27. Hanya Kecewa

332 26 1
                                    

"Lebih baik marah daripada harus kecewa. Karena satu-satunya rasa sakit yang tidak tahu obatnya adalah kekecewaan."

---Bumi Kala---

__________✨__________

"Lang, tangkap!"

Hap!

Langit berhasil menangkap minuman kaleng yang Khanza lemparkan. Si gadis terkekeh sembari berlarian kecil menghampiri Langit yang duduk di bangku kayu. Selepas les, Khanza mengajak Langit untuk sekedar berkeliling kota. Meski Langit sempat menolak karena ingin segera bertemu Bumi.

"Makasih, tapi lain kali yang sopan kalau ngasih." Ujar Langit

Bukannya merasa bersalah, Khanza justru terkekeh lagi, "Maaf, habisnya ngelamun aja dari tadi. Tenang Lang, Bumi gak akan kenapa-kenapa kok."

"Gue harap begitu," Langit membuka minumannya. Lantas menegaknya, "Kenapa tiba-tiba ngajak gue keliling?"

"Lo juga butuh istirahat, Langit." Jawab Khanza langsung. Ia mendongak, menatap langit malam yang lumayan bersinar karena gemerlap bintang, "Bumi boleh aja jadi prioritas utama lo. Tapi jangan lupa sama diri sendiri. Lo juga perlu istirahat. Lo juga capek. Lo harus punya waktu untuk tahu apa yang lo mau."

"Kenapa?"

Khanza menoleh pada Langit, "Kenapa gue harus mikir diri gue? Ayah udah mikir semuanya. Gue cuma perlu patuh. Tapi Bumi? Anak itu bahkan gak bisa di tinggal sendiri. Bumi gak bisa gue biarin gitu aja, Za."

"Lo gak percaya sama Bumi?"

"Percaya."

"Terus, kenapa lo selalu bertindak seakan Bumi itu gak bisa lo percaya?" Khanza menghela nafas pelan. Dirinya cukup tidak tahu diri untuk mencampuri urusan keluarga Langit, "Gue juga percaya Bumi. Lo tahu, Bumi lebih kuat dari apapun itu. Adik lo itu, Lang ... dia hebat banget. Gue gak tahu apa-apa tentang keluarga kalian. Gue berpendapat atas dasar apa yang gue lihat dan rasakan selama gue kenal kalian. Dan benar, Bumi itu hebat dan kuat banget."

"Menurut lo, apa Bumi gak butuh perlindungan gue sebagai abang?" Khanza menggeleng

"Bumi butuh banget. Lang, maksud gue bilang begini adalah supaya lo gak terus-terusan mikir kepentingan orang lain daripada kepentingan lo sendiri. Bumi butuh lo sebagai abang, Bumi butuh perhatian lo sebagai saudara. Tapi diri lo sendiri juga butuh di perhatikan. Jangan munafik Lang, lo juga butuh waktu untuk mengerti diri lo sendiri."

Tentu apa yang Khanza bilang tidak salah. Setiap manusia berhak egois untuk dirinya sendiri. Terkadang egois itu memang di perlukan. Agar tidak selamanya kita di bodohi oleh ketidakadilan. Tapi Langit rasa semuanya sudah adil. Langit mendapat apa yang ia inginkan dan Langit mencoba mewujudkan apa yang Bumi inginkan.

"Gue cukup dengan hidup gue, Za. Gue gak mau apa-apa lagi."

Khanza terdiam. Tidak, ia sama sekali tidak percaya dengan itu. Baik Langit maupun Bumi, Khanza tahu mereka memiliki kesulitan sendiri-sendiri.

Malam itu, dengan kacaunya pikiran Langit, pemuda itu masih mencerna apa yang Khanza ucapkan. Kaleng yang sudah kosong itu masih Langit genggam erat. Padahal bisa saja ia lemparkan hingga masuk tong sampah.

"Lo bahagia?"

Kali ini Langit yang diam. Pertanyaan yang sederhana itu anehnya tidak bisa Langit jawab. Semakin Langit pikirkan Langit semakin tidak mengerti kenapa ia tidak kunjung mendapat jawabannya. Bukankah hanya ada dua pilihan 'Iya' atau 'Tidak' sayangnya Langit tidak tahu harus memilih yang mana.

[1] DEAR, ABANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang