Bab 1 MATAHARI: Dia bukan matahari

6 1 0
                                    

"Pantas saja ia kembali memasuki ruangan ketika matahari terbit, ternyata ia membenci matahari."

Pagi hari ini Lilly kembali terbangun lebih awal, ia ingin memastikan hal yang selalu ia tinggalkan di waktu dini hari ini, dan benar saja pemandangan seindah ini selalu ia abaikan di pagi hari.

Abintara masih berolahraga, namun hari masih begitu gelap matahari belum terbit tapi Abintara sudah begitu banyak berkeringat.

"Jam berapa ia mulai? Mengapa tidak menunggu matahari terbit agar pembakaran lemak lebih stabil?"

Lilly bertanya-tanya dalam otak sambil memperhatikan nya secara diam-diam.

Sedangkan Abintara ia sudah mengetahuinya, namun masih tetap fokus pada kegiatan nya sambil tersenyum sedikit melihat tingkah orang dewasa seperti seorang remaja yang jatuh cinta.

"Bukan kah tidak sopan memperhatikan orang dengan sangat detail? Apa kau pisikopat?" Ucap nya membuat Lilly membulatkan mata, karena Abintara berbicara tanpa melihatnya dan hanya membelakangi dirinya.

Lilly segera memasuki kamar dan menguncinya, namun ia masih tetap sedikit-sedikit mengintip pada sisi jendela.

Matahari mulai terbit, dan Abintara masuk kedalam kamar dirinya dan lagi-lagi ia mendengar suara telpon dari Sagara tentunya.

"Abintara!! Lagi-lagi seperti ini?"

"Kau tau ini jam berapa?"

"Aku tau, aku tau, kak! kapan kaka akan mengerti Abintara? Abin takut kak, abin takut matahari!"

"Yah untuk itu kaka usulkan sebelum pukul 6 kamu sudah ada di lokasi syuting agar tidak terkena paparan sinar matahari Abin! Kemarin kaka pulang, dan kamu mengunci pintu bagaimana bisa membangunkanmu?"

"Kamu mau mengambil project ini apa tidak? Jika tidak kaka akan mengantikan nya, jangan memberatkan pekerjaan orang lain."

"Kaka yang membawa ku sampai sini? Dan ini masih salah ku? Hebat!"

"Ini mimpi mu Abintara!!"

"Mimpi ayah bunda! Bukan Abintara!" Teriak pria tersebut dengan menuntup ponsel dirinya.

Badannya pun seketika melemas, ia terduduk di pinggir meja dengan tangan yang menutup wajah, alunan musik yang di putar untuk menyemangatinya pun berubah menjadi sendu, mendukung rasa kekecewaan dirinya.

Abintara terisak dengan pelan, sambil menenggelamkan wajah pada lutut yang ia peluk.

Bukan mau dirinya untuk menjadi seperti ini.

Yah, dia takut matahari, serta alergi, jika terkena matahari dirinya akan merasa panas karena penyakit yang ia miliki.

Lilly heran dengan pria yang memasuki ruangan ketika matahari terbit, bukan kah itu puncak yang semua orang inginkan? Melihat matahari terbit dengan begitu indah.

Karena Abintara sudah memasuk kamarnya, Lilly lah yang pada akhirnya keluar, ia menatap detik-detik serta menit-menit matahari yang menaik keatas.

dengan di temani bau harum tanaman yang basah, serta udara yang begitu segar, bahkan dirinya sedang menggunakan parfum produk baru, aromannya pun semakin kuat dan menenangkan.

Abintara&UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang