Ibu Sakit

2.1K 40 2
                                    


Setelah mendengar perkataan dan celetukan Gara yang lumayan mengiris hati mungilnya, Gadis langsung pergi ke kamar Raka berniat mendinginkan diri. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Gadis sekarang, jika ia merasa kesal dan sedih, wajah imut Raka yang mampu meredamnya.

Sesekali Gadis memejamkan matanya kemudian mencoba menghela napas memendam rasa getir yang ada. Rasa mata ingin mengeluarkan bendungannya, tangan yang ingin menghancurkan seluruh bumi, harus Gadis redam.

Ucapan Gara seharusnya tak ia anggap karena mau bagaimanapun pria itu memang akan menganggapnya tak lebih dari seorang karyawan. Dan sekarang ia malah mengingatkan Gara bahwa ia adalah istrinya, tentulah itu merupakan sesuatu yang akan disesali, karena Gara tak mungkin mengakuinya sebagai istri.

Gadis menoleh pada Raka yang baru saja bersuara sedikit. Bayi lelaki itu terbangun kemudian menggosok-gosokkan tangannya ke mata kemudian menguap dengan lucunya. Gadis langsung luluh seketika kemudian menghela napas dan menghampiri box bayi berisi Raka itu.

“Hai sayang, udah bangun, hm?” ucap Gadis tak lupa dengan senyum manisnya.

“Mau mimi lagi? Lapar lagi kamu hm? Mau kuras energi mama ya?” Gadis menggoyang-goyangkan tangan Raka dan dengan tenangnya bayi itu malah tertawa senang karena merasa diajak main oleh ibunya.

“Aka, kamu itu bangun tidur masih wangi tau! Mulut kamu juga wangi huaa... kenapa sih? Mama jadi candu nyiumnya,” ujar Gadis gemas seraya menciumi setiap inci wajah Raka.

“Sayang, mama gemes banget sama kamu argh...” Gadis menenggelamkan wajahnya di perut raka hingga membuat bayi itu sedikit tertawa dan menarik-narik rambut ibunya.

“Aka, kalo udah besar jangan kayak papa ya? Aka harus jadi orang baik oke? Harus bisa hargain orang lain.” Gadis membelai lembut pelipis bayi itu dengan jemarinya.

Raka malah mengambil tangan Gadis yang bertengger di pelipisnya untuk ia lahap di mulut mungilnya. Gadis dibuat terkekeh geli dengan sikap anaknya ini.

“Aka, malah mau makan mama ya, hm?”
Raka hanya mengoceh saja tanpa menghiraukan jemari ibunya yang sudah habis dengan air liurnya. Sementara gadis hanya tersenyum dengan kelakuan Raka yang lumayan membuat suasana hatinya kembali berwarna.

Gadis mengambil Raka kemudian membaringkannya di ranjang bersama dengan dirinya tiduran di sebelah Raka. Rasanya hari ini yang diidam-idamkan untuk pergi jalan-jalan, akhirnya pupus sudah karena Gara tak mengizinkannya.

Dengan wajah kecewanya, Gadis menyodorkan tangannya untuk dimainkan Raka sedangkan pikirannya menerawang kemana-mana, tatapannya kosong dan tak bersemangat untuk meneruskan hari-hari suram berikutnya.

Setelah berdiam lama, ponsel Gadis tiba-tiba berdering menandakan seseorang menelponnya. Gadis meraih ponselnya kemudian mengernyitkan dahi pelan setelah ia tahu jika yang menghubunginya adalah orang yang tak akan menghubungi jika tidak ada hal penting.

“Hallo, mbak! Kenapa tiba-tiba nelpon?” tanya Gadis masih dengan posisi tidurannya dekat Raka.

“Dis, mbak lagi di rumah sakit. Kamu bisa ke sini?”

Dahi Gadis kembali mengerut heran. “Ada apa? Siapa yang sakit?”

“Ibumu sakit,” ucap seseorang di seberang sana berhasil mengubah posisi Gadis menjadi duduk tegap karena mendengar kondisi ibunya yang benar-benar bukan kabar yang ingin didengar Gadis.

“Apa penyakitnya kambuh lagi, mbak?” tanya Gadis mulai panik.

“Mbak Gak tau, Dis. Ini saja mbak bingung harus ngapain, ibumu sedang ditangani dokter,” jawab orang yang Gadis panggil mbak itu terdengar seperti orang kebingungan.

“Oke, mbak gak usah panik. Aku sekarang ke rumah sakit, rumah sakit yang biasa kan?”

Gadis bergerak mencari-cari sesuatu yang dibutuhkan untuk ia bawa ke rumah sakit sekaligus dana yang terakhir ia simpan untuk kebutuhan hidupnya. Gadis berdoa dalam hati semoga saja dan yang ia punya saat ini cukup untuk pengobatan ibunya.

“Aka sayang, mama harus pergi dulu jenguk oma ya? Aka main dulu di sini sama bi Sumi, jangan nakal oke? Mama nanti pompa ASI dulu buat kamu kalau laper ya sayang. Mama gak bakal lama-lama kok,” tutur Gadis seraya memasang tas selempangnya dan menggendong Raka untuk ia titipkan kepada bi Sumi.

Saat ini Gadis tidak sama sekali memikirkan akan Gara marahi atau tidak. Kalaupun pria itu marah, Gadis sudah bodo amat dan sudah biasa. Celetukan yang diberikan Gara sepertinya sudah tidak teramat sakit karena saking seringnya.

Makanya hari ini mau apapun halangannya, ataupun kalau sampai Gara melarangnya, dia akan tetap pergi. Keterlaluan sekali jika benar Gara akan melarangnya pergi di waktu yang sangat genting ini. Padahal dirinya sudah memberikan syarat yang Gara inginkan.

.
.

“Mbak Nara, mana ibu?”

Napas masih ngos-ngosan dan wajah panik, Gadis memecah keheningan antara dokter dan Nara yang sedang berdiskusi di depan ruangan rawat inap ibunya Gadis. Keduanya menoleh ke arah Gadis yang baru saja datang.

“Dis, ini bicaralah dengan dokternya langsung,” ucap Nara mempersilahkan mereka mengobrol. Sementara Nara hanya mendengarkan mereka mengobrol tentang kondisi ibunya Gadis saat ini.

Setelah beberapa hal disampaikan, dokter berlalu meninggalkan Nara dan Gadis yang saling bertatapan penuh kebingungan. Bingung dengan kondisi ibunya gadis yang makin kesini bukannya sembuh tapi malah makin parah.

Apalagi hari ini, dokter menyampaikan agar ibunya Gadis harus dirawat beberapa hari di rumah sakit karena kondisinya yang sudah semakin parah. Alhasil Gadis hanya bisa menghela napas mengingat dia sekarang tidak mempunyai uang cukup banyak untuk pengobatan ibunya.

“Kenapa penyakit ibu bisa kambuh, mbak?” tanya Gadis memulai obrolan dengan sepupunya itu.

Nara adalah satu-satunya sepupu yang dimiliki Gadis. Dia adalah orang yang paling peduli dengan Gadis maupun ibunya. Selama ini, Gadis selalu meminta tolong kepada Nara untuk menjaga ibunya yang kadang penyakitnya bisa kambuh kapan saja.

Selagi dirinya jauh dari rumah untuk bekerja, Nara yang akan bertanggung jawab dengan kesehatan ibunya Gadis. Oleh sebab itu, Gadis sangat mempercayai Nara dan selalu merasa hutang budi. Gadis akan melakukan hal apapun yang diminta Nara yang dia bisa kabulkan.

“Kemarin dia baik-baik saja, tapi tadi pagi sewaktu aku hendak mengantar makanan buatan ibu, tante Ratna udah pingsan di kamar mandi,” jelas Nara membuat Gadis sedikit terhenyak dan memejamkan matanya sejenak.

“Ini salah aku. Selalu meninggalkan ibu. Padahal seharusnya ibu selalu dalam pengawasanku,” sesal Gadis memandang sayu wajah Nara.

“Bukan, Dis. Kamu tuh udah berjuang semampumu. Mbak dengar-dengar sekarang kamu udah nikah lagi kan? Mbak berdoa semoga kali ini rumah tanggamu baik-baik, ya,” ucap Nara menepuk-nepuk pelan bahu Gadis.

Gadis hanya bisa mengangguk saja. Padahal yang terjadi, rumah tangganya yang ini pun entah kapan akan kembali hancur. Namun Gadis tidak boleh memperlihatkan kesedihannya kepada orang lain. Apapun yang terjadi harus ia telan sendirian.

“Dengan wali dari ibu Ratna?” Seorang perawat menghampiri Gadis dan Nara kemudian menyapanya.
“Iya, saya anaknya dari ibu Ratna,” jawab Gadis kemudian.

“Baik, mbak bisa ikut saya ke administrasi?”

Lagi-lagi Gadis menghela napas panjang. Sudah pasti ini adalah hal yang paling Gadis takutkan, yaitu biaya rumah sakit Ibunya yang pasti akan sangat besar tagihannya.

Gadis mengangguk, setelahnya langsung mengekori perawat tadi untuk pergi ke bagian administrasi. Tak berhenti-berhenti, hati Gadis terus berdoa agar biaya yang akan disebutkan tidak terlalu besar. Meskipun dana yang ia bawa saat ini ia yakin tak akan cukup untuk pembayaran, tapi setidaknya tidak akan membuat jantungnya tiba-tiba berhenti.

“Semoga cukup, semoga cukup!” gerutunya dalam hati.

TERPAKSA MENJADI IBU SUSU ANAK CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang