenyum dan menggelengkan kepalanya lagi, "Gak perlu, Ji. Udah bener kamu gak dengerin omongan mereka. Ibuk cuma takut kamu kepikiran itu."

Aji tidak mempedulikan rumor-rumor tentang dirinya. Kehidupan Aji sekarang hanya tentang bagaimana mendapatkan uang dengan cepat.

Sekarang Aji juga tau apa yang dirasakan Dika dan Wira dulu ..., pantas saja mereka tak memiliki waktu untuk istirahat.

"Ma, Bang ..., Aji udah banggain kalian belum?"

Aji mengulas senyuman saat ia membaringkan tubuhnya di atas kasur yang hanya cukup untuk diri sendiri. Ada perasaan bahagia karena setelah sekian lama akhirnya Aji bisa membawa abangnya keluar dari rumah sakit.

-LYING BROTHER-

Malam ini Wira duduk di ruangan dokter yang beberapa bulan ini merawatnya. Setelah meminum obat rutinnya, Wira masuk ke ruangan itu dan sekarang ia hanya menatap kertas yang masih kosong. Rutinitasnya setiap malam, menulis apa yang ia rasakan sebagai bentuk salah satu pengobatannya.

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang