40. See You, Again

253 32 2
                                    

“Lentera, sampai bertemu di ketidaksengajaan selanjutnya.”

---Bumi Kala---

__________✨__________

H-1 uas. Bumi termenung di perpustakaan. Satria, Ren dan Vanendra juga bersamanya. Mereka tengah membaca beberapa kisi-kisi untuk uas yang telah di berikan guru mapel. Sedangkan Bumi, tidak punya semangat sama sekali. Beberapa hari ini--tidak lebih tepatnya setelah kepergian Lentera Bumi menjadi orang yang pendiam. Bahkan jarang ke kantin dan lebih memilih membawa bekal. Tentunya hal itu memicu banyak spekulasi-spekulasi.

Seperti, Bumi di paksa berjauhan dari kekasihnya sendiri. Padahal di antara mereka benar-benar murni berteman. Bumi tidak ada niatan untuk ke sana. Terbesit arah untuk ke sana saja tidak, Bumi masih repot memikirkan cara agar move on dari Khanza.

"Bumi, ajarin gue yang nomor lima." Ujar Vanendra yang tidak di gubris Bumi. Anak itu masih bengong

Vanendra menyenggol Ren yang duduk di sampingnya, "Gue takut Bumi kesambet." Bisiknya pada Ren

Ren menghela nafas. Cowok keturunan Cina itu mengambil penghapusnya, lalu melemparnya tepat di dahi Bumi. Membuat Bumi mengaduh sambil mengusap keningnya.

"Apa sih? Ganggu aja." Kesal Bumi

"Masalahnya kalau enggak kita ganggu, gue takut lo kesambet hantu penunggu perpustakaan." Ujar Vanendra bergidik ngeri

"Ck," Bumi membuka bukunya, "Ngaco banget, mana ada setan siang-siang begini."

"Ada, kan setan ada di mana-mana. Gak mandang pagi, siang, sore, malam." Jawab Satria yang sejak tadi diam

"Mikirin Lentera?" Tanya Ren dengan pelan

"Gue cuma masih gak habis pikir sama orang tua Lentera," Bumi bersandar pada kursi, tangannya memutar-mutar bolpoin, "Kenapa harus pindah sekolah? Padahal juga Lentera gak salah. Bahkan sekarang namanya bersih. Lentera terbukti gak merusak tubuhnya. Terus kenapa harus pindah sekolah?"

Keputusan di buat saat amarah masih menguasai diri. Saat itu, sudah di putuskan dengan persetujuan Lentera--yang terpaksa--jika Serena akan memindahkan Lentera ke sekolah khusus. Jauh dari pusat kota. Entah dimana tempatnya, Bumi tidak tahu lebih detail selain tempatnya yang jauh. Lentera tidak bersalah, itu sudah terbukti hari itu juga. Tapi Serena tetap kekeuh memindahkan Lentera. Gadis itu tidak ada pergerakan untuk menolak. Ia benar-benar bungkam tidak memberontak. Padahal Bumi sudah mati-matian menahan Lentera dan memberikan Serena pencerahan. Tapi, Bumi kalah. Di sini, dia bukan siapa-siapa. Tidak berhak menentukan jalan hidup Lentera. Serena jelas lebih berhak.

Mau tahu bagian paling menyakitkan?

Lentera pergi tanpa berpamitan pada Bumi. Tanpa mengucap selamat tinggal. Tanpa meninggalkan jejak. Terakhir kali ketika Bumi ke apartemen si gadis, tidak ada jejak sama sekali. Nomornya sudah tidak aktif, pun sama halnya dengan media sosialnya. Lentera seperti menghilang ditelan bumi. Bumi bahkan tidak memiliki apapun untuk bisa mengenang gadis itu selain memori kebersamaan mereka yang masih jelas tersimpan di benak Bumi.

"Mending lo fokus uas dulu, masalah Lentera nanti aja setelah uas. Lo cari dia sampai ketemu. Gue yakin masih di kota ini." Ucap Satria memberi saran

Vanendra mengangguk, "Benar itu, lo juga harus mikir gimana caranya lo bisa tiga besar. Itu lebih penting sekarang."

"Katanya teman," Ren tertawa kecil, "Tapi lo kaya di campakkan sama pacar lo sendiri."

"Teman bukan sembarang teman." Lanjut Satria ikut menggoda

[1] DEAR, ABANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang