10- Garam

29 17 0
                                    

Embun pagi menguap perlahan di udara hingga menciptakan kabut yang cukup tebal di waktu dini hari pada saat ini, sebagian dari masyarakat telah beraktivitas sejak tadi setelah sholat subuh, tetapi ada juga yang masih tertidur setelah menunaikan sholat subuh.

Burung-burung beterbangan sembari berkicau mencari sarapan untuk dimakan pada pagi ini, tak lama setelahnya. Mentari pun terbit dari ufuk timur untuk menyinari bumi dan menggantikan tugas rembulan yang telah berjaga sepanjang malam.

Terbangun dengan perasaan terkejut dan langsung duduk sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing, gadis berambut panjang sepunggung itu menoleh ke sana kemari mencari sesuatu. Saat ia menemukan apa yang ia cari, ia pun menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan lega.

"Kukira cuma mimpi, ternyata ... pantes aja kayak nyata banget." Memegangi kepalanya yang terasa pusing, Dea pun beranjak dari kasur kemudian ia membereskannya.

Tadi malam saat ia pulang ke rumah, orang tuanya sudah datang. Tapi ia justru langsung pergi ke kamar agar tidak terlalu ditanya-tanya orang tuanya, meski mereka sempat bertanya kenapa Dea pergi keluar sendirian pada malam hari begini. Gadis yang ditanya justru hanya menjawab setengah-setengah dan langsung memasuki kamar.

Setelah membereskan kasurnya, Dea pun keluar dari kamar untuk mandi walau pun kepalanya masih terasa pusing karena tiba-tiba terbangun tadi.

👻👻👻

Menatap datar halaman rumahnya, gadis berambut panjang terurai itu mengambil segenggam garam di wadah yang ia pegang kemudian menaburkannya di sudut tiang rumah, mulutnya tentu tak diam. Bibir ceri gadis itu komat-kamit membaca sesuatu yang hanya dirinya dan Tuhan-lah yang tahu.

Selesai menaburkan garam kasar tersebut, ia memperhatikan sekelilingnya dan menemukan kayu yang tergeletak di hadapannya. Entah perasaannya saja atau memang semenjak hari itu selalu muncul berbagai macam kayu di sekitar rumahnya, bukan apa. Hanya saja ia merasa risih dengan hal tersebut dan sedikit takut karena terus 'diganggu'.

Ia pun membungkuk untuk mengambil kayu tersebut lalu membuangnya ke sembarang arah, ia berbalik dan netranya seperti menangkap bayangan putih berambut hitam dari jarak yang agak jauh, pria dewasa? Bapak-bapak mungkin? Tapi sedang apa dia di ujung sana seperti memperhatikan dirinya.

"Orang? Ngapain berdiri di sana waktu lagi panas begini? Aneh banget," gumamnya seraya mengerutkan kening.

Tak ingin ambil pusing, gadis itu pun masuk ke dalam rumah setelah selesai dengan kegiatannya dan mengunci pintu. Berharap setelah apa yang ia lakukan tadi, tak ada makhluk macam apa pun yang menggangu ketenangannya setiap hari, seharusnya sih tidak ada, apalagi di saat bulan Ramadhan seperti ini.

Mengambil sapu, gadis itu mulai membersihkan rumahnya untuk menghilangkan rasa bosan dan sambil bersenandung untuk menciptakan suasana yang tidak terlalu sunyi. Ia di rumah ini hanya tinggal bersama nenek dan kakeknya, sementara itu. Orang tuanya sedang berkerja di luar kota, jadi ia dititipkan di sini.

Tok tok tok

Melirik tajam ke arah pintu belakang ketika mendengar ketukan tersebut, gadis itu berusaha menghiraukannya. "Dasar pengganggu," gumamnya kesal sekaligus merasa risih.

Tok tok tok

Berdecak sebal karena merasa terganggu, Amanda pun meraih ponselnya yang berada di atas meja makan dan menyalakan murotal Al-Qur'an untuk menemani kegiatannya serta mengusir rasa takut. Dirinya yang tadi bersenandung lagu, kini mengikuti murotal Al-Qur'an yang ia setel di ponselnya, berharap gangguan itu segera menghilang.

Benar saja, ketukan itu tak lagi terdengar. Gadis itu pun menambah volume ponselnya hingga penuh agar ia tidak diganggu lagi.

👻👻👻

"Pak, beli bakpaonya lima. Tiga isi ayam, dua isi coklat."

"Buset, banyak bener, neng. Sebentar, ya."

"Oke." Bersenandung kecil seraya menunggu pesanannya dibungkus, gadis dengan rambut kecoklatan bergelombang yang berada di sampingnya tiba-tiba mencolek sikunya.

"Banyak banget kamu beli bakpao, enggak habis uangmu?" tanya Callista. Gadis itu menaikkan salah satu alisnya.

"Enggak, bapakku sering ngasih aku uang lebih buat beli makanan," ungkap Dea. Ia tersenyum sumringah saat pesanannya sudah dibungkus dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

"Enak bener yang bapaknya kagak sibuk, aku kapan coba digituin," gerutu Callista merasa iri. Tentu saja, meski ia dan Dea sama-sama tercukupi kebutuhannya.

Tapi Callista tetap saja merasa iri dengan Dea, ayahnya selalu sibuk bekerja sampai kurang memperhatikannya. Berbeda dengan Dea, ayah temannya itu juga bekerja. Tapi tetap bisa memperhatikan Dea, itulah mengapa terkadang Callista merasa iri dengan temannya itu.

"Nanti juga digituin kok. Oh, iya, kamu tahu enggak? Tadi malam kan aku ke sekolah buat ngambil tas ku di ruang multimedia, terus tiba-tiba ada yang menjerit dan pukul-pukul pintu toilet laki-laki dari dalam." Mendengar cerita Dea, membuat Callista semakin fokus mendengarkan.

Gadis penyuka bakpao itu pun melanjutkan, "Pas aku datangi, pintunya mendadak terbuka dan aku tuh hampir dipukul pakai kayu cok! Untung aja aku sempat menghindar terus kulempar batu."

"Yang pukul kamu pakai kayu siapa?" tanta Callista penasaran.

"Enggak tahu, seingatku sih antara memang kayunya melayang sendiri atau aku enggak liat orangnya."

"Eh, sumpah!? Kamu enggak berhalusinasi kan? Lagian kamu kayak enggak ada waktu lain aja buat ngambil tas."

"Sekolah ditutup terus kalau liburan, Call. Ya, kali enggak kuambil sampai masuk sekolah."

"Enggak salah sih, tapi cerita yang tadi enggak lo karang kan?"

"Ngapain sih aku ngarang cerita? Aku mah bukan penulis."

"Terus kalau udah gitu, kamu habis ini mau apa?"

"Apa lagi? Ya, ke sekolah lagi-lah."

"Cok!? Kagak! Kagak boleh! Kukasih tahu emak sama bapakmu, mampus kamu!"

"Bodo amat sih, aku telanjur penasaran. Pokoknya jangan bilang siapa pun malam ini."

"Tapi, De-"

"Papay~ aku masuk dulu." Meninggalkan Callista begitu saja di depan pintu rumahnya, gadis dengan rambut coklat bergelombang itu hanya bisa berdecak kesal dan merasa cemas dengan sahabatnya itu.

Bagaimana kalau Dea kenapa-kenapa dan ia tidak tahu sama sekali? Kondisi sekolah saat malam itu sangat gelap dan tidak ada penerangan sedikit pun, bahkan bisa disamakan dengan rumah hantu.

Menggigit jari telunjuknya dengan raut cemas, Callista bergumam sendiri, "Dea nyebelin! Suka bener nekat dan bikin orang cemas."

Bersambung

Night Screams✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang