3/6

611 65 1
                                    

Emma menatap keduanya dengan air mata yang mengalir. Izana sendiri berusaha untuk tidak melihat adegan itu. Tidak. Dia tidak iri. Dia hanya tidak suka melihat adiknya kacau seperti itu. Sudah cukup sekali di bersikap kekanakan hanya karena iri, dan itu berakhir buruk.

Melihat jika Emma mulai menangis tersedu-sedu, Izana segera memeluk adik perempuannya itu berharap agar perasaannya menjadi lebih baik.

Mikey dan Shiniciro berpelukan hampir setengah jam sampai akhirnya keduanya kembali tenang. Dia memisahkan diri dari Shiniciro, lalu menatap Emma yang kini sedang duduk di sofa dan menatapnya bersama dengan Izana. Mata Emma memerah karena terus menangis. Apalagi saat ini dia sedang hamil dan emosinya tidak stabil.

"Emma," panggilnya lirih.

Emma tersenyum menatapnya. "Kemarilah, Mikey-nii."

Mikey menatap Shiniciro sejenak sebelum akhirnya berjalan ke arah Emma dan duduk berlutut di depan adiknya. Dia menatap perut buncit di hadapannya selama beberapa saat. Emma yang melihat itu segera membawa tangan Mikey Bonten untuk mengelus perutnya.

"Dokter bilang dia laki-laki."  Emma memberitahunya. "Itu akan menjadi Ryuguji Ren."

"Ryuguji?" Mikey mengelus perut adiknya pelan. "Kenchin?" bisiknya.

Emma tertawa kecil. "Ya, dia. Memangnya siapa lagi?"

Yang lain hanya mengamati saat Mikey tetap berlutut sembari terus mengelus perut Emma.

"Mikey." Emma memanggil. Mikey hanya menjawab dengan gumaman, masih fokus pada acara mengelus perutnya.

"Kenapa kau menjauhi semua orang?"

Usapan pada perutnya berhenti. Mikey diam tak menjawab sedangkan Emma menatap kakanya sedih.

"Bahkan jika kau kehilangan kami di sana, kau masih memiliki banyak teman yang selalu mendukungmu," ucapnya.

"Aku tidak pantas, Emma." Mikey menjawab lirih, menenggelamkan wajahnya di pangkuan Emma. "Aku bahkan memukuli mereka yang adalah temanku. Aku tidak bisa mengendalikan perasaan kosong ini. Sejak Shiniciro pergi, lalu disusul kau dan Izana. Aku tidak tahan lagi. Aku, aku–"

"Mikey, lihat aku!" Emma mendongakkan wajah Mikey agar menatapnya. "Kau hanya perlu mengatakan kekhawatiranmu pada mereka, Mikey. Hanya itu yang kau perlukan agar kau tidak merasa kosong seperti yang kau katakan. Kau punya Draken yang selalu siap melakukan apapun untukmu. Kau juga punya Takemichi, yang bahkan setelah kau dorong untuk menjauh, akan tetap kembali mencarimu apapun yang terjadi. Kau menjauh dengan alasan agar teman-temanmu tetap aman. Tapi apakah kau memikirkan perasaan mereka saat kau paksa menjauh?"

Emma menatapnya sedih. Air matanya kembali mengalir saat dia menatap mata hitam Mikey yang kusam dan kosong. "Kau punya banyak orang di sekelilingmu yang peduli padamu. Mereka tidak akan pernah membencimu, Mikey. Kau juga ... Kau juga berhak mendapatkan kebahagiaan."

Emma memeluk Mikey yang kepalanya tengah bersandar pada kakinya dan menangis. Dia sungguh tidak sanggup melihat keadaan kakaknya.

"Kau tidak bisa menyingkirkan keluargamu begitu saja, baka Mikey!" Izana yang sejak tadi hanya mengamati kini ikut berbicara, yang membuat Mikey dan Emma menatapnya.

Izana menatap sang adik yang tampak berantakan dengan rambut putih seperti miliknya dan tubuh kurus. Tatapannya beralih ke tengkuk, yang mana terdapat tato serupa dengan earring miliknya.

"Kau sendiri yang bilang padaku, kita tidak harus sedarah untuk bisa menjadi keluarga. Toman adalah keluargamu. Aku tahu kau sangat menghargai mereka. Kau pikir pergi menjauh dengan alasan agar mereka tetap aman itu baik?" Izana menatapnya remeh, tapi semua orang bisa melihat jika dia berbicara dengan tulus. "Seperti yang Emma katakan. Kau menjauh agar semuanya aman, tapi apa kau memikirkan perasaan mereka?"

Change the Ending(✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang