15- Mulutmu, Harimaumu

18 13 0
                                    

Menaruh mangkuk berisi mie rebus di atas meja ruang tengah, keempat remaja tersebut duduk dengan posisi saling berhadapan dan sudah tersedia berbagai camilan, minuman serta makanan di meja. Ini sebenarnya mau meluruskan masalah yang terjadi atau makan-makan sih? Batin Dea, pusing dengan kelakuan Callista dan Putra.

"Pedes amat, punya siapa enggak pedes? Tukar dong, enggak tahan," rengek Callista. Ia tidak begitu suka pedas, mendengar hal tersebut.

Dea pun langsung menukar miliknya dengan punya Callista, untung saja ia belum menaruh bubuk cabai di mie rebusnya. "Udah dibilang bubuk cabainya level 30 malah ngeyel," sindir Dea.

"Ya, tadi kukira kalau pakai dikit aja enggak bakal pedes." Callista menyengir kemudian meniup mie rebusnya lalu menyuapkannya ke dalam mulut.

Saat di sekolah tadi, mereka berempat memang berniat berkumpul di rumah Hendra untuk membicarakan hal yang baru saja terjadi. Mumpung rumah pemuda itu sedang tidak ada orang dan tinggal Hendra seorang diri, orang tua pemuda itu sedang keluar kota dan saudaranya sedang menginap di tempat temannya untuk kerja kelompok.

Callista, Putra dan Dea sudah izin dengan orang tua mereka masing-masing untuk menginap di rumah Hendra, untung saja diperbolehkan. Menaruh mangkuk berisi mie yang tertinggal sedikit di atas meja, Putra meminum es tehnya kemudian memulai percakapan.

"Sudah pada selesai?" tanya Putra. Netranya bergerak menatap kawannya satu persatu.

Ketiganya kompak menganggukkan kepala, meskipun masih mengunyah makanan dan meneguk minuman mereka. Karena temannya sudah menganggukkan kepala yang pertanda iya, Putra pun memulai.

"Dimulai dari lo, De." Tangan Putra terjulur ke depan dan telunjuknya mengarah tepat di hadapan Dea.

Dea merotasikan bola matanya, ia menaruh mangkuknya yang sudah habis di atas meja. Lalu mengambil dua bakpao berisi ayam dan coklat. "Seharusnya aku enggak cerita ini ke kalian, tapi karena kalian maksa. Ya, udah. Jadi, intinya hantu itu minta carikan seseorang yang namanya Amanda. Cuma itu tanpa ada tambahan petunjuk lainnya, dia cuma minta dicarikan dan enggak ngasih tau alasannya," jelas Dea panjang lebar.

"Terus, kamu turuti?" tanda Callista.

"Kalau iya, kenapa?" tanya Dea balik. Jemarinya merobek setengah bakpao berisi coklat lalu menyuapkannya pada Callista, gadis itu tentu saja menerima dengan senang hati.

Callista pun menyelesaikan kunyahannya lalu menelan bakpao tersebut. "Pertama, kita enggak tahu hantu itu asal usulnya dari mana."

Putra meneguk es tehnya. Lalu menyahuti, "Kedua, kita enggak tahu alasan dia apa buat minta dicarikan cewek yang namanya Amanda itu."

"Dan ketiga, kita enggak tahu hantu itu baik atau jahat. Bisa aja dia mau mencelakakan kamu dengan menyuruh kamu untuk mencari seseorang yang namanya Amanda, bisa aja dia justru 'digunakan' seseorang untuk melakukan hal yang buruk." Hendra mengangkat dua jari kemudian menaik-turunkannya saat mengucapkan kata 'digunakan'.

Mendengar sahutan dari ketiga temannya yang tak sempat terpikirkan oleh Dea, membuat gadis yang sedang mengunyah bakpao itu termenung. Benar juga, sebenarnya ia sempat memikirkan bahwa permintaan hantu itu bukanlah urusannya, seharusnya ia tak perlu repot-repot menuruti kemauan hantu tersebut.

Menghabiskan suapan bakpao terakhirnya, Dea pun menjawab, "Kalau dari semua yang kalian bilang sih ... sebenarnya bisa aja sambil kucari tahu waktu penyelidikan malah."

"Bisa, tapi mati," balas Callista tepat.

Hendra mengambil salah satu bungkus camilan lalu membukanya. "Bisa sih bisa, tapi kita mana tahu tipu muslihat hantu itu apa." Ia mengambil satu kemudian mengarahkan bungkus camilan tersebut pada Putra yang berada di sebelahnya.

