5. Syal Terbaik

147 11 27
                                    

Di belakang pintu kamarku, menggantung syal merah muda kotak-kotak. Syal yang hangat, sehangat pelukan Mama. Dalam kesendirian yang mencekam seperti sekarang, hanya syal itulah yang mampu mendekapku saat aku menangis sejadi-jadinya.

Semasa SD, aku mendapat kesempatan tur satu sekolah ke Dufan. Aku mengajak Mama ikut serta karena aku tak punya teman perjalanan saat itu. Aku tumbuh sebagai anak gadis pendiam dan hampir semua orang menjauhiku. Karena Mama tak ingin aku hilang, jadi dia membelikan aku sebuah syal. Dia selalu ada di sisiku, menuntunku, masuk-keluar wahana istana boneka berkali-kali karena aku terlalu cupu untuk masuk wahana halilintar. Sekarang, hanya bekas tangannya yang terasa di telapak tanganku.

Aku tak menyangka bahwa syal ini bukan untuk membuatku mudah ditemukan, justru biar aku tak perlu mencari siapa-siapa untuk kupeluk.

Bertahun-tahun kemudian, aku membaca surat yang Mama kirim. Surat Permohonan Talak. Hanya tinggal selangkah lagi prosesnya, kata Mama. Sepaket dengan itu, Mama mem-forward bukti-bukti selingkuhnya Papa entah dari mana. Amarah memuncak sampai ke ubun-ubunku. Aku mengurung diri di toilet kampus. Kuteriakkan kata 'Anjing!' berkali-kali. Kubentur-benturkan kepalaku di tembok.

Aku ingat saat itu jugalah pertemuan pertama kita di kampusku. Sebuah event bernama Festival Literasi Nasional di pertengahan tahun. Kamu diundang sebagai penyanyi solo dari kampus tetangga untuk mengisi panggung hiburan.

"Inilah dia... BARA DIRAGA!" kata presenter acara. Nama itu kedengaran sampai toilet. Nama yang amat musikal. Aku mengusap ingus dan air mataku. Kulihat jam di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjuk pukul 14.53 WIB. Kutekan flush berkali-kali dan sia-sia usahaku. Flush itu mati. Toilet sialan! Kutendang klosetnya. Kuambil bidet spray dan kusemburkan air sampai warna kuningnya berubah bening.

Saat itu, di belakang panggung amfiteater, kamu terlihat mengusap-usap tangan seakan seluruh ruangan tiba-tiba membuatmu menggigil. Kamu menepuk pundak seseorang lalu berbisik. Kamu ingin meminjam sesuatu untuk menutup kaosmu yang berlubang di bagian dada. Sebagai salah satu panitia, kuberikan syalku. Dan kamu memberikan namamu sambil tersenyum. "Bara," ucapmu dengan senyum yang tulus dan tangan berkeringat. Kamu bilang kamu nervous hendak tampil di panggung sebesar itu.

Mereka, para panitia, sempat mendengar suara Bara Diraga dari radio-radio. Suaramu. Suaramu berat dan seksi. Ada getaran manis di sela setiap kata. Hari itu, kamu menyanyikan lagu Sheila On 7 yang berjudul Berhenti Berharap. Suaramu membahana di seluruh ruang. "Aku pulang... tanpa dendam... kusalutkan... kemenanganmu."

Kamu ajak penonton berdiri dan bertepuk tangan. Lalu, kamu mengikuti irama tepukan itu. Kamu mulai mencair dengan kompaknya suara penonton. "Kau ajarkan aku bahagia. Kau berikan aku derita."

Di panggung itu, kamu juga berusaha memainkan atensi. Kadang, kamu melakukan act out jenaka. Kadang, me-roasting penonton. Meski aku memejamkan mata, aku bisa merasakan ketampananmu hanya dari suaramu saja. Petikan gitar akustikmu merekahkan senyum siapa saja. Aku melihat rona kebahagiaan yang menular sekejapan mata. Penampilanmu sungguh membius!

Kulihat kamu sekali lagi dari arah belakang. Ada syalku yang masih terbalut di lehermu. Terima kasih, Mama. Syal itu ternyata berguna juga. Bukan hanya untuk kupeluk, tapi untuk memelukmu, seseorang yang tengah berjuang melawan ketakutannya.

Kamu mengembalikannya seusai perform dan aku tak mencucinya lagi setelah itu. Kubawa ia tidur, berbelanja, dan aku kenakan pada setiap penelitian di kampusku. Kubawa ia kemana saja saat aku merasa kesepian.

Setelah kegiatan yang mempertemukan kita, hari-hariku jadi terasa melambat. Kita dekat karena frekuensi yang tidak berbeda. Kita membicarakan buku yang mengandung musikalitas dan lagu yang mengandung cerita. Kita pun berbagi sirkel untuk membuat gebrakan-gebrakan baru di organisasi kampus.

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang