11. LYING BROTHER

12 6 0
                                    

Masih memikirkan bagaimana cara agar mendapatkan izin dari abangnya. Jujur saja saat ini Aji merasa kesal, kenapa hanya untuk bekerja membutuhkan izin dari mereka? Logikanya saja, seharusnya mereka bangga dan senang karena Aji sudah bisa mencari uang sendiri.

Siswa lain sudah pulang sejak tadi, tapi Aji masih berada di kelasnya. Ia sedang memikirkan apa yang dikatakan oleh Dika saat Aji berusaha meyakinkan abangnya itu.

"Seharusnya lo seneng, gak perlu kerja lagi. Emang susah nikmati hidup yang ada?"

Aji mengemasi buku dan memasukkan ke dalam tasnya. Sepertinya dia harus tegas, Aji harus membuktikan kepada abangnya jika dia tidak selemah dulu lagi. Ia pun menganggukkan kepala beberapa kali.

Sepanjang jalan Aji sudah memikirkan apa yang harus ia katakan kepada abangnya. Jika perlu, Aji akan mengamuk di depan bengkel Dika atau di dalam ruangan kelas Wira mengajar. Dan yang pertama, Aji mendatangi Dika lebih dulu.

Aji mengurungkan niatnya untuk mengamuk karena di bengkel Dika ada bosnya. Aji pun menyapa seadanya dan memilih duduk di samping tempat Dika biasa membongkar motor yang ada. Sesekali Dika menunjuk ke arah Aji saat dia bicara dengan orang yang sudah dianggap orang tua oleh Dika.

"Mulai besok gapapa, hari ini juga boleh," ucapnya dan itu terdengar jelas oleh Aji. "Lagian si Gema gak ada kerjaan," sambungnya dan menatap ke arah Aji.

"Minusnya, dia agak panikan, Pak. Kalau ketemu orang banyak, dia bakal susah ngontrol dirinya," jelas Dika.

"Aman itu."

Aji masih bingung, tapi yang jelas mereka berdua sedang membicarakan Aji. Ia pun menatap abangnya itu dan akhirnya laki-laki di depannya menatap Aji balik.

"Hari ini ada kegiatan, Ji?" tanya Yondri dan Aji menggelengkan kepala. "Ikut Bapak ke tempat Gema. Si Dika gak perlu ditemenin di sini. Masalah gaji nanti ada hitungan khususnya, selagi kamu banttu di sana, kamu bakal tetap digaji," jelasnya dan Aji hanya ternganga, lebih tepatnya dia masih bingung.

"Hah? Maksudnya gimana, Pak?" tanya Dika.

"Hah, heh, hah, heh! Sana pergi sama Pak Yon, katanya lo mau kerja," ucap Dika dan mendorong bahu adiknya. "Baju gue ada di tempat Gema, minta aja sama dia. Nanggung kalau pulang."

Aji tidak menyangka jika masa belajarnya akan digaji juga. Namun, setidaknya hal itu membuat Aji senang dan mengangguk semangat. Ia tidak menyangka jika Dika mencari Aji pekerjaan seperti ini.

"Lo sekarang belajar aja dulu, mana tau nanti udah lulus SMA lo udah bisa," ucap Gema dan Aji menganggukkan kepala. "Dika yang maksa Om Yon buat nerima lo di sini. Beruntung banget lo punya abang kayak dia, Ji. Abang gue boro-boro kayak gitu, malah nyusahin keluarga."

Aji hanya mengangguk pelan saat Gema bercerita. Dia tidak tahu jika Dika memang sepeduli itu kepadanya. Bahkan ..., untuk pekerjaan pun Dika memastikan tidak memberatkan Aji.

"Seharusnya lo seneng abang lo gak ngizinin buat kerja, tapi pas udah gue bilang laki-laki itu emang butuh kerja dan kalau lo dibiarin kayak gini terus, lo bakal lemah, Ji." Kali ini Aji setuju dengan ucapan Gema.

"Iya, kan, Bang? Mereka aja yang ngeyel gak kasih gue izin. Sama mereka gak bakal lama, nanti kalau mereka nikah dan gue tinggal sendiri. Mau apa gue, Bang?" jelas Aji bersemangat dan Gema tertawa sambil mengangguk. "Cowok itu harus kuat, kan, Bang?"

"Iya harus kuat, tapi lo gak bisa ngatasi dua abang lo."

Aji mengulum senyum dan pura-pura memperhatikan motor yang baru saja dibongkar oleh Gema untuk Aji belajar. Aji ingin menyudahi topik ini karena sangat memalukan.

"Ji, abang lo sayang sama lo. Jadi, lo harus banggain mereka. Gue saksi gimana pedulinya sama lo dan jangan pernah berniat ninggalin mereka kalau belum waktunya."

Aji memilih tidak menjawab. Bukan karena tak mau, tapi nada bicara Gema terdengar serius. Namun, tetap saja ..., Aji masih menyangkalnya. Apalagi satu fakta yang sudah ia ketahui, jika abangnya peduli karena Aji adalah titipan dari mamanya dulu.

"Lo itu gak beban, Ji." Gema melanjutkan kalimatnya, meski tangannya sibuk membersihkan bagian dalam motor. "Mungkin ini yang belum lo tau, lo itu obat rindu Wira sama Dika kalau mereka kangen sama mama dan papa kalian. Wajah lo itu, perpaduan wajah orang tua lo." Gema melirik Aji sudah terdiam di sampingnya.

"Kalau lo pergi juga, bayangin gimana rasa sakit mereka."

-LYING BROTHER-

Malam ini Aji tampaknya lelah sekali. Dia sengaja merebahkan badannya di lantai tepat di depan pintu masuk. Setelah di sekolah digempur dengan tiga kali ulangan berturut-turut, di bengkel pun ia harus berhadapan dengan Gema yang terlalu bersemangat mengajarkan Aji.

"Biar lo cepet bisa mengotak-atik ini motor," ucap Gema.

Aji menghela napas singkat, dia benar-benar lelah. Bahkan untuk beranjak saja tak mampu badannya bergerak.

"Makanya, kalau disuruh seneng-seneng di rumah, jangan ngeyel," ucap Wira. Abangnya itu sudah pulang sejak tadi, tapi dia tak sempat ke bengkel Dika atau tempat Aji belajar karena banyak tugas yang harus dinilainya.

Aji hanya melirik Wira, lalu mengacungkan tangannya. "Mending abang bantuin Aji ke dalam. Diseret juga gak apa-apa," ucap Aji. Namun, baru saja Wira berdiri tangan Ajis udah diseret oleh Dika. Entah kapan dia datang karena suara motornya tidak terdengar.

"Ini alasan gue jarang pulang kalau malam. Emang secapek itu," ucap Dika, tangannya masih menyeret sang adik hingga ke depan pintu kamar mandi. Mungkin jika Aji tidak bersorak Dika akan meneruskannya ke dalam.

"Gila lo, Bang!" rutuk Aji dan kali ini dia sudah bangun dan menyandarkan punggungnya pada dinding.

Aji menatap kedua abangnya dan merogoh saku sambil tersenyum. "Gue udah dapat gaji," ucapnya dan senyumnya semakin mengambang. Namun, bukannya ikut senang Dika malah memukul kepala adiknya itu.

"Disimpan itu uang."

"Ya emang, lagian gue belum niat ngasih kalian berdua," jawabnya asal dan Dika melirik Aji di bawah. "Soalnya gue mau beli motor." sambung Aji di dalam hatinya sambil tersenyum menghitung uang sepuluh ribuan di tangannya.

Ya, gaji Aji memang belum banyak, apalagi dia masih masa belajar dan masuknya pun setengah hari. Namun, mendapatkan uang hasil jerih payah sendiri itu memang menyenangkan.

"Bang Dika," panggil Aji setelah dirinya bangkit dan berniat untuk pergi ke kamar. "Makasih, ya," ucap Aji dan tentu saja Dika mengerutkan keningnya.

"Buat apa? Uang mingguan lo belum gue kasih, dah."

Aji tersenyum dan menggelengkan kepala. "Gak apa-apa, mau bilang makasih. Sama Bang Wira juga."

Wira dan Dika saling melempar pandangan dan keduanya sama-sama mengangkat bahu. "Ji, jangan sering kayak begitu lo, serem," timpal Dika dan Aji kembali tersenyum.

"Awas aja kamu bilang makasih dan besok udah gak ada lagi, jangan harap kita berdua nguburin lo deket mama sama papa," timpal Wira dan raut wajah Aji langsung berubah.

"Serem banget, sih, Bang. Gue belum mati, tapi kalau udah waktunya gimana lagi," jawab Aji dan berjalan menuju kamarnya. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena tiba-tiba kepalanya dilempar dengan gayung dari belakang.

"Woi, Bang!" teriak Aji pada Dika yang kepalanya sedang menyembul dari pintu kamar mandi. "Sakit!"

"Lo mau gue bantu sekalian ke sana?" tanya Dika.

"Bukan gitu. Gue gak bakal pergi sebelum waktunya karena gue tau bunuh diri atau semacamnya itu emang gak baik. Tapi kalau emang udah waktunya habis, bahkan siapapun gak bisa menghindar, kan?" jelas Aji kepada kedua abangnya yang menatap dengan tajam. "Lagian kalian tenang aja, gue udah punya tujuan lain tinggal di dunia ini," sambung Aji pelan, tapi masih bisa didengar oleh kedua abangnya.

"Apa?" tanya Wira. "Jangan-jangan lo bener punya pacar?"

Aji tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan meninggalkan kedua abangnya. Namun, jika benar hal itu tidak akan menjadi masalah bagi Dika dan Wira.

-LYING BROTHER-

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang