BAGIAN I

24 1 0
                                    


─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

Kamar tua, dinding kusam dan tirai yang berdebu kini terpancar oleh sang surya. Pagi yang dingin dan cerah menyelimuti tubuh seorang perempuan yang kian tidur pada kasur rapuhnya. Penyakit bukan lah larangan untuk tidak pergi ke kamar tersebut.

Kedua kelopak mata yang tertutup kian terbuka. Menampakkan sepasang netra coklat yang indah. Terpancar kesedihan, kesepian dan keriduan. Sama seperti kamar tersebut, kosong nan sunyi. Tiada kehidupan yang terpancar dari sepasang netra indah tersebut.

Ia duduk. Duduk sambil menggosok wajah mungilnya dengan kedua tangan kecil yang penuh luka. Tirai coklat kini tersibak dengan perlahan, terpisah menjadi dua bagian.

Sepasang jendela kayu berwarna coklat kini terbuka dengan lebar. Menampakkan sang surya yang kian menyirami bumi dengan kehangatan serta cahaya yang indah. Layaknya susu sapi yang putih dan bersih, sepasang kaki putih nan mulus kian menuruni anak tangga dengan perlahan. Kedua netra coklat kini menatap lurus ke arah seorang lelaki muda yang kian mengukir karya pada dapur kecil tersebut.

Aroma gurih kian memasuki indra penciuman sang gadis. Terpampang rapih pada sebuah meja kayu yang tak begitu panjang. Tiga buah piring yang telah terisi dengan berbagai macam racikan yang menggoda selera. Sebuah bakul kecil telah terisi penuh dengan butiran nasi yang tak terhingga.

Seorang laki - laki menyentuh pelan pundak sang gadis. Dengan seulas senyum hangat pada wajah tampannya, kini ia duduk bersebrangan dengan sang gadis.

"Kok di lihatin doang sih makanannya, monggo di makan dong masakan adek." ujar sang lelaki.

Dengan sigap sang gadis mengambil dua buah piring kaca berwarna kuning serta dua buah gelas bening yang telah terisi air. Ia sendok dengan perlahan nasi pada bakul kecil tersebut. Dalam hitungan detik nasi tersebut hilang entah kemana.

Seekor ikan yang kecoklatan akibat panasnya minyak goreng, kini telah pilih oleh sang gadis untuk ia lahap. Tak lupa dengan gurihnya cah kangkung yang disajikan dengan irisan bawang putih. Tentunya tahu menjadi pilihan terakhir untuk ia letakkan pada piring kacanya tersebut.g

Sedangkan sang lawan jenis jelas berbeda. Jika sang gadis mengambil seluruh makanan dengan porsi yang cukup, lain dengan dirinya. 2 buah ikan goreng kian telah tidur dengan tenang pada piring kacanya. Tentunya dengan nasi yang bak gunung merapi yang kian tinggi tiada tanding. Tak lupa dengan sepasang tahu dan sepasang tempa kini pun telah terpampang nyata pada piring tersebut.

"Dek kamu habis segitu? Inget loh kita bukan lagi dirumah, jadi untuk beli bahan dapur pasti sulit loh." ucap sang gadis.

Tentunya sang lawan bicara hanya mengangguk dan tentunya dengan terburu-buru ia menyampaikan doa singkat sebelum ia menyuapkan seluruh masakan lezat tersebut kepada mulutnya.

Sang gadis hanya menggeleng kepala. Ia pun memanjatkan doa, tak hanya doa makan tetapi ia memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan atas berkat yang ia dapatkan pada hari yang cerah ini.

Kedua insan muda tersebut menikmati makanan lezat disertai canda dan tawa. Seolah beban terangkat dari kedua pundak insan muda tersebut. Menikmati hari dengan memakan makanan yang lezat serta orang yang tepat.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

Sebuah buku dengan sampul hitam yang kini diukir oleh sebuah tangan indah milik sang gadis. Sebuah gambar serta tulisan kecil nan indah kian terukir rapi pada salah satu dari ribuan halaman tersebut.

Untuk aku yang hilang, entah kemana. Kembalilah, aku lelah.

Ditutupnya perlahan buku tebal nan berat itu. Pena hitam pun ia letakkan dengan sembarang diatas buku tebal tersebut. Laura, tulisan besar nanti tebal terlihat jelas pada sampul hitam tersebut. Menandakan sang pemilik buku bernama Laura.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang