BAGIAN VI

13 0 0
                                    


─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

"Jer, dimana anak itu?" tanya pria tua tersebut dengan menggebu-gebu. Ia tak sabar untuk menatap kembali wajah putri kandungnya serta menyerangnya dengan 1001 pertanyaan.

"Pa sabar aku lagi telepon Om Boff. Handphone Kak Ula ga aktif aku dari tadi telepon dia dan dia ga angkat. Aku yakin dia pasti lagi sama Om Boff." jawab Jeremy.

Lagi dan lagi. Ia kalah.

"Kenapa kalian lebih memilih Boff daripada papa? Kenapa kalian tidak menghargai perasaan papa? Kenapa kalian tidak pernah sedikit pun sensitif akan perasaan papa?" gertak pria tersebut

Jeremy yang berusaha menghubungi Boff kini harus memutuskan sambungan tersebut. Ia menahan emosinya sejak lama, tentu karena ia anak bungsu ia tak berani untuk melawan orang tuanya. Akan tetapi apa yang ayahnya ucapkan sungguh keterlaluan.

Setelah kabar yang mengejutkan di hari ulang tahun mamanya, Jeremy sungguh kecewa dengan sang ayah. Tentunya tak lagi dengan kabar perselingkuhan sang ayah. Entahlah hal itu jauh lebih sakit dibanding putus cinta menurut dirinya.

Beberapa setelah itu sang ibu kecelakaan dan hal tersebut yang membuat hatinya teriris sekian kalinya. Akan tetapi ia sadar bahwa sang ibu jauh lebih sakit dibanding dirinya maupun kakak perempuannya.

Boff Christove, adalah salah satu keluarga dari sang ibu yang sangat perhatian akan kondisi Jeremy serta Laura. Sedangkan ayahnya? Ia sibuk dengan istrinya serta anaknya yaitu Kirana. Tidak, Kirana bukanlah anak tiri. Ia adalah anak kandung dari pria tua tersebut. Bagaimana pun Kirana merupakan salah satu dari keluarga mereka.

"Pa udah pa, kita tau dulu dimana Kak Ula baru papa boleh bebas marahin aku." cegah Jeremy.

Ia sudah cukup lelah dengan ucapan sang ayah yang begitu kejam.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

Sudah 5 hari dirinya tak pulang kerumah tersebut. Ia senang tinggal seorang diri di apartemen miliknya yang dahulu menjadi kado ulang tahun ke-17 dari sang ibu. Ruangan tersebut menjadi tempat ia mengumpulkan inspirasi yang didapatkan dari banyaknya sumber. Setelah itu ia olah menjadi sastra yang indah tiada tandingnya.

Ini adalah kamar. Kamar yang penuh dengan tangisan, tawa dan amarah. Ia melampiaskan semuanya disini. Bukan di kamar ini. Tetapi pada tulisan yang diketik dengan mesin ketik jadul. Typewriter yang diwariskan oleh sang nenek kepada dirinya, menjadi alat jadul kesayangannya.

Sastra, ukir dan musik adalah tiga jenis seni yang ia sukai. Ratusan novel kini terpampang rapi pada ruang tamu miliknya. Sedangkan lukisan serta ukiran patung dapat dilihat di sekeliling kamar serta apartemen tersebut. Lain dengan alat musik. Studio kecil pada apartemen tersebut diisi rapih dengan beberapa alat musik seperti piano, biola, cello, gitar, bass, saxophone dan xylophone.

Baginya semua hal dapat ia ekspresikan dalam ketiga seni tersebut. Tak hanya membaca akan tetapi dirinya juga telah menerbitkan beberapa buku yang begitu diminati oleh ribuan bahkan jutaan orang. Selain itu lukisan serta ukiran patung yang ia buat ketika ia bosan, sedih maupun marah bernilai jutaan rupiah. Dilain sisi karya musiknya yang tak begitu ia tonjolkan menjadi pusat perhatian orang terdekatnya.

Hanya orang terdekatlah yang dapat menikmati indahnya suara serta dentingan nada-nada pada harmoni dan melodi yang ia ciptakan

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang