1 - One day, when the sun opens his soul

579 56 1
                                    

Ada beberapa jeda sebelum panci rebus itu berkelontang nyaring. Uapnya yang panas menyembulkan asap, membumbung tinggi sebelum akhirnya menyatu kembali dengan udara. Wajan di sebelah panci menunjukkan gemeletuk kecil yang menggiurkan dahaga. Semua orang kelaparan, tak ada yang dapat menahan nikmatnya aroma sup dan kare yang masih hangat di tengah malam yang dingin ini. Mungkin, kecuali satu orang.

"Kim Soohyun!" seseorang datang sambil membawa piring aluminium, lengkap dengan sendok-sumpit beserta gelas wadah minumnya. Lelaki tiga puluh tahunan itu tersenyum, menyodorkan piring, meminta jatah makanannya.

"Waw, adil sekali yah.. tak bisakah kau tambah sedikit lagi bagianku?" pintanya.

"Tak bisa. Nanti yang lain bisa kelaparan." jawab Soohyun, menyendok sup untuk barisan selanjutnya.

"Pantas saja kau disuruh terus berjaga disini. Orang itu pasti tau kalau kau tidak akan korupsi makanan." lelaki itu—Park Sunghoon, menyemburkan tawanya. Sebelum kemudian berhenti karena seseorang yang mengantri di belakang mendorongnya kasar.

"Sabar dong! Memangnya kalau ini tumpah kau mau kasih jatah makananmu?" ujarnya kesal.

"Suruh siapa lama." pemuda yang tadi mendorong tak mau kalah, membalas kalimat Sunghoon sama kesalnya.

Kim Soohyun memukulkan centong sayur di tangannya pada pinggiran wajan. Menghasilkan dentingan nyaring yang berhasil membuat kedua orang yang tengah berdebat sengit itu membungkam mulutnya, memilih untuk diam, daripada harus membuat masalah jadi lebih runyam.

"Selanjutnya!" teriak Soohyun.

Terpaksa, si pemuda tadi langsung terbirit, mengikuti sosok Sunghoon yang sudah duduk di atas puing-puing bangunan yang runtuh.

Pemuda itu ikut duduk di sebelah Sunghoon. Dia adalah Dongyeon, pemuda yang beberapa minggu lalu baru datang ke posko 3 dengan wajah penuh lumpur dan baju compang-camping. Orang pertama yang menyambut adalah Oh Jungse yang saat itu sedang sibuk mengasah peralatan berkebunnya di halaman belakang paling utara posko 3.

Dongyeon berbisik kecil. "Hari ini suasana hatinya memburuk, ya?"

Yang ditanya mengangguk setuju. "Mungkin dia habis melihat ramalan hariannya. Lalu hasilnya buruk, karena itu hari ini wajahnya muram."

"Ramalan? Memangnya ada yang seperti itu?"

"Tentu saja..."

"Bisakah aku melihat peruntunganku hari ini?"

"Maksudku, tentu saja tidak ada dasar bodoh!" Sunghoon tertawa. "Kau gampang sekali ditipu. Mana ada orang yang masih percaya hal semacam itu di zaman ini."

Dongyeon cemberut. Dia makan dengan mencak-mencak sambil memandangi hamparan reruntuhan bangunan di hadapannya. Semuanya hancur, luluh lantak tak bersisa. Posko-posko dibangun seadanya, fasilitas umum juga dibangun terburu-buru, tidak ada yang layak dan higienis. Pandangan mata Dongyeon jadi menyendu. Sunghoon menyadarinya, lalu kedua tangannya menepuk pelan pundak pemuda itu.

"Aku rindu anakku.."

Park Sunghoon tidak dapat membalas kalimat itu. Semua orang disini kehilangan, tidak ada yang bisa menghibur mereka selain daripada diri mereka sendiri. Karena yang telah pergi tak bisa kembali.

..
..

Sore itu cuacanya cukup cerah. Cahaya matahari terasa hangat dan menggelitik. Pohon-pohon yang masih sanggup berdiri menunjukkan ketangguhannya, mereka adalah barisan paling teguh diantara seluruh makhluk hidup, sama seperti manusia.

Anak kecil yang tengah bermain dipaksa masuk ke posko meskipun mereka meraung-raung tak mau. Karena di dunia yang sekarang, malam tidak lagi menjadi pertunjukan spektakuler yang menampilkan beragam atraksi lampu warna-warni dengan kerlipan cantik yang mampu membahagiakan hati. Malam di dunia ini sangat sepi, senyap, dan menakutkan.

WIS(H)OPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang