Chapter 13 : Jihan Lutfi Rafardha

5 3 0
                                    

Rumah Jihan.
Awal tahun 2008.

Jihan takut. Ayah sama Bunda lagi berantem dibawah. Jie tadi mau ngambil minum ke dapur trus ngga sengaja denger Bunda teriak-teriak sambil bilang.

"Gua mau balik ke rumah lama gua." Bunda mau pergi, itu yang Jihan fikirkan.

Saat bunda bilang kayak gitu Ayah langsung nampar Bunda "Ibu belum mati jadi gua belum dapet bagianya, sabar dikit bisa ngga sih."

"Ini udah lebih dari apa yang kita rencanakan."

"Lu beruntung karena ibu lu udah mati."

Jihan gamau denger lagi, Jihan takut.

Kemarin nenek meninggal, Jihan sayang banget sama nenek, nenek Jihan baik, nggak kaya Bunda sama Ayah yang kalau baik ke Jihan waktu ada nenek sama oma aja.

Oma juga baik, Jihan juga sayang banget sama oma.

Kata bunda Jihan masih kecil, gaboleh ikut campur masalah orang dewasa, Jihan ga boleh ngomong apapun kesiapapun soal apa yang terjadi dalam rumah.

Apalagi kalau ngadu ke nenek sama oma soal ayah sama bunda yang suka berantem.

Itu gaboleh. Ini rahasia, Jihan itu padai jaga rahasia.

Rumah Sakit.
Pertengahan Agustus, 2017.

"Gimana? Suka sekolah barunya?" Gua cukup kaget waktu ayah nanya kayak gitu.

"Suka yah."

"Disini ada banyak orang, pasti salah satu mereka mengenali kita, jadi jangan kaku kayak gitu." Yah ini rumah sakit. Ayah berencana memperlihatkan keharmonisan keluarga kita  pada publik.

"Iya yah."

"Malam ini mau makan diluar?" Ayah kembali mengeraskan suaranya.

"Tempat favorit bunda bagaimana?" Akting seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari gua.

"Ide bagus."

"Ayah, Jihan mau beli minum, ayah mau?" Ayah tersenyum. Ah, andai saja senyumnya itu tidak palsu.

"Baiklah ayah tunggu disini ya, Jihan bakalan kembali secepat mungkin." Selesai mengatakan itu gua langsung pergi ninggalin ayah ditaman sendirian.

Cukup melelahkan harus berpura-pura menjadi sebuah keluarga yang harmonis didepan publik.

"Dasar keras kepala."

"Kau tahu Alea."

"Ziyad."

"Permisi." Salah satu perawat disana berhenti saat gua menghentikannya.

"Ada apa."

"Pasien yang masuk ruang VIR tadi, boleh tau siapa namanya."

"Maaf, tapi itu privasi pasien, tidak bisa dibocorkan."

"Baiklah, terimakasih."

"Ziyad." Gumam gua, apa dia?

Dulu sekali gua punya temen namanya Ziyad, dan itu adalah temen gua satu-satunya.

Selain Ziyad gua nggak pernah ngeliat orang yang tulus mau berteman sama gua, mereka cuman mau berteman dengan uang gua dan harta gua.

Ah mungkin ayah akan marah sama gua karena dengan bodohnya gua nunggu seseorang yang masuk ruang VIR tadi,

Pintu terbuka, menampilan seorang dokter wanita berambut panjang yang keluar bersama seseorang.

Gua berdiri? Udah lama sekali, gua bahkan nggak ingat seperti apa wajah Ziyad, kalaupun ingat sepertinya akan banyak yang berubah dari dia.

"Ziyad." Dokter wanita dan laki-laki yang bersamanya menoleh saat gua panggil nama Ziyad.

"Temen kamu Ziyad?"

"Ntahlah, ini baru pertama kalinya gua liat."

"Maaf, sepertinya salah orang."

"Jihan." Bunda manggil gua.

"Iya Bunda." Gua langsung pergi meninggalkan dokter dan laki-laki tadi.

SMAN Jaya Angkasa.
Pertengahan Agustus, 2017.

"Jihan Lutfi Rafardha. Kalian bisa panggil gua Jihan."

"Oke, Jihan kamu boleh duduk disamping Cakra disana." Gua ngangguk lalu duduk disamping orang yang guru tadi sebutkan.

Pembelajaran berlangsung sekitar 2 jam. Lalu istirahat pertama.

"Jihan." Gua menoleh saat seseorang memanggil nama gua.

"Jie, lu Jie kan? Jihan ini gua Ziyad." Gua tau.

"Iya Ziyad, gua tau." Tanpa aba-aba Ziyad langsung meluk gua sambil nangis.

"Gila lu, kemarin di rumah sakit kita ketemu lu ga bilang kalau lu Jie, dulu waktu kita kecil lu pergi juga ngga pamitan sama gua Jie, trus sekarang lu tiba-tiba muncul gini."

"Lepasin Ziyad, banyak orang, lu ga malu."

"Ga perduli gua." Ziyad tidak melepaskan peluknya, sampai pada akhirnya ada orang yang menarik bajunya.

"Kalau lu kayak gitu nanti dia pergi lagi, mungkin dulu waktu dia pergi itu juga gara-gara risih sama lu."

"Rehan bangke lu ya, main tarik-tarik aja."

"Owh hai Re, apa kabar?" Gua kenal Rehan, dia Kakak Ziyad.

"Baik."

"Jadi dia Jihan." Seseorang memperhatikan gua dari ujung rambut hingga ujung kaki dan itu bikin gua risih.

"Cabul lu bangsat." Rehan memukul seseorang dengan namtag Haikal.

"Heh, gua masih normal ya."

"Jihan kenalin, mereka temen-temen kita." Rehan memperkenalkan teman-temannya.

Setelah sesi perkenalan, akhirnya kita semua memutuskan untuk pergi kekantin.

"Asal lu tau Jie." Setelah lu gada, si Ziyad ini ngintlin gua mulu.

"Eh jangan ngaku-ngaku ya." Ziyad tidak terima dengan apa yang Rehan katakan.

"Eh gua ada bukti."

"Mana coba." Ternyata gada yang berubah, Rehan masih suka bertengkar dengan Ziyad hanya gara-gara masalah sepele.

"Mahesa, ayo bilang kalau Ziyad ngintlin gua sampai bisa ketemu lu."

"Eh, itu disuruh nenek buat nganterin makanan sama lu ya."

"Alesan aja terus."

"Intinya, Rehan sama Ziyad itu selalu nyeritain tentang lu." Cakra menengahi perdebatan antara Rehan dan Ziyad.

"Mereka bilang lu anaknya lucu kayak kurcaci." Ah Mahesa, lu ga liat gua paling tinggi diantara kalian.

Rehan berdehem, "itu dulu ya."

"Iya, karena sekarang lu kurcacinya." Apa yang Haikal katakan itu fakta. Rehan adalah yang paling pendek diantara kita.

"Berisik lu."

































To be continue....

Hallo Readers, bagaimana tanggapan kalian tentang suatu kebohongan.

Bagi saya jika suatu kebohongan dibuat untuk kebalikan itu tidak apa-apa, tapi ntahlah saya selalu bingung tentang itu, apakah pendapat saya itu salah?

The MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang