Rumah? Apa itu rumah? Tentunya setiap orang memiliki definisi sendiri tentang rumah. Tempat pulang? Tempat nyaman? Tempat berkumpul dengan keluarga? Surga dunia dimana cerita kita tidak akan bocor keluar?Untuk Shanira bukan itu definisinya. Untuknya rumah hanyalah bangunan besar dengan segala kemegahan isinya, namun rasanya kosong. Setiap sudut yang terlihat hanya memancarkan bayangan kelam yang tidak layak untuk ada dalam ingatan.
Bahkan hiruk pikuk kegiatan didalamnya dengan bercengkrama menghabiskan waktu bersama orang-orang yang dilabeli keluarga, tidak ada. Baginya kondisi rumah dengan keluarga itu hanya sebuah dongeng, tidak lebih.
Tidak pernah ada warna dalam hidupnya didalam
Bangunan megah nan futuristik ini, Shanira hanyalah perempuan dewasa yang keberadaannya seperti antara ada dan tiada. Raganya terbanting dengan adanya dua Kakak laki-laki yang lebih "diminati" sebagai aset keluarga."Anak perempuan itu tidak bisa mempertahankan kekayaan dalam keluarganya"
Ucapan figur seorang Ayah yang terpatri dalam ingatannya, tentunya bukan ucapan indah.
Prestasi sebanyak apapun tidak ada harganya dimata kedua orang tuanya yang mendewakan harta, tahta tanpa wanita. Bahkan sosok ibu pun tidak pernah ia rasakan, karena sibuk mengurusi dua kakak laki-lakinya.
Sering Shanira bertanya kenapa Ia harus dilahirkan jika kehadirannya tidak dianggap, mau sejenius apapun anak perempun tidak akan pernah sebanding dengan anak laki-laki.
"Sudahi main-main kamu Shani, Papa sudah menemukan seseorang yang pantas untukmu. Dan dia akan menguntungkan bisnis Kakak mu yang sedang dirintis, terlebih posisi Papa akan aman jika kamu bisa bersama dia nantinya."
Shanira heran dengan tiba-tiba Tuan pemilik rumah menjadikannya topik utama diatas meja makan, namun topik yang tentunya akan merugikan dirinya.
"Papa benar, bantuin Kak Hary lah Shan. Dia pasti akan suka sama kamu, nanti setelah kamu menikah dengannya bisnis Kakak pasti akan cepat pesat. Keluarga kita pun akan aman terus."
Laki-laki berperawakan tegap dengan rambut model comma berpenampilan rapih ikut menyinggung Shanira
"Kamu pun akan menjadi wanita yang beruntung kalau bisa menikah sama dia, hidupmu akan sangat tercukupi."
"Kenapa ga kamu saja yang nikahin dia." Respon Shanira begitu datar dengan tatapan tajam
"Manner Shani." Papa menajam dalam tatapannya "Dia Kakak kamu!"
"Kakak? Sejak kapan?" Sinisnya "Lagian, kalau fungsi aku untuk menutupi kekurangan keluarga ini, lebih baik aku keluar dari rumah. Bukankah selama ini keberadaan ku tidak pernah Papa lihat? Kenapa sekarang tiba-tiba menawari hal menjijikan seperti ini!"
"Papa bilang jaga sikap kamu Shani. Papa tidak suka dengan bantahan, kamu tahu itu bukan?"
"Ya, dan aku tidak suka diatur oleh Papa yang bahkan tidak pernah menganggap keberadaanku."
"Mulailah berguna jika kamu masih ingin menyandang nama Wicaksono, Shanira Lani!"
Perdebatan Papa dan anak bungsunya tidak ada yang berani menyela, bahkan Mamanya sekalipun.
"Aku tidak perlu dengan nama belakang itu, terserah mau Papa usir aku sekalipun silahkan. Dengan senang hati aku akan keluar dari rumah ini!" Shanira telah berhenti dari kegiatan makannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Lani & Raya
FanfictionMungkinkah persahabatan bisa terjalin dari rasa sakit atas kehilangan? Bagaimana jika perasaan yang hadir adalah perasaan yang tidak seharusnya? Akankah rasa yang hadir dalam sebuah kebohongan bisa bertahan lama?