Ada satu masa dimana Jiwon merasa ia adalah orang paling bahagia, orang paling beruntung di dunia. Secangkir kopi terasa sangat enak, nasi yang baru saja dinanak rasanya pulan dan hangat. Pemandangan pagi hari jadi sangat cerah, sinar mentari, daun-daun yang bergoyang tersenggol angin, dan suara mama yang memanggil dengan nada lembutnya untuk sarapan.
Jiwon akan tersenyum. Menatap pantulan muka bantalnya di depan cermin. Menepuk-nepuknya sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk meraih gagang pintu kamar yang dingin, turun melewati tangga dengan langkah yang riang.
Pagi itu sama persis seperti pagi sebelum-sebelumnya. Sama cerahnya seperti pagi kemarin, atau kemarin lusanya. Sama hangatnya seolah mentari tersenyum langsung untuk menyambut harinya. Dan sama persis, sebagaimana embun pagi meneteskan air mata di atas daun.
Hanya dalam waktu setengah jam setelah matahari benar-benar menunjukkan atensinya, keadaan berubah total. Keributan yang tak pernah terbayangkan tampak di depan mata. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jiwon lebih menginginkan kematian ketimbang hidup dalam kesengasaraan.
Satu momen mengerikan itu mampu mengubur setiap kenangan indah yang pernah dilaluinya. Hanya meninggalkan sisa-sisa rasa takut dan gelisah yang menempel erat di dalam hatinya. Memaksanya untuk mengingat semua momen itu tanpa membiarkannya untuk bernapas barang sebentar saja. Seolah-olah, kebahagiaannya selama ini diberikan hanya untuk menerima kenyataan bahwa kini ia tak berhak untuk bahagia lagi.
Jiwon sengsara dalam segala ketakutannya, juga kesepian.
Oleh karena itu, saat ada seseorang yang memilih untuk tak meninggalkannya, Jiwon merasakan hatinya menghangat. Bibir yang telah lama kaku, kini mulai mengembang perlahan. Perempuan itu merasakan secercah cahaya sedikit menyelimuti hidupnya yang berantakan. Rasa takut Jiwon berkurang, seiring dengan mengikisnya rasa kesepian.
"Kim Jiwon?" suara berat itu membuyarkan lamunannya. Jiwon mengerjapkan matanya, menoleh pada Soohyun yang kini duduk di sebelahnya. "Mau keluar tidak?"
"Bukannya keluar berbahaya?"
Soohyun menggeleng, dia mengendikkan bahunya. "Aku tak merasakan apapun, jadi kurasa di luar baik-baik saja." jawabnya, kemudian bangkit berdiri. "Mau ikut tidak? Mumpung Sunghoon masih tidur. Aku tak bisa tidur sejak tadi, diam saja disini membosankan."
Mendengar itu, Jiwon ikut bangkit. Dia menatap Soohyun sebentar. "Kau benar-benar seperti dukun saja." mereka berjalan sepelan mungkin, berusaha meminimalisir segala bentuk suara atau Sunghoon bisa-bisa membuka matanya sebelum mereka sempat keluar.
Pada saat Sunghoon tak nampak di pandangan mata, mereka berdua berjalan dengan normal lagi. Kemudian, tanpa sadar mereka terkikik bersamaan. Merasa bangga seakan berhasil kabur dari penglihatan Sunghoon adalah suatu prestasi yang sangat berharga.
"Kau harus pakai mantelmu dengan benar. Musim dingin sekarang sangat rawan, orang-orang mudah jatuh sakit." Soohyun mendekat, memperbaiki posisi mantelnya yang setengah terbuka.
"Aku bukan orang yang mudah sakit, kok." jawab Jiwon.
Soohyun menggeleng kecil. "Kedinginan juga bukan hal yang baik."
Jiwon hanya mengangguk kecil. Mengiyakan perkataan Soohyun tanpa bertanya apapun lagi. Dia hanya berjalan pelan dengan hati yang berdesir hangat. Bibirnya menggumam kata terima kasih tanpa suara.
Saat keluar dari parkiran bawah tanah, udara dingin semakin menusuk. Rupanya, musim dingin benar-benar telah tiba. Mereka berdua berhenti tepat di depan pintu masuk parkiran bawah tanah, berdiri disana, diam, dan tak melakukan apapun selama beberapa waktu selain menarik napas dan menikmati pemandangan langit kota yang indah.
Suara Soohyun yang pertama kali memecah keheningan. "Langit Seoul jauh lebih indah ketika bencana terjadi. Karena semua lampu kota mati, bintangnya jadi terlihat lagi. Mungkin ini maksud dari kalimat yang sering orang-orang bilang kalau ada keindahan di setiap bencana."
"Kau benar, langitnya sangat indah." jawab Jiwon, lalu jemarinya terangkat ke atas, menunjuk asal pada salah satu dari sekian ribu bintang yang tersebar di langit. "Mungkin ibu dan ayahku menjadi salah satu bintang disana. Lalu mereka sedang berbahagia bersama, atau mungkin, mereka kadang bersedih karena meninggalkan anaknya sendirian disini."
"Mereka tidak bersedih. Dan kau juga tidak ditinggalkan."
Jiwon diam saja, menantikan kalimat selanjutnya.
"Pasti ada sebuah alasan kenapa kau masih hidup disini. Mereka tidak bersedih karena tahu kau mampu melewati segala bencana ini. Kalau mereka sedih, kau juga akan bersedih. Karena itu percayalah, mereka bahagia di atas sana. Mereka bahagia untukmu, sebelum mereka bahagia untuk diri mereka sendiri."
Begitu ya. Jiwon mencerna kalimat pemuda itu dengan cermat. Setiap kalimat itu berhasil menggelitik relungnya yang telah lama usang. Seperti ada percikan-percikan kecil yang mulai mengalir, mendesir dalam dadanya yang bergemuruh. Karena seseorang memberitahunya, bahwa ia tak ditinggalkan. Jiwon tak pernah ditinggalkan.
Oleh orang tuanya. Atau orang lain.
Mereka hanya datang dan pergi, seperti yang biasa orang lain lakukan. Seperti saat kita berbelanja di minimarket, kita datang mencari barang yang ingin dicari, membayar di kasir, lalu segera pergi tanpa pikir panjang.
Jiwon ibarat penjaga kasir itu. Orang-orang berdatangan, kemudian pergi. Jiwon hanya menyambut mereka seperlunya, tanpa harus memikirkan kemungkinan akan ditinggalkan. Dengan begitu hatinya akan aman, dia tak akan berduka, juga terluka.
Namun, beberapa orang mungkin akan terus datang, pelanggan tetap. Seorang pelanggan yang terus datang setiap pagi untuk membeli sebungkus roti dan sebotol susu. Atau yang setiap malam selalu mengambil satu ramyeon pedas yang bisa membuatnya sakit perut. Orang-orang seperti itu selalu ada. Orang tuanya, temannya, juga mungkin seseorang yang belum ia kenal betul. Orang-orang seperti itu masih ada. Orang-orang seperti itu selalu ada.
Dan orang-orang seperti itu, bisa kapan saja pergi saat ada hal yang mengharuskannya pergi. Jiwon harus siap saat itu terjadi.
"Kau berkata seperti itu untuk menghiburku. Untuk memberiku semangat agar tetap hidup. Tapi kenapa?"
Soohyun memiringkan kepalanya, bingung dengan kalimat Jiwon. "Kenapa apanya?"
"Kenapa kau ingin mati?"
..
..
..Hai!
Gimana kabar kalian?
I hope you always be happy!
Apapun yang terjadi, tetap semangat ya guys!
Apapun yang terjadi, tetaplah hidup meskipun kalian ngerasa capek!
Kalian itu berharga. Sama berharganya seperti berlian yang indah.I love you guys❤️
(Maaf gak sempet baca ulang, sori kalo ada typo)
~pikaboo
KAMU SEDANG MEMBACA
WIS(H)OPE
FanfictionManusia punya kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Mereka tetap bertahan bahkan ketika bencana kepunahan massal terjadi. Semua itu memiliki alasan. Satu, karena manusia menyimpan harapan. Dua, karena manusia memiliki harapan. (Kim Soohyun x Kim Jiw...