09. Membaik
Umma Aira baru saja keluar dari kamar putrinya langsung dikejutkan dengan keberadaan suaminya yang ternyata menunggu di luar. "Abang buat kaget saja," ucap Umma Aira.
"Maaf, sayang. Dira gimana? Sudah turun demamnya?"
Umma Aira tersenyum yang menular pada Baba Zaidan. "Alhamdulillah, sudah turun. Abang belum makan kan? Ayo makan dulu."
"Alhamdulillah," senang Baba Zaidan.
"Ayo! Sekarang Abang makan dulu," ajak Umma Aira yang menggandeng tangan Baba Zaidan.
Walau sudah menikah lama, tapi keromantisan keduanya tetap sama bahkan lebih romantis lagi. Sering kali anak-anak mengeluh melihat keromantisan dari baba pada umma, tapi sebenarnya mereka suka melihat itu. Hanya saja, Baba Zaidan sering kali lupa jika sudah memiliki dua orang anak yang sudah beranjak dewasa saat sedang bucin pada Umma Aira.
"Masak apa hari ini Ai?"
"Cuman sayur bening sama tahu-tempe goreng, Bang. Atau Abang mau makan yang lain? Ai masakan dulu," tawar Umma Aira.
Baba Zaidan tersenyum manis sambil mengusap puncak kepala istrinya yang tertutup kerudung, lalu mengecup keningnya lama. "Tidak usah. Siapkan saja apa yang Ai masak hari ini."
Umma Aira sedikit terkejut, walau sudah menikah bertahun-tahun, rasanya masih seperti baru. "Abang duduk dulu. Ai siapkan," Umma Aira mengarahkan Baba Zaidan untuk segera duduk.
"Abang bantu sekalian ya," ucap Baba Zaidan.
Umma Aira menggeleng. "Ndak usah Abang. Abang duduk, Ai yang siapkan. Oke?" tegas Umma Aira.
Tanpa disadari oleh mereka, anak bungsu mereka diam-diam mengintip dari lantai dua. "Mau heran. Tapi orang tua sendiri, langgeng terus Umma-Baba." Setelah mengucapkan itu dengan pelan, Aldo kembali masuk ke dalam kamar sebelum ketahuan mengintip.
****
Kumandang adzan membangunkan Adira yang terlelap karena efek samping obat. Ketika bangun, dia sudah merasa membaik walau panasnya belum sepenuhnya hilang. Dengan sedikit memaksakan diri, Adira bangkit ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Air dingin yang menyentuh kulit terasa sejuk bagi Adira. Selesai wudhu Adira merasa segar, dia segera keluar kamar mandi dan menggelar sajadah menghadap kiblat. Jika biasanya dia akan memilih sholat di mushola rumah, tapi tidak karena masih lemas.
Adira segera mengenakan mukena dan memulai sholatnya. Tapi dia urungkan karena pintu kamarnya terbuka. "Udah atau baru mau sholat?" tanya Aldo yang membuka pintu kamarnya tanpa di ketuk.
"Lain kali bisa ketuk sebelum masuk?" tanya Adira.
Aldo mengangguk. "Maaf lupa, Kak. Jadi udah sholat belum?"
Adira menggeleng.
"Sholat bareng ya. Tungguin, gue mau ambil wudhu dulu."
Adira memilih duduk sambil menunggu Aldo yang sedang mengambil wudhu. Lima menit kemudian, Aldo keluar dengan air wudhu yang masih menetes.
Mereka sholat berjamaah dengan Aldo sebagai imam. Selesai sholat dan berdoa, Aldo berbalik lalu meraih tangan kakaknya dan menciumnya. "Panas, kak."
"Namanya demam, Do."
"Istirahat lagi, ini biar gue yang beresin. Sana tiduran lagi!" titah Aldo.
Adira menolak untuk tiduran, tapi dia membiarkan Aldo merapikan bekas sholat mereka. "Terus lo mau ngapain?"
"Duduk. Tambah pusing kalo tiduran terus," jawab Adira.
"Mau turun?"
"Enggak."

KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih Dylan✓
EspiritualNazima Adira Alifa Al-Ghifari, gadis berusia 18 tahun yang baru masuk ke dunia perkuliahan. Di usia yang baru beranjak dewasa ini merupakan masa pencarian jati diri. Di masa ini pula, dia jatuh cinta. Jatuh cinta adalah fitrahnya manusia, setiap man...