9. Rasa yang Asing [EXTRA PART]

42 4 1
                                    


...

telah pecah embun
di dalam diriku
kini tinggal kerikil berbatu
dan kamu mengeruk-ngeruknya
dengan haus mulutmu
hingga ke sela-sela tulangku

GyNala P.S. 2017


Mendengar bujukanmu terhadap sesuatu dalam perutku, aku mulai hilang hormat dan tak lagi menaruh hati padamu seperti dulu. Pada akhirnya, emosiku jadi tak stabil. Aku hanya mampu mengurai perasaan-perasaanku dalam buku catatan perjalanan. Seperti puisi yang kutulis pada dini hari ini. Memang, akhir-akhir ini, aku jadi sulit tidur, memikirkan apa-apa saja yang mungkin kamu pikirkan.

Padahal, di rumah kontrakan, kita hanya berbeda selapis dinding. Tetapi, kita jadi asing satu sama lain. Seperti dua makhluk yang datang dari planet berbeda. Kamu tampak berpura-pura tak mengenalku. Mungkin bukan dengan sengaja. Aku yakin kamu pun masih sibuk bergulat dengan pikiranmu sendiri. Pun aku tak berani menyapamu. Bukan berarti aku tak mau. Hanya saja, aku takut dengan bentakan, dengan penolakan.

Namun, pertahananku selalu gagal untuk mengabaikanmu.

Di malam yang lain, aku melihat kamu terhuyung-huyung pada jam dua pagi. Kamu tampak pucat. Aldo memboyongmu ke kamar dan aku memijit-mijit telapak kakimu pelan. Aldo bilang kamu sedang pusing dengan semua jadwal bimbingan di kampus yang berbenturan dengan acara festival musik. Pelarianmu, tentu saja, lagi-lagi, pada alkohol. Dan, di siang harinya, begitu kamu bangun dari tidur panjang, aku menyalak memprotes kebiasaan burukmu. Aku tak setuju pada hal-hal merugikan yang kamu lakukan. Hebat, ya, aku. Bisa sengotot ini menjaga kamu. Padahal, aku bukan siapa-siapa. Dan kamu belum resmi menjadi suamiku.

Kubilang begini sambil menyetrika pakaianmu. "Udah. Jangan habisin uang orang tua kamu dengan clubbing lagi. Jangan sakiti diri kita dengan minum racun lagi."

"Racun?" Kamu menghampiriku dan meraup semua bajumu untuk dilemparkan ke ranjang. Kamu tak ingin tanganku menyentuh segala yang kamu pakai. Kugulung kembali kabel setrika dan meletakkan mesinnya di tempat semula. Kamu berjalan ke dekat dispenser untuk minum air sebanyak yang bisa ditampung perut. "Apa urusan lo? Jangan berlagak baik biar gue kasihan sama lo, deh."

"Siapa yang berlagak baik?" Aku mengerang, geram. "Bara, udah, deh. Apa kamu gak nyesel sama dosa-dosa yang udah kita lakuin? Apa kamu gak bosen sama idupmu yang gini-gini terus? Nanti Tuhan marah, Bar."

Kamu menyemburkan air. "Anjing. Sejak kapan lo jadi sok suci?"

"Sok suci?" Aku tak percaya dengan kosa kata itu. "Jangan samakan aku dengan kelakuan kotor kamu, ya, Bar."

"Loh, yang ngelakuin kekotoran itu bukan cuma gue, Gynala Puteri Suseno." Rahangmu mengeras. "Lo juga kotor!"

Kata-katamu semakin tak terkendali. Aku tak terima dianggap sebagai pelacur. Kamu juga tak terima dengan nada ceramahku. Kita sempat bertengkar hebat sebelum akhirnya aku refleks menggumamkan zikir. Lagipula, semua ini memang salahku. Seharusnya aku tak memedulikan kamu lagi. Seharusnya, aku sudah tak tinggal di rumah ini.

Aku berusaha sedapat mungkin untuk mengalah. Namun, aku tak bisa bungkam. Aku harus bisa berkata sesuatu. Aku sendiri tak sadar sejak kapan aku merasa memiliki kamu. Yang kutahu, aku telah mengikuti apa maumu. Sekarang, salahkah aku untuk memintamu mengikuti apa mauku, demi kebaikanmu?

"Aku peduli, Bar. Aku peduli sama kamu." Aku berkata dengan nada rendah, menahan isak. "Kamu ingat waktu kita hampir dicelakain orang kemaren? Aku takut banget. Gak ada yang bisa nolong kita. Kita hampir gak sadar saking mabuknya."

Kamu terduduk di tepi kasur. "Gak ada yang nyuruh lo buat ikut-ikutan minum, Nal."

"Iya, tapi aku nggak pengen ngulangin hal itu lagi. Udah cukup buat aku."

"Terus lo maksa gue buat berhenti gitu?"

"Udahlah, Bar. Apa susahnya jadi manusia normal? Kasihan lambung kamu. Kamu juga, kan, sering sakit. Gak sayang apa sama diri sendiri?"

"Bukannya gitu..." Kamu melunak. "Gak enaklah sama temen-temen musisi lain yang udah ngajakin party."

"Gak usah ngikutin temen-temen kamu yang no life. Idup mereka gak jelas. Kuliah ditinggal. Keluarga ditinggal. Demi apa? Demi musik? Sekarang, lihat diri kamu. Gak ada yang berubah dari diri kamu gara-gara musik. Bentar lagi juga kamu bakal berani ninggalin aku, orang yang katanya mau kamu perjuangin."

Kamu mengalihkan pandangan dengan menggigit bibir.

"Ternyata bener, ya, apa kata orang-orang? Musik bisa mematikan hati."

Aku menerima tamparanmu seperti preman kemarin. Tapi, aku tak bisa membalasnya dan hanya bisa terisak. Kuperiksa sekilas bola matamu untuk memastikan apakah kamu sedang diliputi perasaan menyesal atau tidak. Ternyata, tidak. Kamu malah memaksaku untuk minta maaf karena telah menyinggung musik, sesuatu yang sedang kamu jaga setengah mati.

"Kenapa kamu jadi kayak gini sih?" Aku memegang pipiku sambil terengah-engah dan menangis. "Kalau kamu susah buat jadi laki-laki yang bertanggung jawab, oke. Gak apa-apa. Aku bisa bawa jauh-jauh impian aku buat nikah sama kamu. Tapi tolong, kamu juga harus belajar tanggung jawab ke diri kamu, Bar. Jangan sampai kamu kehilangan diri."

"Stop! Gue gak mau denger apa pun lagi."

Kamu mengacungkan telunjukmu. Gigi-gigimu gemeretak. Terlihat urat-urat menjalar di keningmu yang memerah. Tak tega menyentuhku yang sudah terpojok, kamu membanting pintu dan membiarkan aku terisak semakin kencang.

*

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang