17. satu hari sebelum pertunangan

315 8 0
                                    


Bima semakin murka dengan kekuatan Ratih bagaimana ia bisa hidup dengan monster yang begitu mengerikan.

Lelaki itu akan segera mengakhiri hubungan karna masa pertunangan hanya kurang beberapa hari dan citra belum di temukan.

Lelaki

manis itu mengacak rambutnya yang berbalut kopiah. Ia keluar dari masjid dan akan memutuskan kembali ke desa sebelah.

"Mbak Ijah...mbak Ijah meninggal pak!" Teriak seorang lelaki muda pada Mbah Yanto tetua desa yang sangat berpengaruh karena mengetahui seluk beluk desa itu.

Bima mengurungkan niatnya untuk pulang lelaki itu ngelayat ke rumah Anang teman kerjanya itu. Lelaki itu sama sekali tidak sedih hanya Karina yang terus menangis mencari ibunya.

Ibu-ibu yang memandikan jenazahnya pun histeris melihat tubuh perempuan cantik itu mengurus dan renta aromanya juga sangat busuk. Hanya ibu jeni saja yang tidak terkejut ia sudah terbiasa dengan perubahan majikanya.

"Katanya Mama jeni dia itu memuja jin yang ada di gunung maka nya sekarang kena karma sampai anaknya aja gak kenal gak mau ketemu sama dia!" Ucap seorang perempuan muda berbisik pada perempuan lainya.

"Jin di gunung, maksutnya gimana mbak?" Tanya bima berpura-pura polos

"Bener mas bim, dia itu ngaku sama Mama jeni kalau dia menekuni ilmu itu tapi sebelum dia mati. Ia minta sama mama jeni untuk membimbingnya sholat."

"Ihh...ngeri banget mas, pantesan dia cantik dan kaya. Hati-hati mbak Ratih kan Deket sama keluarganya nanti di ajak aneh-aneh." Tutur ibu-ibu lainya

Bagai di sambar petir bima hanya terdiam mendengar ucapan mereka. Ratih juga mengunakan ilmu itu apa mereka bersekutu sebelumnya. Ratih bahkan tidak datang di acaranya Ijah.





*****



Perempuan itu tersenyum menyadari kedatangan bima. Lantas kembali mengalihkan pandanganya ke ponsel. Bima mendengus kesal kemudian duduk di sofa yang bersebrangan dengan Ratih.

"Ratih, aku mau berhenti di sini saja. Kita putus!"

Manik perempuan itu terbelalak. Bak di sambar petir acara tunangan mereka hanya tersisa satu hari dan bima mengajaknya putus.

"Maksut mas apa ya?"

Bima tak bisa mengutarakan kecurigaannya. Ia takut jika Ratih tau ia akan memburu bima sama seperti hilangnya citra. Lelaki muda itu kemudian berdiri menunjuk keluar rumah

"Kamu gak lihat di luar sana ramai orang ngelayat, kamu kan dekat dengan Ijah?"

"Ya! Terus kenapa mas. Apa masalahnya sama Ijah sekarang jelasin kenapa mas putus sama aku?"

"Aku merasa belum mengenal kamu sepenuh nya Ratih kamu banyak menyimpan sesuatu yang aku gak tau, kamu gak terus terang sama aku," ungkap lelaki muda itu terus terang.

Tak bisa di pungkiri hati Ratih sangatanlah sakit ia mencintai bima melebihi siapapun bahkan ia bisa move-on dengan Joni berkat Bima. Manik perempuan itu memerah air matanya meluruh perlahan, namun tak ada empati darinya bima hanya melengang pergi membuatnya semakin curiga mengapa bima menjadi seperti itu.

Bukan bima namanya jika ia menyerah begitu saja, setelah pulang dari pemakaman ia menuju rumah kayu. Tempatnya dulu tinggal bersama kakek dan citra. Rumah itu memang agak menjorok kedalam hutan. Dulu hanya temaram lampu minyak yang menyinari setiap dirinya belajar. Sekarang ia sudah bisa nyalur listrik dan berbagai prabot ada di sana.

"Mas bima, mbak citra belum ketemu?" Tanya Bu Maya perempuan berambut gelombang yang menjual aneka mainan anak di sebelah rumahnya. Sebenarnya bima tidak begitu suka dengan mereka Mbah mereka dulu ikut menghakimi ibunya hingga meninggal.

"Belum Bu, saya masih berusaha menemukan citra.."

"Sebentar," wanita itu memotong ucapan bima kemudian meraih saku celana jeans-nya menunjukan sebuah kalung emas dengan bandul kupu-kupu yang tak asing.

"Kayaknya ini punya mbak citra, saya pernah liat tapi kurang yakin!"

Bima menerimanya benar saja itu adalah kalung citra yang dulu di belikan kakek dari hasil buruhnya. Gadis manis itu meminta hadiah ketika hendak naik SMA dulu. Kakek bilang itu untuk tabungan citra tapi gadis yang dulu manja itu menolak untuk menjualnya .ia memilih kerja banting tulang ketimbang menjual peninggalan satu-satunya.

"Ibu Nemu di mana?" Tanya bima curiga.

Wanita itu menunjuk sebuah jalan setapak di sebelah , salah satu jalur utama untuk sampai di gunung bambu.

"Sebenarnya itu saya temukan tiga hari yang lalu mas,Kemarin saya cari kayu bakar di pinggiran hutan dan gak sengaja nemu benda itu."

Bima mengangguk pikirannya melayang jauh, cemas bercampur aduk . Bisa saja citra melihat-lihat keadaan gunung tanpa izinnya mungkin saja dia tersesat.

Hanya berbekal nyalai lelaki berusia matang itu berjalan ke bibir hutan. Aroma mistis begitu terlihat hanya dari luar pohon-pohon rimbun menjulang tinggi di tumbuhi tumbuhan paku dan benalu menjuntai menambah nuansa seram. Burung-burung gagak berkoak seolah menyambut kedatangan bima.

"Mau kemana nak?" Ucap sosok lelaki tua kurus dengan manik yang hampir tak terlihat matanya hanya serupa garis.

"Saya mau cari citra Mbah!" Ucap lelaki itu mantap. Mbah Yanto mengeleng tanpa melepas tangannya dari lengan bima.

"Saya tau kamu gak mau kehilangan adik angkat mu itu. Saya akan bantu kamu bima kita lapor polisi,ya?"

"Sudah berapa kali saya bawa polisi dan detektif kemari Mbah, tapi citra tetep gak ketemu. Bukanya Mbah tau kejadian dulu yang melibatkan penghuni gunung di sini Mbah?"

Lelaki tua itu terdiam sejenak kemudian mengangguk.

"Ya... Mbah juga punya firasat begitu, tapi kita tidak bisa sembarangan masuk kedalam."

"Saya gak mau citra jadi tumbal Mbah" lemas bima akhirnya jatuh tersungkur ketanah.

Mbah Yanto berjongkok menyamakan tingginya mengusap bahu lelaki muda itu."maaf ya bim, saat ibumu di bunuh Mbah juga gak bisa berbuat apa-apa, setelah putri ku Menghilang Mbah memutuskan pindah desa. Ketika kembali insiden itu terjadi."

"Aku gak mau citra jadi kayak ibu!"

"Malam ini kita akan berunding dan mencari citra dengan metode bantuan pak ustad ya? Sekarang pulanglah."

MANDI DARAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang