23. Tentang cinta di antara persahabatan

1.7K 134 66
                                    

Gadis itu mendapati diri terbaring di ranjang rumah sakit. Bau antiseptik menyengat menusuk hidung, pikirannya berputar cepat, terus merangkai kembali fragmen-fragmen ingatan yang samar-samar muncul.

Jisika ingat dengan jelas rencana yang disusun: niatan bunuh diri yang akan menghapus jejaknya dari dunia. Namun, semua hancur ketika jarum suntik menusuk kulit, di detik itu harapan untuk mengakhiri segalanya sirna dalam kebingungan. Alih-alih menemui ketenangan abadi, ia terjebak antara hidup dan mati, terlebih ketika ayahnya berkata,

"Kamu mungkin bingung mengapa obat itu nggak berfungsi sebagaimana mestinya."

"Papa yang mengganti obatnya?" Tebakan ini tidak salah, memang Thomas Iskandar lah yang mengutus orang-orangnya untuk memeriksa apartemen sang anak semenjak terendus kabar bahwa Jisika Tamara sempat berada di Adriana's Club yang diduga menjadi lokasi berkumpulnya para pecandu narkoba.

Hari itu, Thomas begitu kalut saat menemukan kebenaran di balik kabar yang beredar mengenai anaknya; dia benar-benar menyimpan obat terlarang di kamar. Hingga pada laci meja Thomas melihat Sodium Penthobarbital, yang menurut dokter keluarganya adalah obat yang dikenal sebagai obat bunuh diri. Mengetahui hal itu, Thomas dapat menebak apa yang hendak dilakukan Jisika kedepannya.

"Yang kamu suntik ke pembuluh darahmu itu, Diazepam, obat bius biasa," kata Thomas, mengonfirmasi bahwa memang dialah yang mengganti obat tersebut.

Ketika Jisika membakar apartemennya, hal itu ialah hal yang tak dapat diduga. Masih untung anaknya bisa diselamatkan meski mengalami luka bakar di beberapa titik tubuh sebab api baru bisa padam total ketika pemadam datang.

Mengetahui ayahnya sendiri menjadi penyebab gagalnya ia menjemput ajal, Jisika jelas berang. Dia mengamuk sepanjang hari, menyalahkan semua orang.

"Aku ingin mati! Siapa pun bunuhlah aku! AKU INGIN MATIIII!"

Kasihanilah petugas rumah sakit yang harus direpotkan dengan pasien satu ini. Dibanding dengan orang yang hampir menjemput maut, dia bahkan lebih mirip hewan yang hendak disembelih paksa—meraung, mengamuk, bagai tak punya malu. Oh atau memang Jisika Tamara golongan binatang yang pantas disembelih untuk kurban?

"Apa yang ada di otakmu?" Itu pertanyaan ketika keesokan harinya sang ayah kembali datang, kali ini dengan menunjukkan riwayat pesannya dengan seorang Janu Baskara. 

"Kalian bekerjasama menumbalkan seorang masinis atas tragedi kecelakaan kereta beberapa bulan lalu? Apa yang ada di otakmu dan Janu?" Thomas benar-benar kecolongan. Di saat beliau sudah merasa kecewa dengan masinis andalan perusahaan, kali ini muncul fakta yang tidak disangka-sangka.

"Tanyakan itu pada ponakan papa."

"Pada jasad yang sudah disemayamkan, jawaban seperti apa yang bisa didapat?"

Sang anak membulatkan mata. "Dia benar-benar mati?!" Demi maut yang gagal ia raih, Jisika tidak bisa rela Janu lepas tangan dari apa yang telah mereka perbuat. Sudah sejauh ini rencana busuk menguar, mana boleh si penyebab utama musnah dari kehidupan. Kalau tahu begini, sudah Jisika laporkan kepada yang bersangkutan mengenai niat Janu jauh-jauh hari. Kalau tahu dia akan menanggung ini sendiri, harusnya hari itu ketika dia datang ke Memoria Bakeri untuk meminta maaf dan menerima konsekuensi, dia tidak putar balik lagi; dia tidak perlu meladeni Janu lagi.

"Pa, jawab aku…, dia—Janu Baskara benar-benar mati?"

Thomas mengangguk. Detik berikutnya memejamkan mata sebab Jisika kembali mengamuk.

"ANJ*NG! BISA-BISANYA DIA MATI, BANGSAT! PECUNDANG! SETAN!"

Begitu saja, Thomas Iskandar menghembuskan napas lelah sebelum keluar dari ruang inap. Hari ini, dia akan mengikuti sidang dewan terkait masalah yang menimpa PT KAI atas kabar yang baru saja diungkap media; mengenai Jisika Tamara, prami kereta sekaligus anak dari pimpinan, terlibat dalam kasus kecelakaan berencana sekaligus pecandu narkoba.

[✓] Pathways to Happiness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang