"Ta, seriusan kamu gak bisa pinjemin aku uang buat pengobatan ibu?" Gadis terlihat memelas di depan sahabatnya.
Prita yang sibuk menyeruput kuah sotonya langsung menatap iba Gadis. Bukannya tidak ingin membantu, tapi dirinya juga sama-sama tidak mempunyai uang sebanyak itu. bahkan untuk sekedar bertahan hidup saja pas-pasan.
"Kalau cuman seratus mah ada, Dis. Kalo 10 juta, duit dari mana gue?" sahut Prita.
"Simpenan kek, atau warisan?"
Prita menepuk pelan dahinya. "Boro-boro warisan, gue tau orang tua gue aja kagak, yaelah!"
Gadis menghela napas cukup panjang. Ujian yang diberikan kepadanya saat ini sungguh menguras tenaga. Setelah lepas dari suami dan mertua yang tak menghargainya, Gadis kira akan hidup sedikit lebih layak dan bisa membanggakan ibunya. Namun ia salah besar, memilih menikahi Gara seharusnya tak ia lakukan saat itu.
Tapi mau bagaimana lagi, Gadis sudah terlanjur masuk ke dalam hidup Gara juga Raka. Terlebih lagi yang niatnya hanya ingin menjadi ibu susu, kini Gadis malah menyayangi anak sambungnya itu.
Mengurus Raka, membuat Gadis bisa mengutarakan rasa kasih sayangnya yang tak bisa ia berikan kepada anak kandungnya. Bahkan tak jarang, beberapa kali Gadis selalu mengakui kalau Raka adalah anak kandung karena ia begitu rindu dengan buah hatinya.
"Terus aku harus nyari pinjaman ke mana sekarang?"
Prita menyimpan sendok di dalam mangkok kemudian mengambil tisu untuk mengelap bibirnya. Kedua tangannya ia lipat di atas meja seraya memandang serius kepada Gadis.
"Alasan pak Gara mecat lo tuh kenapa?"
"Aku juga gak tau, pas ke kantor langsng dapet info dipecat," pusing Gadis.
"Jahat juga ya pak Gara sama lo. Eh, sama semua karyawan dia emang gitu sih. Lo udah salah target dari awal," ujar Prita ikut merasa pusing.
"Iya, iya. Aku tahu, aku salah. Tapi sekarang yang utama adalah kesembuhan ibu. Gimana caranya aku bisa dapetin uang secepatnya."
"Kalau minjem ke pak Gara, bisa gak?"
Gadis langsung berdecak kesal dengan jawaban Prita. Sudah jelas-jelas ia tidak ingin bergantung dengan pria itu, apalagi harus sampai meminjam uang padanya. Mau disimpan dimana harga diri yang sudah jatuh sejatuh-jatuhnya di depan Gara itu.
"Kalau gak dikasih pinjem, jadiin Raka taruhannya. Gue yakin dia pasti ngasih," lanjut Prita semakin membuat Gadis ingin menggetok kepalanya.
"Ngobrol sama kamu bikin kepalaku tambah pusing, Ta. Aku pulang duluan deh, Raka pasti udah laper."
Gadis beranjak dari tempat duduknya. Sebelumnya perempuan itu menyeruput jus jeruk punya sahabatnya untuk sekedar membasuh tenggorokan keringnya. Setelahnya ia pergi meninggalkan Prita yang masih duduk di tempatnya.
"Lo berjuang mati-natian buat hidupin anaknya, tapi dia seenaknya mutusin rezeki lo, Dis."
.
.
"Hah? Sudah lunas? Bagaimana bisa? Aku belum pernah bayar sepeser pun.""Benar, bu. pembayaran atas nama ibu Muthi sudah tertulis lunas. Ibu bisa mengeceknya sendiri," ujar perawat itu menyodorkan sebuah catatan kepada Gadis.
Gadis tercengang sendiri berdiri di depan meja administrasi bersama satu orang perawat cantik di depannya. Beberapa kali mengecek pun ternyata memang benar pembiayaan pengobatan ibunya sudah terlunasi semua.
Sedikit senang tapi dia merasa kaget juga dengan semuanya. Uang sebesar itu tidak mungkin orang iseng yang mengeluarkannya. Gadis menerawang mencoba menebak-nebak siapa yang telah melunasi biaya pengobatan ibunya. Tidak mungkin Nara, dapat darimana dia uang sebanyak itu.
"Kalau boleh tahu, siapa yang telah melunasinya, sus?" tanya Gadis berharap bisa mengetahui siapa yang telah membantu keuangannya kini.
"Sebentar saya coba cek dulu, bu."
Perawat itu membolak balikan beberapa dokumen di mejanya. Setelahnya, ia kembali menoleh kepada Gadis dengan tersenyum ramah.
"Di sini tertulis untuk pelunasan pembiayaan pengobatan ibu Muthi telah dibayarkan atas nama Algara Mahendra, bu."
Dahi Gadis langsung mengerut kuat. Nama lengkap Gara disebut sebagai orang yang telah melunasi biaya pengobatan ibunya cukup membuat Gadis kaget. Bagaimana bisa, padahal kemarin pria itu terlihat tidak peduli sama sekali kepada hidupnya apalagi keluarga Gadis.
Pikiran Gadis kemana-mana. Dalam pikirannya, Gara pasti akan menuntutnya lebih dengan uang yang telah di berikannya ini. Apakah pria itu ingin dirinya merasa berutang budi dan akhirnya bisa diatur begitu saja?
Gadis memejamkan matanya sebentar kemudian kembali memberikan catatan pelunasan biaya itu kepada perawat di depannya. "Terima kasih, sus. Saya permisi"
Gadis berjalan gontai menuju ruang rawat inap ibunya. Entah apa yang akan Gara lakukan selannjutnya untuk membuat ia menderita. Gadis begitu yakin jika niat Gara melakukan itu termasuk ke dalam rencana untuk mengekangnya.
Dari luar ia bisa melihat ibunya tengah duduk memandangi jendela luar. Gadis tersenyum tipis kemudian masuk ke dalam untuk menemui ibunya yang baru siuman tadi pagi.
Mendengar suara pintu, Muthi menoleh kemudian tersenyum tipis kepada anak semata wayangnya itu. tak bisa menahan lagi, Gadis menghambur ke pelukan ibunya dengan mata berkaca-kaca.
"Bu ..." panggilnya dalam pelukan ibunya.
"Nak, ibu baik-baik saja," sahut Muthi seraya mengusap pelan punggung Gadis.
"Ibu jangan sakit lagi. Gadis hanya punya ibu di dunia ini," ujar Gadis tersedu-sedu.
"Hei, bukankah sekarang kamu sudah mempunyai keluarga bahagia? Kamu juga punya suami dan anak sambungmu. Jangan merasa sendiri."
Gadis tak menjawab apapun. Ia menangis lebih kuat dengan isakan yang memenuhi ruangan. Mendengar ibunya yang selalu mengharapkan dirinya bahagia selalu membuat Gadis sesak. Karena pada kenyataannya, ia tidak pernah bisa seberuntung orang lain.
Andaikan saja ibunya tahu pernikahannya yang sekarang juga bagaikan penjara untuk Gadis. Tapi untuk kali ini, ibunya tidak boleh mengetahui apapun tentang Gara. Biar saja dia tahunya kalau Gadis baik-baik saja. Dan Gadis yang akan merasakan pedih sendirian.
Gadis melepas pelukannya kemudian menyeka air mata dengan punggung tangan kanannya. Ia berikan senyuman tulus kepada ibunya yang sama-sama tersenyum padanya. Tangan Muthi terulur mengusap puncak kepala Inggit hingga ke dagu perempuan itu.
"Kau bahagia dengan pernikahanmu yang sekarang?"
Gadis menatap mata ibunya yang begitu berbinar. Sangat disayangkan jika mata itu harus kembali sayu seperti dulu karena menangisi penderitaan anaknya. Kini Gadis tidak akan sedikitpun memberikan air mata kepada ibunya.Gadis mengangguk seraya tersenyum tipis. Perempuan itu sengaja berbohong atas pernikahannya agar Muthi bisa terus tersenyum seperti sekarang.
"Bahagia, bu."
Muthi tersenyum begitu puas. Kebahagiaan ibu tergantung pada anaknya. Bahkan Muthi tak membatasi Gadis harus menikah dengan siapa, punya anak sambung atau tidak, yang paling penting untuknya adalah kebahagiaan Gadis.
"Terima kasih sudah bahagia, nak." Muthi tiba-tiba mengeluarkan setetes air matanya membuat Gadis panik.
"Maafkan ibu yang tak pernah memberikanmu bahagia." Muthi membelai pelan pipi tirus Gadis. "Tapi do'a ibu akan selalu mendampingimu, ibu yakin kamu akan dibahagiakan oleh pasanganmu. Dan sekarang kamu sudah bahagia, terima kasih, nak."Tak bisa lagi dibendung, Gadis ambruk ke pelukan ibunya dengan napas tersengal-sengal. Ia menangis kuat dengan apa yang telah ibunya katakan. Jika saja benar sekarang dia sedang bahagia, sudah pasti Gadis akan tambah bahagia.
Nyatanya, ibunya bahagia atas kebohongannya. Sejak kecil Gadis tumbuh hanya dengan seorang ibu. Ayahnya meninggalkan ia entah kemana. Dari sanalah, Muthi selalu merasa bersalah karena tak pernah bisa memberikan kebahagiaan keluarga kepada Gadis.
"Teruslah bahagia ya, nak?"
Gadis mengangguk masih dengan isakannya. "Gadis janji akan bahagia, bu."
______________
Maafin jarang banget up hehe.. komen2nya dong buat part ini, biar aku makin semangat lanjutinnya🤩🤩
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPAKSA MENJADI IBU SUSU ANAK CEO
Non-FictionTerpaksa menjadi ibu susu agar bisa balas dendam kepada mantan suami? Gadis Nandini, seorang wanita yang selama hidupnya hanya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari suami dan mertuanya. Bahkan ketika hamil tua pun suaminya berselingkuh secara t...