18. LYING BROTHER

8 6 0
                                    

Sudah satu minggu kepergian Dika dan selama itu pula Aji tidak sekolah, begitu juga dengan Wira yang tak bekerja. Kemarin teman satu kelas dan para guru di sekolah Aji datang ke rumah untuk berbelasungkawa saja. Untungnya saat itu ada Gema, jadi Aji tidak terlalu kebingungan karena Wira pun tak kunjung keluar dari kamar.

"Bang, gue harus sekolah, tapi Bang Wira--"

Kalimat Aji menggantung dan ia menghela napas sejenak. Aji tidak tahu jika abangnya akan berubah drastis setelah kepergian Dika. Wira bahkan tidak bicara sedikitpun, makan pun seadanya.

"Biar gue bantu ngeliat Wira dan kalau bisa nanti gue coba ajak ngomong."

"Makasih, Bang, dan maaf udah ngerepotin."

Gema menggelengkan kepala, tidak masalah untuknya karena selama ini hubungan Gema dengan Wira atau Dika sudah dekat. Mungkin sudah seperti saudara sendiri, hanya saja dulu Dika tidak menyetujui jika Gema menjadi bagian dari saudaranya.

Jika keadaan Wira buruk, Aji juga tak kalah buruknya. Tentang takdir yang ingin ia salahkan dan tentang Dika. Aji tak bersedih, dia hanya kesal karena abangnya itu tidak menepati janjinya.

Tidak ada yang spesial di sekolah. Namun, ada yang berbeda drai sebelumynya. Tatapan Aji dan bagaimana ia merespon orang yang ada di sekitarnya. Terlebih siswa yang terkadang masih menjadikan Aji sebagai bahan lelucon bagi mereka semua.

"Katanya yang meninggal itu abang lo yang kuat, ya? Kalau kuat kenapa pas ditabrak mobil tetap meninggal?"

Sungguh lawakan yang tidak ada lucunya, tapi empat sekawan yang sengaja menghampiri Aji itu tertawa. Ucapan yang membuat pendengaran Aji mengamuk dan mata kecil itu langsung merespon dalam waktu yang sama. Tajamnya yang melebihi tatapan elang itu berhasil mengintimidasi empat orang di depannya.

"Kenapa lo kayak gitu?"

Salah satunya masih berusaha tenang, meski mereka terkejut melihat perubahan raut wajah Aji. Sedangkan Aji masih diam, di dalam kepalanya ia sedang berpikir ..., mereka harus diapakan. Apakah melempar linggis ke kepala mereka sudah cukup? Atau melemparnya ke bawah sana apa lebih baik?

"Gue tanya lo ngap--"

Laki-laki itu memukul meja Aji, tapi sebelum kalimatnya selesai Aji lebih dulu menarik kerah bajunya dan menghempaskan ke dinding kelas. Tiga siswa lainnya masih berdiri di tempat mereka berada, tentu saja dengan perasaan kaget. Mereka merasa yang ia lihat bukan Aji yang biasanya.

Tatapan Aji belum berubah sama sekali. Dia menekan tangannya yang masih memegang kerah baju siswa itu. Tidak peduli jika ia berusaha melepaskan tangan Aji dari sana.

"Lo udah berani sekarang?" Siswa itu masih berusaha melawan dan menyudutkan dengan kalimat. Namun, hal itu tidak berpengaruh bagi Aji.

Tangan kanan Aji sudah mengepal di bawah dan siap melayangkan pada laki-laki yang tepat beberapa senti di depannya. Aji masih berpikir apakah ia mampu melakukannya atau tidak.

"Kalau mau ninju orang, kepalin aja tangan lo, terus tumpukan tenaga lo di sana semuanya. Ninjunya pun harus pakai teknik, jari bagian tengah sedikit dimajukan dan ..., pam! Lo tinju sekuat tenaga lo. Jangan pakai hati, tapi emosi. Orang itu bakal langsung jatuh."

Tepat pada hitungan ketiga yang diucapkan Aji di dalam hati, kepalan tangan itu menempel pada pipi siswa yang sejak tadi hanya bisa menggertak Aji. Selain hitungan itu, Aji juga digerakkan oleh sesuatu di dalam dirinya. Suara Dika tiba-tiba memenuhi isi kepala Aji dan ia cukup kesal. Alhasil, siswa itu yang mendapatkan imbasnya.

Teriakan siswa lain yang ada di kelas langsung terdengar setelah siswa itu tumbang di tangan Aji. Siswa yang ada di depan kelas juga bergegas masuk. Mengingat saat jam istirahat, jadi suasana di sana semakin ramai.

Lying Brother - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang