1. Terjatuh (REVISI)

291 15 6
                                    

"Di rumah ada siapa aja?"

Pertanyaanmu membuatku berdebar. Aku tahu arahnya kemana. Dan kamu tahu, di waktu-waktu sebelum sore, aku akan menjawab, "Aku sendirian." Dan kamu pun akan meluncur dengan kecepatan enam puluh kilometer perjam, menembus kemacetan dengan vespa eksentrikmu untuk sampai di depan pintu yang kamu ketuk dengan buru-buru.

Aku akan menyambutmu dengan baju berbelahan dada yang sengaja kuturunkan sedikit saja. Kamu pernah bilang kalau leherku seksi. Kamu menatapku dengan napas memburu. Tanpa aba-aba, kamu jatuhkan helmmu dan merapatkan tubuhku pada tembok. Hanya seinci saja jarak antara hidungmu dan bibirku.

Pada jam-jam kerja, memang rumah kontrakan selalu sepi. Hanya aku di rumah ini yang sudah tak berstatus mahasiswa dan sibuk mencari lowongan pekerjaan di internet dari hari ke hari. Sedangkan, hari ini, kamu akan mengambil jeda dari aktivitasmu sebagai penyanyi kafe. Kamu juga adalah penghuni rumah kontrakan ini. Tempatmu di sebelah kamarku. Tapi kamu hanya akan memasang tampang berwibawa jika sudah ada penghuni lain, tidak seperti anak manja yang mencari-cari ibunya.

Bara. Namamu Bara. Entah apa yang menjadi inspirasi orang tuamu kenapa menyematkan nama itu. Kamu adalah api yang berkobar dan melumatku hampir setiap waktu. Kamu selalu tak disukai orang-orang yang takut hangus di sampingmu. Tetapi aku tidak. Aku menyukaimu. Aku suka meniti jalan bersamamu di tengah suhu panas luar biasa. Aku suka merasakan basah keringat yang menetes-netes dari kulitku. Aku suka memacu adrenalin untuk menerabas segala macam aturan. Bersamamu.

"Kok, udah sampe lagi? Cepet banget!"

"Aku gak mau kamu sendirian di rumah ini. Jadi, aku ngebut."

Kamu berkata dengan mata yang tak lagi fokus pada mataku. Matamu tertuju pada bibirku. Kepala itu kamu miringkan. Aku kewalahan untuk tak menangkis godaan setan. Harum vape vanilla dari mulutmu membuat aliran listrik di tubuhku bekerja seketika. Dan bibirku tergigit. Segala cairan di tubuhku seakan terisap semua.

Memang yang kamu raba bukan bekas pecahan kaca atau layar sentuh ponsel terbaru, tapi entah kenapa tanganmu bergerak hati-hati. Jari-jarimu bermagnet. Bulu kudukku remang. Tanganmu menjalar di leherku, menyelusup ke sela baju tanpa kancing-kancing itu, sampai di kulit punggung dengan sentuhan yang membuat tubuhku melonjak persis seperti ikan yang terlempar ke bulan.

"Bara..."

"Ya, Nala?"

"Aku benci begini."

"Begini gimana?"

"Aku benci mencintaimu."

Lalu, aku menciummu sambil menangis.

Kita sudah berada di kamarmu. Kita memang selalu berakhir di tempat tidurmu dalam keadaan tak memakai baju. Di bawah selimut, kaki-kaki kita saling membelit seperti tentakel. Kamarmu lebih mirip studio rekaman dengan alat-alat musik di pojokan. Cukup luas dibanding kamarku. Aku suka bahan tempat tidurmu yang tidak berdecit ketika aku berguling-guling bebas di atasnya. Aku juga suka dengan bunyi-bunyian piringan hitam yang sengaja kauputar sebelum kita berdansa dan berbagi napas tertahan.

Namun, ada yang lebih kencang dari musik sore itu.

Ketukan pintu.

Semakin lama, semakin kencang.

Aku benar-benar gugup. Tak tahu harus bagaimana. Haruskah aku bersembunyi di balik selimut, di bawah ranjang tempat tidur, atau di dalam lemari?

Aku takut kita diarak keliling kampung dalam keadaan tanpa busana. Segera aku mencomot pakaian-pakaianku yang berserakan di lantai. Aku merapat ke pojokan, bersiap untuk merunduk di antara alat musik. Seandainya aku bisa berubah jadi seukuran tikus, pasti aku akan terbirit-birit mencari lubang di dinding. Untunglah, pintu kamar sempat dikunci. Masih aman seandainya yang di luar tidak memaksa masuk ke dalam.

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang