11. Menghargai Napas [REVISI]

73 8 8
                                    

"Nal, Umay kritis."

"Inalillahi. Kenapa?"

"Kecelakaan. Di palang pintu kereta."

Aku mendapat kabar itu dari Aldo. Ternyata keluhanku tentang cintamu tak ada apa-apanya dibanding kabar duka yang menghentakkan seluruh sendiku pagi itu.

Bagaimana ini bisa terjadi sementara kemarin Umay masih baik-baik saja, masih mengantarkan aku ke pameran buku sambil mendengarkan sumpah serapahku? Aku ingat Umay sempat ngotot melajukan mobil yang mogok. Seketika aku meringis pilu membayangkan bahwa bisa saja dia memaksa mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi setelah tak kuasa menanggung beban atas ceritaku?

Aldo bolak-balik di rumah sakit untuk membantu mengurus administrasi. Sementara kamu, di lorong rumah sakit, berdiri dengan gusar. Kedua tanganmu bersatu dan terkepal seperti orang yang sedang khusyuk berdoa. Saat bersandar dalam keadaan masih berdiri, kamu tempelkan satu kaki ke belakang hingga menyentuh dinding.

Aku katakan berulang-ulang bahwa seharusnya, akulah yang kritis di ranjang itu. Tak mungkin Umay koma jika dia menolak mengantarkan aku ke pameran buku. Aku menyesal karena tak menemani Umay untuk datang ke resepsi pernikahan yang digadang-gadang itu. Untungnya, mobil tak sampai terlindas roda-roda besi. Mobil itu terguling ke sisi rel karena kecelakaan beruntun. Umay sebagai pengemudi masih bisa diseret keluar setelah terjepit. Masih bisa menjerit minta tolong. Namun, pinggangnya tertusuk bilah logam. Dari kepalanya mengucur darah.

Dokter bilang, terdapat empat puluh enam tulang patah di sekujur tubuh Umay. Badannya yang gempal tak bisa menghindarkan dirinya dari kecelakaan setragis itu. Beberapa bilah logam segera dilepaskan dari tubuhnya. Setelah keluar dari ruang IGD, Umay harus menjalani ICU untuk mendapat penanganan medis akibat cedera otak traumatis. Selang oksigen dan selang infus saling membelit di sekitarnya. Kulihat perban membungkus kepalanya. Wajahnya bengkak, penuh memar. Sementara tubuhnya dibalut di sana-sini.

Sebuah monitor menampilkan irama detak jantung. Aku ingin memompa habis seluruh darahku untuk kuberikan padanya. Namun, dokter bilang, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain menunggu dan bersabar.

*

Umay sayang...
Tolong, sakitnya jangan kelamaan...
Aku gak siap kehilangan...

Aku membatin. Kupeluk tubuhku dengan jaket kedodoran miliknya yang resleting-nya hilang itu. Beberapa kali aku dilirik seorang wanita paruh baya yang mengenakan tas Hermes merah bata. Sepertinya, wanita itu mengenali jaket ini. Aku baru menyadari siapa wanita itu. Dialah ibunya Umay yang baru mendarat dari negeri Jiran. Sang ibu memeluk Umay sambil tersedu-sedu.

Setelah itu, ruang besuk jadi makin ramai. Beberapa saudara jauh Umay dari keluarga besarnya hadir untuk bergantian menjenguknya. Di lorong rumah sakit, setiap kali putus asa dengan kabar dokter, Aldo dan kamu berangkulan dengan kepala saling bersentuhan.

Aldo merentangkan tangannya untuk mengajakku ikut serta. Awalnya, aku ragu. Takut kalau-kalau kamu masih ingin menjauh dariku. Tetapi tidak. Kamu pun merentangkan tanganmu. Wajahmu tegang, berharap belas kasih semesta hari ini. Aku masih bisa mencium parfummu di tengah aroma obat-obatan yang tajam. Kita merunduk, sama-sama berdoa demi keselamatan Umay.

Namun, sebanyak apa pun doa dilesatkan ke langit, tak ada yang mampu mengelak dari garis takdir. Nyawa Umay tak tertolong. Dia mengembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setelah beberapa jam habis operasi. Napasmu patah-patah setelah mendengar raungan seorang ibu yang ditinggalkan anaknya selama-lamanya. Kulihat, wajahmu basah saat kamu melepaskan diri dari cengkeraman Aldo. Kamu bergerak ke ruangan di mana seorang manusia sudah terbujur kaku.

Aku merapatkan jaket hitam milik Umay seperti sayap kelelawar. Kurasakan, peluk terakhirnya di tubuhku. Kemarin, aku baru saja mendapatkan perhatian yang langka dari seorang manusia bernama Umar Syahid Notonegoro. Kamu beruntung memiliki sahabat seperti Umay. Biasanya dia akan membelamu sebodoh apa pun kamu sebagai laki-laki. Aku kini mengerti satu hal. Kamulah satu-satunya orang yang menerima Umay di saat semua orang telah meninggalkannya. Kini, Umaylah yang pergi meninggalkan semua orang.

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang