12. Di Bawah Hujan [Tambahan]

48 5 2
                                    

Beberapa hari ini kita ke pulang pergi ke rumah keluarga Umay untuk mengantarkan barang-barang. Saking seringnya, kita tak perlu lagi peta karena sudah hafal arah jalan.

Di samping kemudi, aku memegang kartu tol untuk kuberikan padamu kalau-kalau dibutuhkan. Aku menoleh ke belakang. Ada dispenser, kasur yang digulung, tumpukan selimut, dan berkardus-kardus alat elektronik. Beberapa barang kita lelang atas permintaan keluarganya. Aku juga sempat melaundri pakaiannya dan memilih beberapa komik kesukaan Umay untuk kutamatkan.

Aku melirik jam digital pada ponsel. Ada angka lima belas, titik dua, dan angka dua puluh empat. Ada juga tanggal kalender yang sudah kutandai sebagai periode menstruasiku. Tanggal itu adalah hari ini. Aku takut keburu tidak lagi suci untuk melakukan salat dan memegang kitab agamaku. Prediksinya, seperti juga perkiraan cuaca, darah kotor akan deras mengalir hari ini. Aku melihat sebuah tempat ibadah yang sangat bersih dengan menara yang menjulang indah. Tiba-tiba saja aku rindu untuk berdoa.

"Ke masjid dulu, yuk, Bar."

"Ngapain?"

"Salat," jawabku pendek. "Udah azan."

Aku melepaskan seat belt, bersiap menepi ke parkiran masjid. Sementara, kamu masih terperangah. Aku tak biasanya sesigap ini untuk melakukan sembahyang. Biasanya ditunda-tunda. Kamu akan segera tahu kalau aku takut datang bulan. Dan kamu pun akan tahu kalau gumpalan darah dalam rahimku belum pernah jadi janin, belum pernah jadi manusia mungil.

"Kan, bisa salat di rumah."

"Nggak bisa, keburu maghrib nanti."

"Ngeyel," tangkismu.

Kamu tampak tak betah duduk-duduk saja di selasar masjid. Dengan raut wajah masih menyimpan kesal, kamu ikut mengambil air wudu lalu berjalan ke saf paling depan.

Setelah menunaikan salam, aku mengamatimu gerak-gerikmu yang kikuk dari baris belakang. Tersenyum. Punggung itu pernah kutatap begitu lama dalam keadaan kagum. Sekarang, punggung itu ada di hadapanku. Sedang melakukan ritual penghambaan. Berdiri. Bersujud. Duduk. Menghamba. Menadahkan kedua tangan dan wajah menengadah ke langit-langit. Teduh sekali melihatnya. Aku tak pernah melihat pemandangan seindah ini.

Di atas semua itu, aku memohon petunjuk Yang Maha Kuasa. Apa rencana Tuhan sehabis ini? Akan kupasrahkan diriku untuk mengikuti apa maunya. Aku lelah mengikuti apa mauku yang tak jelas juntrungannya. Aku berdoa semoga jika memang kelak kita berjodoh, berikan kita tekad yang kuat agar kita bisa menjadi sepasang manusia yang saling menyempurnakan. Jika memang kelak kamu menjadi imamku, berikan kepantasan agar kamu bisa membimbingku sampai jadi debu. Jika tidak, tolong jaga diriku dari perasaan berlebihan yang tak perlu. Dan, tolong berikan aku kekuatan untuk bisa jauh darimu.

Setelah selesai salat, kamu nyalakan rokokmu. Pahamu naik turun gelisah. Sepertinya khawatir kalau-kalau aku pingsan di dalam. Berkali-kali kamu melongokkan kepala ke area salat perempuan. Aku belum juga keluar pintu. Padahal, kamu sudah sejak tadi selesai.

"Doa apa, sih? Khusyuk amat."

"Rahasia," ujarku sambil meleletkan lidah. "Kamu sendiri doa apa? Penasaran aku."

"Nggak doa, kok. Cuma ngafalin lirik buat lagu baru."

"Apa iya?"

"Hehe. Ya, doa yang baik-baik, dong. Masak nyanyi?" Kamu mencandaiku. "Bukan doa namanya kalau dijelasin, tapi cerdas cermat."

"Rahasia juga?"

Kamu mengangguk. "Biar Tuhan aja yang denger."

Aku tertawa lalu bergerak menghampiri mobil dengan berlari-lari kecil. Hujan turun rintik-rintik sore itu. Spontan, kamu membukakan pintu. Manis sekali. Aku masih ingin meledekmu. "Kali aja lupa bacaan salat."

Aku Benci Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang