Saat Soohyun membuka mata, hari sudah siang—hampir tengah hari malah. Setelah semalaman suntuk berusaha untuk tidur, akhirnya matanya benar-benar terpejam saat rembulan hampir berpamitan.
Jarang sekali paginya sesepi ini. Biasanya saat langit mulai terang, aktivitas para pengungsi mulai terdengar. Bayi-bayi menangis karena kelaparan, begitu juga anak-anak kecil lainnya. Mereka hanya mampu memeluk mainan kecilnya dan berlarian keluar tenda, memilih untuk bermain bersama agar otak mereka lupa bahwa perutnya keroncongan.
Sebagai seseorang yang bertugas membagikan jatah makanan, Soohyun kadang merasa bersedih. Ada hari dimana mereka mendapatkan pasokan yang cukup mengenyangkan dan enak. Tapi ada pula hari dimana para pengungsi sama sekali tak mendapatkan stok makanan hingga mereka harus menahan rasa laparnya selama beberapa hari.
Kini, Soohyun masih terus memikirkan apakah para pengungsi telah sampai di posko tepat waktu atau tidak. Apakah pagi ini mereka sudah mengisi perut atau belum. Seluruh kalimat tersebut memenuhi pikiran Soohyun sekarang. Karena itu dia tak bisa tenang.
Pemuda itu bangkit. Parkiran bawah tanah saat terang jadi nampak lebih jelas. Mobil-mobilnya bergelimpangan, remuk sana-sini. Debu menempel dimana-mana. Sarang laba-laba mulai terlihat, seperti menandakan bahwa tempat ini sudah hampir dikuasai oleh alam.
Pandangan Soohyun menyelidik, menatap tiap-tiap inci parkiran dengan lebih lekat sambil berusaha mencari keberadaan dua kawannya yang belum ia dapati semenjak kedua matanya terbuka lebar. Parkiran ini cukup luas, mungkin dapat menampung lebih dari tiga ratus mobil jika hotelnya penuh. Ada satu turunan lagi untuk ke bawah, parkiran bagian bawah di dalam parkiran bawah tanah. Agak membingungkan, tapi itulah yang sebenarnya nampak.
Soohyun memutuskan turun ke bawah sana. Ruangan itu lebih gelap dan lembap. Meskipun hari sudah siang, hanya ada cahaya remang yang menyelip masuk lewat sela tembok yang sedikit hancur. Berbeda dengan bagian parkiran sebelumnya yang cukup terang.
Berjalan sejauh ini, Soohyun akhirnya menghela napas lega. Dia menyunggingkan senyumannya tatkala melihat sosok dua kawannya yang sedang berjongkok di dekat sebuah mobil van putih setengah hancur.
Soohyun berlari kecil, ikut berjongkok di sebelah Sunghoon. "Apa yang sedang kalian lakukan?"
Jiwon dan Sunghoon menoleh. "Lihat, apa kau tahu ini benda apa?" Sunghoon menunjuk pada satu benda yang kira-kira panjangnya sekitar 80 cm tergeletak begitu saja di bawah.
Soohyun bergeser, mencoba mengamatinya lebih dekat. Saat tangannya hendak meraih benda tersebut, Jiwon menepisnya dengan cepat. Soohyun mendelik, menatap Jiwon yang dengan cepat bicara tanpa sempat pemuda itu mengutarakan kalimat protesnya.
"Jangan disentuh! Kita tak tahu apa yang akan terjadi jika kita menyentuhnya."
Soohyun dengan santai mengambil benda itu. "Aku ingin tahu, karena itulah aku menyentuhnya agar aku tahu benda apa ini." jawabnya santai.
Mendengar itu, Jiwon memijat pelipisnya sambil menarik napas. Sunghoon di sebelah menepuk pundak perempuan itu pelan. "Tak perlu kaget. Sejak dulu dia memang tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain."
"Jadi itu benda apa?" tanya Sunghoon.
"Kurasa ini antena.."
"Yes! Aku menebaknya dengan benar." Jiwon berseru kegirangan sampai bangkit dari posisi jongkoknya.
"Apa-apaan—hei Soohyun, bagaimana bisa kau menyebut benda ini antena? Jelas sekali ini adalah ekor milik perusak. Kau tidak perlu berbohong padaku."
Soohyun mengernyitkan pelipisnya bingung. "Apa maksudmu aku berboh—hei, tunggu sebentar.. Kalian melakukan suatu permainan tanpaku?" raut wajahnya penuh keterkejutan. Pemuda itu kini berlarian kecil mengikuti dua kawannya yang sudah melangkah lebih dulu ke atas. "Hei, biarkan aku ikut bermain juga!"
KAMU SEDANG MEMBACA
WIS(H)OPE
FanfictionManusia punya kemampuan bertahan hidup yang tinggi. Mereka tetap bertahan bahkan ketika bencana kepunahan massal terjadi. Semua itu memiliki alasan. Satu, karena manusia menyimpan harapan. Dua, karena manusia memiliki harapan. (Kim Soohyun x Kim Jiw...