16. Menerima [REVISI]

59 4 11
                                    

Kurasa, tak adil jika kamu berhasil mengejutkan aku dengan kehidupan barumu bersama para pengamen itu, sementara aku tak bisa memamerkan apa-apa. Maka, kuajak dirimu ke sebuah tempat paling teduh di mana aku bisa bertemu dengan diriku yang baru. Kuharap kamu juga menemukan dirimu di sini.

Melewati gerbang besar yang selalu terbuka tanpa pengawasan satpam, kita melihat dua orang berpakaian lusuh baru saja pulang dari kediaman pemilik pesantren. Masing-masing dari mereka membawa satu kantung beras. Jangan heran, pesantren ini memang menjadi lumbung persediaan makanan bagi orang-orang papa. Mereka membungkuk takzim padaku seolah melihat tamu agung. Mereka ngeh dengan penampilanku yang sudah seperti guru-guru lainnya di pesantren ini. Aku menyambut salam mereka dengan membungkuk pula disertai tangan yang menempel di dada.

Kita berjalan di dekat bantaran sungai untuk sampai ke tempat aku biasa mengajar. Belum ada yang menguras sungai untuk mencuci di hari sesiang ini. Jernihnya air sungai berubah kecokelatan bekas hujan semalam. Warnanya jadi sekental kopi susu. Kita sampai di lantai dua kawasan pesantren. Tampak pelataran yang luas dengan taman yang tidak hanya indah, namun terdengar amat musikal, seperti musik instrumental di film-film negeri dongeng. Kicau burung dan gemericik air pancuran memanjakan telinga. Angin kiriman pepohonan bambu menerpa kulit kita yang sudah coreng moreng akan asap knalpot.

Berkat derasnya air pancuran, air keruh seakan dihisap dalam-dalam oleh bumi. Burung bangau berjalan di atas danau yang dangkal. Kelopak bunga-bunga teratai telah mekar seperti senyum pengantin baru. Di daun-daun yang mengambang, beberapa ekor katak berusaha menyeberang. Di hadapan kita, ada gazebo tempat beristirahat. Sebelum sampai ke gazebo itu, kamu menengadah ke atas. Guguran bunga dari pohon angsana jatuh ke kepalamu. Kontras dengan kesyahduan itu, tiba-tiba seekor kucing melompat dari gazebo dan dikejar kucing lainnya. Kamu terpental saking terkejutnya.

Aku mengelus-elus kucing itu dan menariknya ke pangkuanku. Kita telah duduk di tempat favoritku, tempat aku pernah merenungkan nasib kita, tempat aku memikirkanmu sambil menulis puisi. Kita berada di tengah-tengah empat kolam.

"Jadi, lo tinggal di sini selama ini?"

Orang-orang bergamis putih mulai berdatangan. Mereka hilir mudik di antara kita. Sesekali mereka memandang dengan tatapan penuh curiga. Aku tahu kamu tak begitu nyaman dengan serbuan tatapan seperti itu. Aku tahu pertemuan kita terlalu aneh untuk sebuah kunjungan santri.

"Kelihatan, ya, groginya?" Mulutmu bergetar saat mengatakan itu.

"Tenang, nanti aku sebut kamu saudaraku kalau mereka tanya."

Kamu menutup telingamu yang bertindik dan tato ular di lengan kirimu. Kamu turunkan sedikit topi berkilau yang kamu kenakan. Banyak sorotan membuyarkan konsentrasimu. Penampilanmu terlalu kontras dengan para santri. Padahal, kamu sudah sedapat mungkin berpenampilan normal.

*

Aku teringat saat-saat di mana kamu melihat dirimu sebagai api.

"Nama gue itu kutukan," katamu suatu hari.

Bara. Kamu selalu bergelora. Tak mau hidup lurus-lurus saja. Kudengar kamu pernah berkali-kali pindah sekolah karena tak suka aturan. Kamu sering kedapatan tidur di kelas. Kamu juga sempat berminggu-minggu bolos kuliah sejak diajak dosenmu main band. Dia adalah dosen mata kuliah Termodinamika yang juga seorang vokalis. Kamu lebih dikenal di seantero kampus dari sang vokalis. Dia, dosenmu itu, memberikan nilai E pada satu mata kuliah dan IPK-mu anjlok. Konsekuensinya, kamu harus mengulang di semester depan.

Belum habis sampai di situ, dia juga mengklaim lagu-lagumu sebagai lagu ciptaannya. Kamu keluar dari band dan berambisi memiliki label pribadi. Namun, kamu tak bisa serta merta keluar dari kampus. "Bokap gue sampe ngasih jaminan sertifikat rumah buat biaya gue kuliah," katamu.

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang