19. LYING BROTHER

12 6 2
                                    

Aji tidak tahu jika langkahnya menuju makam orang tuanya dan sekarang menjadi makam abangnya juga. Tidak ada lagi percakapan dengan mama sepanjang jalan, yang tersisa hanya tatapan kosong. Dan sekarang Aji duduk di antara dua makam, lalu mengusap nisan itu perlahan.

"Ditinggal itu gak enak, Ma, Pa, Bang." Di akhir kalimatnya Aji tersenyum. "Jadi panjang banget kalau ngadu. Lo ngapain ikut juga, sih, Bang?"

"Bang, lo gak mikir gimana menderitanya Bang Wira lo tinggal? Gue awalnya mikir kembaran lo itu bakal dewasa dan bisa berpikir rasional, tapi kayaknya semua pikirannya hilang. Seakan ikut sama lo ke sana."

"Kalian itu udah ditakdirkan buat bareng-bareng, bahkan gue pernah baca kalau orang kembar bisa dapat jodoh kembar juga. Lucu pasti kalau kalian begitu, tapi lo egois ..., perginya sendirian. Lo jahat, lo pembohong." Aji beralih menatap makam mamanya. Dia tidak membelakangi makam Dika karena Aji memutar posisi ke seberang sana. "Ma, Aji mau minta permohonan sama mama, tolong marahin abang di sana, ya?"

Sudah lelah mengoceh sendiri menyalahkan abangnya, Aji pun tertunduk lemas. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apa mama akan mendengarkan? Apa Dika juga ikut merasakan di bawah sana? Aji kembali menghela napas dan menyeka sudut mata yang mengeluarkan cairan bening lagi. Hari ini Aji banyak meneteskan air matanya, andai Dika tahu, mungkin Aji sudah dihabisi oleh abangnya itu.

"Ma, tadi Aji berantem. Bang, tadi Aji udah jadi laki-laki kuat. Aji bisa ngelawan mereka yang seenaknya sama Aji."

Aji mengusap nisan yang bertuliskan nama papa dan mamanya dan kembali menghela napas. Aji merasakan ponselnya bergetar di dalam kantong celananya dan dilihat beberapa panggilan tak terjawab dari Gema. Di bawahnya ada pesan dari Yondri yang menyuruh Aji untuk bergegas pulang.

"Ma, Bang, Pa, Aji pulang duluan. Jangan bawa Bang Wira juga, ya?"

Aji langsung berlari keluar dari pekarangan pemakaman di samping panti. Aji langsung melajukan motornya dengan kencang tanpa memikirkan apapun kecuali abangnya.

Tidak butuh waktu lama Aji sampai di rumahnya. Betapa terkejutnya Aji melihat kaca jendela pecah dan pintu kamar Dika yang rusak. Bentuknya sudah memprihatinkan sekali seakan dibuka paksa dan ternyata memang  benar, Gema dan Yondri melakukannya.

"Wira udah tenang, tapi coba samperin aja," ucap Gema dan Aji berjalan ke dalam kamar abangnya.

Aji langsung mengepalkan tangannya saat melihat sebuah tali digantung tepat di tepi jendela kamar Dika. Kursi kayu yang biasanya ada di luar tampak tergeletak di dalam. Sedangkan Wira sendiri menyudut di ujung kamar sambil memeluk kedua kakinya.

"Bang! Lo ngapain?! Lo udah gila!" teriak Aji kesal setelah menarik bahu Wira.

Wira menatap adiknya beberapa saat dan kembali menenggelamkan kepalanya di antara lututnya. Aji mengusap wajahnya dan mengacak rambut dengan kasar. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya agar bisa menahan emosi atas apa yang sedang diperbuat Wira. Andai siang itu Gema tidak datang ..., mungkin Wira sudah menyusul Dika ke alam sana.

Beberapa jam yang lalu, Gema memang sengaja datang ke rumah Wira untuk mengantar makan siang. Mengingat Aji sudah masuk sekolah dan ia tak bisa mengingatkan abangnya untuk makan siang. Keadaan Wira jauh dari kata baik. Dia mengurung diri semenjak kepergian Dika dan Gema juga sempat terkejut saat Aji mengatakan jika Wira mengamuk dan melempar ponselnya.

Gema dan Yondri sudah berusaha membawakan dokter untuk Wira, tapi laki-laki itu enggan untuk bertemu dengan siapapun. Bahkan dengan Aji, adiknya sendiri ..., Wira menolak untuk bertemu. Namun, untuk sementara waktu dokter menyarankan agar memberikan ruang tenang untuk Wira.

Pintu rumah dikunci dari dalam dan untung saja Gema masih bisa masuk dari pintu belakang. Bau yang tidak dapat diterima saat melangkah masuk ke arah dapur. Sekali seumur hidup Gema mendapati rumah Wira tidak terurus seperti ini. Gema hanya mengusap hidungnya dan berjalan ke ruang tengah.

Gema mengetuk pintu kamar Dika yang sekarang dihuni oleh Wira, tapi tak ada balasan dari dalam. Gema berbalik ke dapur, ia membersihkan tempat itu seadanya dan menyalin nasi yang sengaja ia beli. Gema kembali ke depan pintu kamar dan tetap saja, tidak ada balasan dari dalam.

"Wir, makan dulu!" teriak Gema dari luar dan berusaha membuka pintu, tapi sayangnya kamarnya juga dikunci dari dalam.

Biasanya Gema akan langsung pergi setelah meninggalkan makanan karena nanti Wira akan keluar. Namun, kali ini ia ingin sekali memastikan keadaan Wira karena terakhir mereka bertemu saat kematian Dika yang sudah seminggu lebih.

Gema tidak langsung pergi dan ia sengaja berjalan ke belakang rumah, ia ingin memastikan Wira dan melihatnya dari jendela kamar. Karena jendela itu cukup tinggi Gema tak bisa melihat langsung ke dalam, alhasil dia memanjat pohon mangga yang kebetulan ada di belakang rumah.

"Oi Wira!" teriak Gema keras saat melihat apa yang dilakukan Wira di dalam sana. Dia sedang berusaha mengaitkan sebuah tali di dekat jendela kamar Dika.

Tanpa berpikir panjang Gema melompat dari pohon yang cukup tinggi. Pendaratan yang buruk, kami Gema malah terkilir, tapi dia tetap berlari ke dalam rumah. Wira tidak boleh mengakhiri hidupnya begitu saja. Untung saja saat mengitari rumah itu, Yondri keluar dari mobilnya, entah kebetulan atau memang Tuhan masih memberikan kesempatan Wira untuk tetap hidup.

"Om, bantu cegah Wira di dalam, dia mau coba bunuh diri!" teriak Gema, dia berlari meski sulit karena kakinya terasa sakit.

Terlalu jauh masuk melalui pintu belakang, Gema memecahkan kaca jendela bagian depan. Yondri pun ikut masuk dan mereka mendobrak pintu kamar Dika setelah merusak gagang pintunya. Benar ternyata, mereka mendapati tubuh Wira sudah menggantung dan di lehernya melingkar sebuah tali.

"Lo jangan gila, Wira!" teriak Gema sambil memeluk kedua kaki Wira dan menahannya agar tidak menggantung. Sedangkan Yondri berusaha memutuskan tali dari Wira.

Wira tidak merespon sedikitpun dan dia juga tak marah saat Gema menurunkannya. Yondri mengusap rambutnya ke belakang dan menatap Wira. "Kamu gak boleh putus asa kayak gini, Wira. Ingat, kamu masih punya Aji. Kalau kamu ikutan pergi, Aji gimana?"

Wira tetap tak bergeming, dia melepaskan tali yang masih melingkar di lehernya dan dibantu oleh Gema. Setelah itu Wira menepi dan duduk di sudut kamar sambil memeluk kedua lututnya. Membuat Gema dan Yondri bingung bagaimana mengatasi Wira saat ini dan jalan keluarnya hanya satu ..., Wira harus dirawat di rumah sakit.

-LYING BROTHER-

Meski tidak mendapatkan respon dari Wira, Aji tetap duduk di hadapan abangnya. Dia juga ikut memeluk kedua lututnya, tapi Aji tidak menenggelamkan kepalanya seperti yang dilakukan Wira. Melainkan ia menatap sang abang dengan tatapan sedih, marah, kecewa, dan rasa sakit yang bercampur aduk.

"Bang, katanya kita bakal bareng-bareng, terus kenapa lo mau ninggalin gue juga?" Aji menarik napas pelan dan membersihkan rambut Wira yang tampak berdebu. "Tadi Buk Dini nanyain lo, Bang. Dia kangen lo kayaknya," ucap Aji dan menjauhkan tangannya dari kepala Wira.

Aji tersenyum tipis dan kembali memeluk kedua lututnya, "Sekarang gue udah tau siapa perempuan yang lagi deket, haha." Aji kembali menghela napas karena ia tak kunjung mendapatkan respon dari Wira. Malah abangnya itu semakin menenggelamkan kepala seakan tidak ingin mendengarkan Aji lagi.

Gema dan Yondri masih ada di luar, sambil menunggu orang yang datang untuk memperbaiki pintu dan kaca jendela di rumah Aji. Yondri masih menatap Aji dari ruang tengah dan saat Aji balik menatapnya ia menyuruh Aji untuk mendekat.

"Kalau Wira dirawat dulu gimana, Ji? Kasian kamunya dan kalau kamu sekolah gak ada yang tau apa yang bakal dilakuin abangmu di rumah."

Aji menatap Wira yang masih menyudut di dalam dalam kamar. Aji pun menggelengkan kepala, "Bang Wira gak gila, Om."

"Om gak bilang dia gila, Ji. Abang kamu itu stres karena kehilangan kembarannya. Dia harus sembuh lagi sebelum dia nyakitin dirinya sendiri lagi dan bisa aja pergi nyusul Dika, terus ninggalin kamu sendiri, Ji."

Aji mundur beberapa langkah dan ia menggelengkan kepala.

"Ji, kalau lo sayang sama abang lo, lo harus biarin dia dirawat dulu."

"Abang gue gak gila! Abang gue gak stres!" teriak Aji sambil mengacak rambutnya kesal. Ia bahkan menggelengkan kepala berulang kali. Ia tidak bisa menerima apa yang dikatakan dan disarankan oleh Gema dan Yondri.

-LYING BROTHER-

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang