Telepon tak lagi diangkat oleh Tristan setelah Kasih membereskan permasalahannya karna tak sengaja menabrak motor tak berlamou melintas didepan mobilnya. Karna Kasih ingin cepat-cepat bertemu Tristan dengan cepat Kasih bertanggung jawab sepenuhnya dengan memberi uang kerusakan motor dan menelpon ambulans untuk membawa pemotor yang terlihat memiliki luka dibagian kiri tubuhnya.
Mungkin jika Kasih egois ini sepenuhnya bukan salahnya karna motor itu mengendarai dengan kecepatan penuh yang bahkan memiliki rem yang blong dan lampu motor yang tak menyala, saat menunggu ambulans Kasih menyempatkan melihat keadaan pemotor yang sepertinya seorang pemuda yang masih di jenjang sekolah.
"Umur kamu berapa tahun?" Tanya kasih dengan lembut, sudut bibir pemuda yang terlihat robek dan leher yang memerah keuangan seperti habis dicambuk. Dia melihat Kasih secara sekilas karna sebenarnya dia juga merasa bersalah dengan kejadian ini.
"18" singkatnya.
Ada dua opini yang Kasih pikirkan pada anak itu, antara anak itu memang nakal dan habis berkelahi atau anak itu diperlakukan kasar oleh seseorang.
"Sekarang ambulans lagi kesini buat bawa kamu, biar tau takutnya ada luka parah di tubuh kamu" Kasih benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada anak ini. Kasih mendekat membisik sambil memberi sebuah kartu nama miliknya.
"Kalau kamu ada keluhan lain bisa langsung telpon saya atau langsung datang ke rumah sakit ini ya, bukannya bermaksud apa-apa tapi luka yang ada di wajah dan leher kamu sepertinya ada kejadian lain ?" ucap kasih dengan nada bertanya.
Pemuda itu menatap Kasih kembali sedikit lebih lama, Kasih menelik mata pemuda itu lebih dalam, seperti ada luka yang ia miliki. Bukan luka secara fisik saja tapi sepertinya ada luka juga dalam hal psikisnya.
"Gapapa it's okey , saya gak maksa kamu buat jawab. Tapi kalau misalnya kamu gak ada tempat untuk cerita bisa langsung telpon saya ya" Benar, mungkin jika anak nakal dia akan memberontak, tapi menurut Kasih sesuai tampilan dan sorot mata pemuda itu seperti bukan anak nakal atau begajulan.
Saat melihat handphonenya yang memunculkan notifikasi bahwa pemadaman listrik sudah selesai. Kasih baru teringat pada Tristan yang harus cepat-cepat ia temui sebelum kejadian buruk lainnya datang.
Ambulans pun datang, pemuda itu dibaringkan di sebuah brankar karna kakinya yang keseleo akibat tindihan dari motor. Dalam waktu bersamaan juga Kasih benar-benar tidak karuan pusing dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. Seperti melepas tanggung jawab untuk melakukan tanggung jawab lainnya.
***
Apartemen ternyata sudah menyala sejak tadi saat Kasih masih mengobrol dengan anak remaja yang tertabrak oleh mobilnya. Namun meskipun demikian Kasih berlari untuk menuju lift dan pergi ke apartemen milik Tristan yang berada dilantai 11.
Dengan terengah-engah Kasih langsung memencet nomor pin apartemen, alangkah terkejutnya Kasih melihat Tristan yang sudah bersandar dengan lemas dan handphonenya yang berada ditangannya.
Kasih menghampiri Tristan sambil menahan air mata rasa bersalahnya, ini bukan sepenuhnya salah Kasih tapi Kasih mengumpat menyalahkan dirinya sendiri dalam hati.
Tristan memeluk Kasih yang tubuhnya bergetar karna panik dengan kecelakaan tadi dan mengkhawatirkan Tristan, untungnya Tristan sudah lebih baik sepertinya. Sedikit berbohong, Tristan masih benar-benar merasakan denyutan sakit didaerah jantungnya tapi dia memaksakan untuk berbuat seakan dia baik-baik saja sekarang.
"Maaf, semuanya salah aku. Harusnya tadi aku fokus buat liat jalan. Harusnya aku gak biarin kamu tinggal sendirian. Harusnya—"
"Harusnya aku yang minta maaf" Tristan menggeleng menolak permintaan maaf dari Kasih karna menurutnya ini bukan salah Kasih.
Mereka saling memeluk, bertengkar dengan pikirannya masing-masing entahlah Tristan benar-benar lelah dengan keadaannya yang benar-benar membuat semua orang bersusah payah terutama Kasih. Dalam benaknya kata menyerah selalu ada namun dalam waktu lain kata ingin hidup terus menerus diucapkannya.
Tristan meremas dada bagian Kirinya tepat pada jantungnya benar-benar terasa sakit sekarang, serangan paniknya belum reda walau lampu sudah menyala disetiap sudut ruangan.
"kita kerumah sakit sekarang" Kasih meraih handphone milik Tristan untuk dimasukkan ke dalam tasnya dan bersiap-siap untuk membawa Tristan ke lantai bawah dan pergi ke rumah sakit, namun dengan keras kepala Tristan menggelengkan kepalanya penuh tolakan. Kasih benci Tristan satu ini, bersikap seakan-akan dia baik-baik saja padahal wajahnya yang pucat dan matanya yang memerah tak bisa ditutupi.
Kasih menggigit bibir bawahnya berpikir harus bagaimana sekarang, Kasih langsung membeyeng Tristan untuk duduk di sofa dan langsung mengambil pompa oksigen yang berada di kamar Tristan. Ancang-ancang jika Tristan merasakan sesak berlebihan.
"Gak bisa dengerin aku sebentar ? Aku gak mau hal lain terjadi makin parah, aku telpon dok—"
Lagi , lagi dan lagi Tristan menggeleng cepat mencoba menenangkan Kasih dengan usapan tangannya padahal dirinyapun belum bisa memenangkan dirinya sendiri.
"Aku baik-baik aja, asal ada kamu. Tolong jangan nangis karna aku, jangan khawatir karena aku, jangan karna aku kamu gak liat keadaan kamu sendiri" tatapan Tristan membuat air mata yang Kasih tahan sedari tadi langsung runtuh seketika, kata jangan nangis tidak benar-benar masuk kedalam gendang telinga Kasih dia benar-benar langsung menangis sekarang.
"Kamu juga gak pernah mikirin kamu sendiri" Kasih tersenyum melihat ke arah lain mencoba untuk menghindari kontak mata dari Tristan.
"Semua aja bilang baik-baik aja padahal keadaan kamu kayak gini, aku khawatir sama kamu bedakan khawatir sama kasihan ? Aku khawatir, sedari kecil aku selalu dikelilingi dengan rasa aku takut orang lain kenapa-kenapa dibandingkan mikirin diri aku sendiri" ucapannya terjeda karna isakan tangis yang tak bisa ditahan lagi.
"Waktu belajar sepeda bareng kak Deo dan kita jatuh barengan apa yang aku tangisin ? Aku nangis liat kaki kak Deo yang cuman kegores sedikit sedangkan lutut dan tangan aku ngeluarin banyak darah, aku kecewa sama orang yang bilang baik-baik aja sama aku cuman karna biar aku gak khawatir"
Kasih berucap panjang lebar membuat Tristan tertegun, dia benar-benar menceritakan bagaimana sifatnya yang benar-benar tak bisa dihilangkan, tapi Tristan mengernyitkan keningnya berpikir siapa kak Deo yang Kasih maksud.
"I'm sorry, aku udah bohong sama kamu. Kalau semisal sebentar lagi aku gak sadarkan diri, aku mohon jangan nangis ya. Lakuin apa yang kamu mau buat keselamatan aku" Tristan menyandar pada pundak Kasih dengan tangannya yang masih meremas dada kirinya yang sakitnya sudah semakin parah.
"Ngomong apa sih kamu Tan, Tristan" Kasih menepuk-nepuk pipi Tristan berharap terbangun namun dengan cepat juga Kasih langsung menelpon ambulans untuk membawa Tristan cepat-cepat ke rumah sakit.
"Tristan, aku gak bisa tinggal diem" Kasih langsung membopong tubuh Tristan dengan tubuhnya yang jauh lebih kecil dari tubuh Tristan karna ingin cepat-cepat pergi ke rumah sakit.
... bersambung