7. Hanyut

96 7 4
                                    

Aku pernah mendengar pepatah bahwa jika sesuatu tak membuatmu takut untuk melangkah, maka sesuatu itu belum cukup besar untuk dikatakan sebagai mimpi.

Rupanya, mimpi itu pun terlalu besar untuk kamu yang masih merasa kerdil.

Api di dalam matamu itu belum juga padam. Aku menyaksikannya semakin merah dan menyeramkan. Kamu seakan ingin memukul mundur semua orang yang meragukan masa depanmu, selera musikmu, bahkan gaya rambutmu. Kamu baru saja mengenakan minyak rambut, berdandan seperti Elvis Presley. Umay dan Aldo saja pangling begitu melihat sosok baru di hadapan mereka.

Rambut yang biasanya berantakan itu kini rapi dan mengkilap. Bahkan, kamu menyemprotkan parfum di sekujur tubuh yang harumnya semerbak. Celana ketat dengan motif seperti Zebra membungkus kakimu yang jenjang. Jaket kulit hitam sudah terpasang di badanmu. Kalung etnik kamu kenakan untuk menambah kesan garang. Kamu juga menempelkan stiker-stiker grup band kebanggaanmu di badan vespa.

Tetapi, semua persiapan itu tak sebanding dengan jumlah penonton di kafe malam ini. Sepi. Bahkan, beberapa kursi masih termangu di atas meja, belum diturunkan. Kamu mengeringkan keringat dengan menggosok-gosokkan tangan pada pahamu sendiri. Beberapa kali kamu melirik jam tangan di lenganmu, berharap kalau jam buka kafe masih beberapa menit lagi sehingga kamu masih bisa menunggu.

Umay bertemu dengan sang pemilik kafe untuk bernegosiasi. Ia lalu memberi kode padamu agar pertunjukan segera dimulai. Setelah check sound selama belasan menit, kamu menyapa penonton. Hanya ada satu-dua orang yang menyahut. Kebanyakan dari mereka malah bersorak sorai untuk sekawanan orang yang baru datang. Aldo berdiri di belakang keyboard dan bermain melodi pembuka. Awalnya, kamu memetik gitar dengan penuh perasaan, berniat untuk tak terlalu menghiraukan penonton. Tetapi, sorak sorai itu terlalu kencang dan bukan ditujukan untuk penampil.

Kesal, kamu petik gitar dengan ganas. Tanpa bernyanyi apa pun. Kamu naiki kursi yang biasanya kamu pakai untuk duduk saat kelelahan berdiri. Setelah mendapatkan sedikit atensi, kamu ajak penonton untuk menyanyikan lagu-lagu populer diiringi petikan gitar akustikmu. Kamu persilakan mereka untuk membaca liriknya dengan alat komunikasi masing-masing. Tetapi, bahkan, lagu-lagu itu tak berhasil membuat suara mereka berpadu. Kamu tampak putus asa.

Senarmu bisa saja putus dengan petikanmu yang seagresif itu. Kamu menyundul-nyundulkan kepalamu ke bawah. Tampil dengan posisi agak merunduk sambil sesekali memeletkan lidah. Helai-helai rambutmu yang kaku sudah mengepak seperti sayap burung. Tak kamu hiraukan lagi para pengunjung kafe yang sibuk berbincang-bincang atau menunduk mengetik sesuatu di gawainya.

Penampilan di kafe hari ini tak sehangat biasanya. Padahal, ini kafe paling romantis yang kita temukan selama roadshow. Candoo Kafe namanya. Bertempat di Jalan Padasuka, dekat terminal Cicaheum. Lampu-lampu kafe itu remang seperti kunang-kunang, menggantung pada tali yang memanjang dari halaman ke kanopi. Terdapat kursi-kursi rotan rendah yang mengelilingi meja, dan beberapa tempat duduk yang didesain ala ayunan.

Saat penampilanmu rehat sejenak, aku menghampirimu untuk memberikan sebotol air minum. Kamu menyambarnya dan meminumnya sampai habis dengan sekali teguk.

"Kenapa buru-buru banget mainnya?" tanyaku heran. "Ada apa, sih, Bar? Kita gak lagi dikejar apa-apa, kan?"

"Kita gak dihargain. Mereka gak ngerti etika buat mengapresiasi karya orang lain."

"Ya, namanya juga kafe. Orang ke sini dateng buat makan, bukan buat nikmatin karya kita." Aku garuk-garuk kepala.

Kamu meremas botol minum plastik itu dan membantingnya ke tong sampah. "Jangan jadi penonton Bara Diraga kalau gitu."

Aku menghela napas. "Habis ini, aku coba kondisikan kursi penonton biar ngadep ke panggung, deh."

"Bentar, aku angkat telfon dulu!" katamu lalu melipir ke backtage.

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang