Setelah kejadian tempo hari, datang ke kantor untuk mengantarkan makan siang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari untuk Andara. Dia akan menutup kedai sementara untuk antarkan makan siang dan kembali ke kedai setelahnya.
Kadang diminta untuk menemani Jenagara makan siang. Dia tidak keberatan sama sekali, entah kenapa semuanya menjadi kebiasaan yang cukup dia senangi.
Tapi, meski hubungan keduanya sudah berangsur semakin dekat. Tetap belum ada rencana lebih jauh mengenai pernikahan. Andara tidak berniat menuntut, meski kadang dia penasaran apa yang akan mereka hadapi kedepannya.
Apa pernikahan itu akan terjadi? Dalam waktu dekat atau justru menunggu dia melahirkan anaknya? Andara juga tidak tau.
Sampai akhirnya, suatu hari. Jenagara tiba-tiba hilang kabar. Sejak hari itu, Andara tidak pernah berani datang ke kantor kalau belum bertukar kabar. Dia pasti meminta izin ke Jenagara untuk pergi ke kantornya.
Tapi sudah hampir dua hari, Jenagara sama sekali tidak bisa dihubungi. Padahal biasanya sesibuk apapun, Jenagara selalu berusaha untuk membalas pesan dari Andara.
Andara bingung, juga khawatir. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa.
Dan lagi, sebenarnya hari itu jadwal dia untuk kontrol kandungannya. Ya, setelah dinasihati berkali-kali oleh Raina. Andara akhirnya memberanikan diri meminta ditemani Jenagara untuk periksa kandungan.
Andara menghela nafas lelah. Masih tidak ada pesan sama sekali.
Jadi sepulang dari kedai, Andara memutuskan memeriksa kandungan nya sendiri. Mungkin Jenagara memang sedang sibuk sampai dia tidak bisa membalas pesannya.
Jujur, seharusnya Andara tidak se-khawatir ini karena pesannya tidak dibalas. Tapi kebiasaan Jenagara yang selalu cepat tanggap dalam membalas pesannya, buat Andara berpikir kalau ada yang aneh dengan Jenagara sampai tidak membalas pesannya setelah dua hari.
Andara tidak sadar kalau setiap menit nya dia memeriksa ponsel demi memastikan kalau Jenagara memang tidak membalas pesannya.
Sampai akhirnya, sebuah panggilan masuk membuat Andara raih ponsel nya dengan cepat. Jenagara menelpon.
"Halo?" Sapa nya langsung.
Tapi yang menjawab bukan Jenagara, melainkan suara Raina.
"Dara, aduh maaf ya aku kemarin kemarin gak dateng ke rumahnya Jegra."
Andara mengerutkan kening. "Maaf kenapa kak?" tanyanya bingung.
"Ini, aduh sebenernya aku buru-buru karena mau pergi lagi. Kamu bisa ke rumahnya Jegra gak? Dia sakit ini kayanya dari kemarin deh, aku minta tolong banget ya. Tolong urusin Jegra sebentar, nanti kalau aku udah selesai aku langsung ke sini lagi."
Mendengar penuturan Raina, Andara buru-buru bersiap untuk pergi ke rumah Jenagara.
Ya, mungkin terdengar berlebihan. Tapi dia betulan khawatir mendengar kabar mengenai keadaan Jenagara itu dari Raina.
Sampai di rumahnya Jenagara, ternyata Raina sudah pergi. Tapi dia meninggalkan kotak makan dengan selembar kertas pesan yang isinya mengatakan kalau Raina meminta maaf karena harus buru-buru pergi.
Makanan itu untuk Jenagara. Raina bilang Jenagara masih tidur dan dia tidak enak mengganggu tidurnya.
Tapi Andara tidak bisa, dia harus memastikan kalau Jenagara sudah makan. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu sejak kapan Jenagara sakit.
Baju atasnya memang sudah berubah, tapi waktu Andara menyingkap selimut. Ternyata Jenagara masih pakai celana setelan yang biasa dipakai untuk ke kantornya.
Andara menghela nafas kasar. "Kenapa gak ngabarin aku sih kalau sakit?" Lirihnya pelan.
Tangannya terangkat untuk menyentuh kening Jenagara dan lehernya. Panas, tapi untungnya tidak begitu tinggi. Andara tidak tahu dimana kiranya Jenagara menyimpan termometer, jadi dia tidak bisa memeriksa suhu tubuhnya.
Andara juga tidak niat untuk mencari karena rumah Jenagara terlalu besar.
Tapi karena yang dirasa tangannya panas, Andara akhirnya inisiatif mencari handuk kecil untuk kompres dahi Jenagara.
"Mas, bangun dulu yuk, udah makan belum?" Tangannya menggoyangkan tubuh Jenagara.
Andara mencebik sedih, "Mas kamu tuh ya ampun. Kenapa bisa sampe sakit gini sih?" katanya masih usaha menyadarkan Jenagara.
Untungnya tidak lama dari itu, Jenagara mau membuka matanya perlahan.
"Mas, kamu udah makan apa belum?"
Jenagara melenguh, matanya mengerjap saat yang ditangkap matanya pertama kali adalah presensi Andara.
"Mas? Kamu denger aku ga?"
Jenagara mengangguk pelan, "Kamu kenapa bisa di sini?" Tanyanya yang bangkit dibantu Andara.
Handuk di keningnya dilepas oleh Andara.
"Kenapa gak bilang kalau sakit?"
"Maaf." Jenagara tersenyum tipis, "saya seneng liat kamu di sini."
"Mas lain kali kalau ada apa apa tuh bilang coba. Mas suka bilang gitu sama aku, jadi Mas juga kalau ada apa apa bilang. Dari kapan Mas sakit gini?" Tanya Andara sedikit kesal.
Tapi sekesal kesalnya dia yang tidak diberi kabar oleh Jenagara, dia lebih khawatir melihat kondisi Jenagara sekarang.
"Maaf" katanya lagi memohon ampun. Merasa bersalah melihat ekspresi Andara yang kelihatan khawatir padanya.
Andara menghela nafas lelah, "aku tuh bingung Mas." Katanya lirih. Mengesampingkan soal Jenagara yang masih sedikit pusing.
Jenagara bertanya tanpa suara. Maksudnya, memberikan bahasa tubuh yang artinya dia siap untuk mendengarkan apapun keluhan Andara.
Gadis di depannya mendekat, lebih dekat daripada yang pernah ia kira.
"Aku bingung, aku selalu ngerasa gak berhak buat khawatir sebegininya sama kamu. Aku bingung kenapa aku sedih waktu kamu sama sekali gak kabarin aku. Aku bingung Mas, aku bingung harus apa."
Jenagara tersenyum tipis. Sebelum menjawab kebingungan Andara dengan pernyataan yang membuat Andara terpaku.
"Kalau gitu, kita percepat aja ya pernikahannya."
Padahal seharusnya yang mereka pikirkan itu proses penyembuhan Jenagara.
Memang dasarnya saja si bos besar ingin cepat cepat ada yang mengurus.