Putra pun mengambil segenggam camilan tersebut dan memakannya. "Kami bilang begini karena aku sama Hendra udah mengalami dua kali, Callista sama kamu belum tahu sih karena dari kami berdua memang enggak ada yang berniat cerita."

"Kejadian apa?" tanya kedua gadis itu kompak.

"Yang di musholla tadi lihat, kan? Si Hendra yang cuma mau buang air aja diganggu," balas Putra.

"Ada waktu itu juga, waktu pesantren kilat hari kedua. Aku ada bilang ini sama Callista di jalan tadi kalau enggak salah," gumam Hendra di akhir kalimat.

"Ada kok ada, tapi kamu cuma bilang mau cerita," sahut Callista mengiyakan.

"Nah, di situ kami ngecek toiletnya sesuai suruhan Dea. Awalnya enggak ada apa-apa, terus waktu kami mau keluar, pintunya tiba-tiba tertutup rapat dengan suara keras. Seolah-olah ada orang yang baru aja menghempaskan pintu itu," ucap Hendra. Callista dan Dea tampak fokus mendengarkan.

Putra pun menyambung, "Habis itu lampu mati nyala berkali-kali dan langsung mati total tanpa sebab di toilet itu. Terus, si Hendra juga sempat mau buka pintunya tapi tiba-tiba ada cakaran dan untungnya si Hendra sempat menghindar sebelum tangannya terluka."

"Terakhir, si Putra entah ditarik siapa. Dia ditarik ke belakang terus dihempaskan ke dinding toilet, bukan dinding betonnya, ya. Kalian tahu dinding pembatas antara satu toilet dengan toilet yang lain kan?"

"Tahu."

"Nah, Putra dihempaskan di situ dan kami enggak tahu siapa pelakunya. Untung aja ada satpam yang langsung bukain pintu dan kami langsung keluar." Dua respon berbeda ditujukan kepada Putra dan Hendra.

Callista tampak melongo tak percaya, sedangkan Dea mengerutkan keningnya dengan raut bingung. Keduanya memiliki pemikiran yang sama, sama-sama bingung ingin percaya atau tidak. Terdengar seperti cerita karangan tapi Hendra dan Putra bukanlah tipe cowok yang selalu suka mengarang cerita.

"Itu beneran kalian alami sendiri? Bukan karangan?" Callista memastikan seraya meminum es tehnya dengan sedotan.

"Ngapain ngarang? Kami bukan penulis," jawab keduanya kompak.

"Tapi kok bisa kejadian begitu, ya? Kalau ganggu sih, ya aku diganggu juga waktu itu pas awal-awal," gumam Dea. Ia memegangi lebamnya yang belum sembuh sama sekali.

"Entah dan karena itu sudah terjadi sama kami, lebih baik kamu enggak usah bantu hantu itu. Dia aja waktu itu cakar sama lempar batu di kepalamu, kan? Mana cakarnya tepat di lebammu lagi," tukas Hendra.

"Hantu merepotkan, udah ganggu orang sampai bikin luka, minta tolong lagi. Minimal tahu diri sih," sindir Putra pada hantu tersebut meski sosoknya tak ada di rumah Hendra.

"Putra, mulutnya," tegur Callista.

"Biarin." Tepat usai Putra menyahut, lampu rumah Hendra mendadak berkedip-kedip tak seirama dan membuat mereka berempat berusaha menajamkan insting kewaspadaan.

"Mulutmu harusnya lebih dijaga, Put,"  tegur Hendra dengan raut datar. Mereka berempat refleks berdiri dan saling membelakangi dengan posisi melingkar.

"Aku ngomong fakta, hantunya aja yang baperan," sahut Putra tak ingin disalahkan.

"Menunduk!" Seruan Dea terdengar cepat ketika sebuah kayu sepanjang tangan pria dewasa mengarah pada mereka.

Untung saja gadis itu sempat memeluk Callista dan memegangi kepalanya saat kayu tersebut menghampiri mereka. "A-apa yang terjadi? Tadi itu apa!?" tanya Callista panik.

Hendra pun memutuskan untuk berdiri dan melihat benda yang dilemparkan tadi. "Kayu? Tapi ... dari mana?" gumamnya seraya mengerutkan kening.

Kemudian kejadian rasanya terjadi begitu cepat hingga Hendra hampir lengah dan tak menyadari bahwa bahaya bisa saja datang dari orang terdekat.

"Hendra! Awas!"

Bersambung

Night Screams✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang