Pertemuan antara Raina dan Andara ternyata tidak semenyeramkan yang Andara bayangkan. Mereka hanya berbicara seperti biasa karena Raina berusaha menempatkan dirinya di posisi Andara.
Raina bahkan dengan sopannya izin, "maaf Dara, tapi kamu keberatan gak kalau aku bahas mengenai masalah kamu sama adik aku?" Begitu katanya setelah mereka ditinggalkan berdua.
Andara mengangguk karena pikirnya, memang apa yang mendasari kakaknya Jenagara itu ingin bertemu dengannya jika bukan karena masalah yang ada. Topik itu tetap akan dibahas mau tidak mau.
"Setelah ketemu kamu kaya gini, aku jadi yakin kalo kamu beneran gak aneh aneh. Awalnya aku takut kalau perempuan yang harus Jegra nikahin itu perempuan gak baik. Tapi kamu ngga gitu, gatau kenapa tapi aku ngerasa kalo kamu lagi gak bohongin aku."
Andara tersenyum tipis. "Wajar kakak ngerasa gitu. Sebenernya sejak awal aku juga gak berharap banyak ko sama bapak dari calon bayi aku. Ada atau ngga nya bapak dia nanti, aku tetep bakal urus dia sampai dia lahir dan tumbuh besar."
"Kalau boleh tau, kenapa kamu mikir gitu?" Tanya Raina penasaran.
"Karena aku kesepian setelah orang tua aku meninggal. Aku gak punya kakak ataupun adik. Aku hidup sendiri setelah keluarga aku pergi. Aku sempet tinggal bareng sodara sih, tapi setelahnya aku nyari uang sendiri. Aku cuma berharap kalau anak aku nantinya bisa jadi temen hidup aku, makannya mau gimanapun ke depannya, sejak awal aku emang bakal pertahanin dia."
Raina tersenyum tulus. "Makasih ya. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Aku sama Jegra ditinggal orang tua kita emang gak selama kamu. Kita ditinggal mama sama papa dua tahun yang lalu. Kondisinya, aku sudah menikah sementara Jegra belum. Jegra juga belum pacaran."
Andara menyimak dengan tenang.
"Tapi, kabar kematian orang tua kita emang bikin Jegra deket sama perempuan yang kemarin jadi pacarnya. Mereka akhirnya pacaran, satu setengah tahun pacaran, tiba tiba perempuannya dikabarin bakal tunangan. Ternyata udah sejak lama perempuannya berpaling ke cowo lain."
Andara tidak tahu harus bagaimana menanggapinya selain dengan diam dan mendengarkan Raina.
"Tunangannya ternyata lawan bisnis Jegra. Aku juga gatau apa motivasi perempuan itu dengan mainin hatinya Jegra. Yang jelas, aku kecewa banget karena dia tiba tiba mutusin hubungannya sama Jegra padahal dia yang salah di sini."
Ah, pantas saja Jenagara mengatakan bahwa dia mengalami stres berat saat itu. Mungkin karena dia yang mengalami langsung sakitnya pengkhianatan. Kakaknya saja merasa kecewa, apalagi dia yang dikecewakan. Pasti lebih sakit dari yang orang kira.
Andara tetap diam karena bingung harus menanggapi bagaimana.
"Sebenernya, kalau boleh tanya. Kamu yakin mau nerima Jegra? Kalian kan belum lama saling kenal."
Andara mengangguk pelan. "Aku gak masalah kak. Yang penting anak aku punya orang tua lengkap. Gimanapun juga, Mas Jegra kan ayah dari bayinya. Aku gak pernah berhubungan sama siapapun kecuali malam itu. Kalau gak percaya kakak boleh ko tes dna anak aku ntar sama Mas Jegra."
"Aduh bukan gitu." Raina menggeleng panik. "Aku tuh justru lagi khawatir sama kamu loh. Kamu kan belum kenal Jegra gimana. Aku takutnya kamu nyesel kalau ntarnya Jegra ternyata gak sesuai sama ekspektasi kamu."
Mendengar ini, Andara tertawa jenaka. Matanya menyipit karena tawa. Dan yang terjadi barusan membuat Raina terkekeh karena Andara begitu cantik saat ia tertawa tadi.
"Aku gak pernah naruh ekspektasi ke orang kak. Sifat manusia itu dinamis. Aku juga gak punya kriteria idaman karena gak pernah kepikiran bakal nikah juga. Aku pacaran aja gak pernah kak, selama hidup aku kayanya mikirin uang doang deh. Abis kalau gak ada uang aku gak akan bisa makan." Katanya tidak sadar kalau dia baru saja mengeluhkan hidupnya.
