Serena mencoba mengingat ulang apa yang terjadi semalam. Cahaya matahari diam-diam menyusup di balik tirai jendela yang dibuka sedikit; nampaknya ia bangun terlambat. Sontak, bibirnya terkulum, menahan luapan perasaan baru dalam diri yang anehnya menyenangkan. Pipinya bahkan bersemu merah.Samar-samar terdengar suara percikan air di kamar mandi. Tak lama, muncullah sosok pria yang tadi malam dan hingga pagi ini terlihat begitu tampan —lebih dari biasanya, dalam balutan handuk menutupi pinggang hingga lutut.
"Eh, sudah bangun?"
Serena tidak berkutik. Mengangguk pun enggan. Sungguh, ia masih tidak menyangka dengan apa yang diperbuatnya semalam—tidak usah dijelaskan.
"Aku tadi habis jogging di luar. Mau bangunin kamu pas pulang rasanya sungkan. Kamu pulas banget." Bahkan saat Sabir diam-diam mencuri kecupan singkat di dahi istrinya, yang dicium tidak bergerak sama-sekali. Sampai-sampai Sabir terburu meletakkan jari di bawah hidung Serena untuk memastikan istrinya masih bernyawa. Khawatir, kalau-kalau semalam ia terlalu kasar. Meski setelah diingat-ingat, ia memperlakukan sang istri dengan amat lembut.
Aduh, telinganya merah lagi setelah membayangkan.
"Mau mandi?" Sabir mendudukkan diri di pinggir ranjang. Merapikan rambut Serena yang menutupi sebelah mata. Perempuan itu lekas mengangguk setelah ditanya begitu.
"Hari ini enggak dinas, kan?"
"Cuma mau lihat bebek di peternakan. Kata Ajie lagi kena penyakit, banyak yang mati. Terus, kata si Umang kemarin ada yang datang dari stasiun TV, mau ngeliput tentang bebek petelur, gitu. Enggak tahulah aku, rasanya malas diwawancara. Mungkin kapan-kapan aja."
"Enggak."
"Hm?"
"Maksudku... mending enggak usah." Serena tidak mau menjabarkan lebih jauh tentang rasa tidak sukanya jika wajah sang suami masuk TV. Yang ada makin menjadi kelakuan wanita-wanita ganjen yang kemarin ia temui di kolom komentar salah satu aplikasi.
"Memang enggak. Tapi aku harus tetap ke sana. Udah rindu sama anak-anak aku."
"Mereka itu hewan, ya. Bukan anak." Telunjuk Serena mencolek bisep sang suami. Serta-merta membuat Sabir tersenyum.
"Iya, kan, kalau anak kita masih dalam proses."
Butuh waktu beberapa detik bagi Serena yang otaknya belum terkumpul sepenuhnya untuk mengerti. Begitu menyadari maksud sang suami, ia menyusupkan kepala ke bantal : malu total.
"Kenapa sembunyi begitu?" Sabir mengusap-usap rambut Serena penuh kasih. "Mandinya jadi?"
"Jadi...."
"Aku bantu gendong aja, ya. Pasti masih capek."
"Sab!!!"
Sabir terjengit kaget. Tidak menyangka istrinya akan memekik tiba-tiba. Kalau semalam ya tidak heran. Tapi kali ini, apa masalahnya?
"Apa? Kamu kenapa?"
"Aku malu, tau! Kamu enggak usah di sini, deh. Sana jauh-jauh. Aku mau mandi."
Apa ya ini namanya? Kenapa Sabir seperti dicampakkan? Diusir nih ceritanya?
"Emang enggak apa-apa jalan sendiri?"
"Ya kamu pikir ada apa-apanya?"
"Kan, kamu..." Sabir menggantung kalimatnya. Kemudian menggeleng. "Ah, enggak. Aku aja yang gendong kamu. Jangan maksain buat jalan sendiri."
"Izin, ya...." Belum sempat Serena protes, suaminya itu telah menyusupkan tangan ke belakang tengkuk.
"Selimutnya dibawa aja kalau kamu malu," bisiknya. Sementara tangan satunya meraih belakang lutut Serena yang terasa polos tanpa pelindung. "Ini kamu enggak mau gantungin tangan ke leherku, kah, Ibu Eren? Bukannya apa-apa, takut kamu kecengklak."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Pathways to Happiness
RomanceSingkatnya begini, Serena ngajakin Sabir nikah karena habis diselingkuhi kekasihnya yang abdi negara itu. Gilanya, Sabir si teman masa kecil pun mau. Mari, ikuti lika-liku perjalanan bapak Masinis dan ibu Baker yang ingin menjadi pasutri apa adanya...