Prolog: Langit Biru & Bumi Kala

1.5K 48 4
                                    

[☁️ | 🌏]


***

Terlahir sebagai anak kembar, tidak membuat Langit dan Bumi mempunyai selera yang sama. Atau bahkan Langit dan Bumi tidak mempunyai kesamaan kecuali tanggal lahir yang sama. Langit Biru Atmaja, adalah anak yang tidak mempunyai emosi. Bisa di bilang Langit itu anak yang flat. Ekspresi pun hanya datar. Marah, datar. Senang, datar. Sampai-sampai tidak ada yang tahu bagaimana suasana hati Langit karena anak itu hanya memasang wajah yang datar. Meski hanya berbeda 7 menit dengan Bumi, Langit meminta Bumi untuk menyebutnya sebagai 'abang' karena biar bagaimanapun Langit lahir lebih dulu. Langit merasakan udara bumi lebih dulu.

Berbeda dengan Langit, Bumi Kala Atmaja. Anak manis yang banyak tingkahnya. Bumi di kenal dengan anak yang tidak bisa diam, dia akan selalu aktif kesana kemari. Dua hal paling Bumi benci adalah berdiam diri di rumah dan belajar. Bumi bahkan pernah menyembunyikan semua buku pelajaran Langit agar kakak 7 menitnya itu bisa bermain bersamanya. Karena Langit sangat tidak bisa di ganggu ketika belajar. Meski akhirnya Bumi kena omel ayah sampai di kunci di kamar mandi hingga malam tiba. Tapi bermain bersama Langit adalah hal langka yang selalu ingin Bumi lakukan.

Anak kembar pun punya perbedaan. Kata orang, Langit adalah masa depan keluarga Atmaja karena prestasi-prestasi membanggakannya. Belum lagi Langit yang selalu di ikut sertakan dalam masalah perusahaan. Otak Langit memang tidak main-main encernya. Sedangkan Bumi, meski harapan orang-orang rendah untuknya Bumi tetap melakukan yang terbaik. Baginya pendapat dan harapan orang-orang itu tidak berpengaruh untuknya.

Brak!

"Huaaa abang, kaki Bumi sakit!"

Langit menghela nafas berat. Ia terpaksa menoleh pada sang adik yang tengkurap di depan pintu kamar mereka. Langit terpaksa bangkit dari duduknya dan menghampiri Bumi. Meski Langit tahu itu hanya akal-akalan Bumi saja. Karena Langit menolak ajakan Bumi untuk bermain bersamanya.

"Abang bilang juga apa tadi, bandel sih kamu. Batu banget udah di bilangin, jatuh nangis!" Omelnya dengan wajah datar

Langit membantu Bumi bangkit. Ia tuntun yang lebih muda untuk duduk di kasur. Langit melihat lutut Bumi yang sedikit memar. Untung hanya memar tidak sampai berdarah. Ya, jika sampai berdarah Bumi pasti sudah menangis. Langit mengadah menatap Bumi.

"Sakit banget?" Bumi menggeleng

Bumi tersenyum ceria, "Tapi kalau bang Langit mau main sama Bumi---"

"Gak ada main hari ini!"

Kembar berusia 10 tahun itu kompak menoleh ke arah pintu. Begitu melihat sang ayah berdiri di sana, Langit segera bangkit. Ia berdiri di depan Bumi yang masih duduk.

"Kalian udah kelas lima, bukan lagi untuk main-main. Langit, kamu tahu kan ayah paling gak suka lihat kamu beranjak dari meja belajar mu? Fokus saja pada pelajar mu, sebentar lagi kalian akan kelas enam." Langit menunduk diam, "Dan kamu, Bumi. Berapa kali ayah bilang untuk tidak mengganggu Langit yang sedang belajar, huh? Kalau bisa kamu contoh dia, belajar berjam-jam supaya pintar. Kamu itu cuma bisa ngasih ayah malu dengan nilai-nilai kamu. Peringkat dua dari bawah, gila kamu tuh!"

Surya sang kepala rumah tangga itu memang sedikit keras terhadap anak-anaknya. Apalagi masalah nilai dan prestasi. Menurutnya anak-anaknya harus menjadi anak-anak yang pintar dan cerdas. Harus bisa meraih nilai tinggi dan peringkat pertama. Karena ketika kamu memilikinya, kamu bisa mendapatkan hormat dan sanjungan dari orang-orang.

[1] DEAR, ABANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang