06. Mulai Tertarik
Empat mahasiswa sedang berkumpul di sebuah rumah kontrakkan kecil milik Abid dan Malik, mereka adalah mahasiswa rantau yang menyewa rumah kontrakan untuk menghemat pengeluaran tempat tinggal. Kontrakkan ini adalah rumah lama milik orang tua Dylan.
Orang tua Dylan langsung memberikan izin pada keduanya jika ingin tinggal di rumah tersebut. Namun, Abid dan Malik bersedia jika orang tua Dylan tetap menerima uang sewa dari keduanya.
"Lo gak capek mondar-mandir terus?" tanya Malik.
"Bawa apa lo?" tanya Dylan balik karena Malik membawa plastik besar berisikan berbagai macam makanan ringan.
"Jajanan," jawab Malik. "Lo gak mau Bid?" tawarnya.
"Kalian aja," jawab Abid. Laki-laki itu sibuk sendiri dengan laptopnya.
"Udah biarin aja. Lagi mode serius," ujar Dylan yang sudah mengambil satu bungkus.
Plak...
"Awh!" ringis Dylan. Mata langsung menatap tajam pada Malik, dia juga sudah bersiap untuk marah, tapi diurungkannya karena sadar diri.
"Jangan yang ini lah!" larang Malik merebut snack yang sudah di buka Dylan.
"Bjirr! Pelit loh!" umpat Dylan melampiaskan kekesalannya agar tidak bertambah runyam.
"Biarin!"
Abid yang menggeleng pelan mendengar perdebatan singkat dua temannya itu. Kemudian, mereka berdua menjadi diam dan tenang. Abid menoleh ke arah mereka, ternyata mereka diam karena sibuk dengan jajanan masing-masing.
"Bocil kumpul ya kayak gini," celetuk Raden yang baru kembali dari kamar mandi.
"Mau makan gak? Gue laper," tawar Raden pada teman-temannya.
"Boleh, lo yang traktir," ujar Malik.
"Setuju! Raden yang traktir, gue gas," imbuh Dylan. "Gue sama Malik yang keluar gapapa."
"Gak modal lo berdua," geram Raden. Walau sedikit kesal, Raden tetap memberikan uang untuk membeli makanan. "Jangan lupa, es teh jumbo."
"Buat aja," celetuk Abid. "Gue yang buat, lo beli es batu. Es batu di kulkas belum keras."
"Oke!"
Dylan dan Malik segera beranjak dari duduk mereka. Sebelum pergi Malik memperingati Raden, "Jangan lo habisin jajanannya. Kalo Abid gue percaya kagak rakus dia."
Raden mengambil pulpen Abid dan melemparnya, "Buruan beli sana! Udah laper ini," titah Raden.
"Ayo!" Rangkul Dylan pada Malik.
Setelah Dylan dan Malik pergi, Abid meminta tolong pada Raden untuk merebus air.
"Rebus air!"
"Kan lo yang mau buat, Bid."
"Beli teh, mau lo keluar beli teh?"
"Kagak!" tolak Raden cepat lalu beranjak pergi ke dapur.
****
Sedangkan Malik dan Dylan, mereka sedang mengantre. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi warung geprek tersebut masih sangat ramai.
"Giliran kita," ujar Malik senang. "Sana lo! Kan lo yang mau beli, gue tunggu sini."
"Iye," jawab Dylan.
Dylan segera mengambil pesanan mereka dan membayarnya, lalu mereka segera pulang. Sebelum pulang, mereka mampir ke warung dekat rumah untuk membeli es batu. "Beli apa?" tanya ibu warung.
"Es batu ada Bu?"
"Berapa?"
"Tiga," jawab Malik.
Setelah membeli es batu mereka segera pulang. Mereka sudah ditunggu oleh Abid dan Raden.
"Lama lo berdua," keluh Raden yang sudah sangat lapar.
"Ngantri, Bro," jawab Dylan. "Lagian punya rumah tapi malah gak pulang lo!"
"Nginep gue," jawab Raden.
"Lo jangan ikut-ikutan Lan," ucap Malik.
"Abid aja gak masalah kok," jawab Dylan.
"Katanya udah laper ya di makan. Jangan kayak bocil," ujar Abid.
Kemudian, mereka segera makan dengan tenang. Selesai makan, Abid membereskan semuanya.
Lalu, mereka kembali mengerjakan tugas seperti Abid. Semalam mengerjakan tugas, Dylan menjadi tidak fokus hingga mendapat teguran dari Malik lagi.
"Lo kenapa lagi? Perasaan udah makan, masih laper?"
"Bukan," jawab Dylan.
Laki-laki itu segera mematikan laptopnya, "Gue mau tidur duluan. Kalo hp gue punya, angkat aja. Bilang gue ga balik."
"Emang nyokap lo gak khawatir?" heran Raden.
"Aman," jawab Dylan. "Mereka juga lagi di luar kota, gue sendiri. Mending disini, ada Abid juga. Nyokap gak akan marah,” jelas Dylan.
Bagaimana tidak khawatir? Sudah hampir seminggu Dylan menginap disini dengan alasan tugas. "Tante sama Om balik, lo pulang," putus Abid.
"Gue sadar diri kok," timpal Dylan.
****
"Kak!"
Adira menoleh, "Udah?" tanya Adira, dia tadi sempat melamun karena Aldo lebih lama dari perkiraannya.
"Udah,” jawab Aldo melihat ke arah yang dilihat oleh sang kakak. “ Mau beli ayam geprek?" tanya Aldo karena kakaknya ternyata melihat ke penjual ayam geprek yang ada di seberang jalan sana.
"Enggak. Ayo pulang aja," jawab Adira.
"Tapi kakak lihat ke ayam geprek terus," celetuk Aldo.
Adira menatap Aldo dengan wajah yang dibuat datar.
"Gak cocok Kak. Udah ayo naik, gue kena marah Umma nanti," titah Aldo.
"Bawel banget adek kakak," ujar Adira mencubit pipi Aldo.
"Gue bukan bocil Kak!" sanggah Aldo yang tidak terima dikatakan bocil oleh sang kakak sambil berusaha melepaskan cubitan di pipinya. Sebenarnya cubitannya tidak sakit, tapi itu membuat Aldo malu karena di perhatikan orang-orang yang melewati mereka berdua
Karena sudah memerah, Adira melepaskan cubitannya. "Gak keras tapi sampe merah gini," ucap Adira.
"Merah bukan sakit. Tapi malu," jawab Aldo dengan suara pelan. "Buruan pake helm, kalo enggak gue tinggal!" ancam Aldo.
"Emang berani?"
"Kagak," jawab Aldo pelan. Jika sampai berani meninggalkan kakaknya disini, dia sudah pasti akan terkena omelan dari umma dan baba.
"Good boy," puji Adira menepuk pundak Aldo. "Ayo pulang!" seru Adira.
"Yang seharusnya jadi adek lo deh kak," celetuk Aldo sebelum melajukan motornya.
“Udah jangan mengeluh Do. Yang lahir duluan kan Kakak,” ujar Adira memperjelas posisi mereka.
#11Mei2024
Assalamualaikum
Apa kabar? TKD kembali hadir hari ini...
Seperti biasa ya, jangan lupa buat vote-komen-share...
Thx u :D

KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan✓
EspiritualNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...