23- Satu Pembicaraan

14 11 0
                                    

Berhenti di depan pekarangan rumah bergaya minimalis dengan cat berwarna abu dan putih, Callista turun dari motor yang dikendarai ayahnya dan menyalami tangan pria paruh baya tersebut sebelum berpamitan.

"Nanti kalau udah mau pulang, telepon ayah, ya."

"Iya, ayah." Pria itu pun kembali mengendarai motornya untuk meninggalkan pekarangan rumah Amanda, setelah sosok ayahnya hilang dari pandangan Callista.

Callista pun berbalik dan berjalan perlahan sambil mengamati rumah Amanda untuk pertama kalinya, tadi sebenarnya ia ingin berangkat ke sini sendirian. Tapi ia tak menyangka jika ayahnya sudah pulang dari kerjaannya di luar kota, jadilah ia mengurungkan niatnya untuk mengendarai motor sendiri dan menuruti kemauan ayahnya.

Memencet bel rumah sekali, Callista menunggu beberapa detik hingga terdengar derap langkah kaki dari dalam rumah dan pintu dibuka. Seseorang yang ditunggu pun menampakkan dirinya dengan penampilan yang terlihat berbeda.

Amanda mengenakan piyama berwarna abu-abu polos dan mengikat rambutnya seperti ekor kuda. "Kukira kamu datangnya lama, ayo masuk. Aku lagi sendirian, orang-orang di rumah pada keluar," ucap Amanda. Ia berbalik dan berjalan lebih dulu ke dalam rumah.

Callista pun mengangguk patuh, gadis itu melepaskan sendal yang ia gunakan dan menaruhnya di rak samping pintu rumah Amanda. Lalu memasuki rumah tersebut dan tak lupa mengunci pintu, ruangan di dalam rumah Amanda begitu rapi dan bersih.

Amanda mempersilakan Callista untuk duduk di sofa ruang tamu, sedangkan ia ingin mengambil sesuatu lebih dulu. Callista hanya menurut, ia datang ke sini tak memberitahu Dea atau pun yang lainnya. Ia berpikir akan mengumpulkan informasi terlebih dahulu, kemudian memberitahu pada teman-temannya saat dirasa informasi yang ia dapatkan sudah cukup.

Tak lama kemudian, Amanda datang dengan berbagai macam camilan di tangan dan menaruhnya di atas meja. Ia pun duduk di sofa depan Callista dan membuka salah satu camilan. "Makan aja, aku masih punya banyak. Kita santai aja bahas ini, ya," ucap Amanda seraya tersenyum manis.

👻👻👻

Menatap dirinya di pantulan cermin, Dea rasa wajahnya cukup terlihat buruk saat ini. Lebam di pipinya memang sudah mulai memudar karena ia rutin mengobatinya, tapi bekas cakaran makhluk halus tersebut masih ada dan bahkan mengering, ia juga sudah beberapa kali mengupasnya.

Selain itu, luka di kening dan kelopak matanya pun belum sembuh. Dea mengembuskan napas pasrah, terkadang ia juga heran dengan diri sendiri, kenapa ia nekat melakukan hal berbahaya hingga tak memedulikan keadaannya sendiri?

"Kapan sembuhnya, ya? Perih banget setiap kena air," gumam Dea lesu. Ia menyentuh pelan lebamnya dan refleks meringis.

Bangkit dari kursi di depan meja riasnya, Dea menjatuhkan dirinya di atas kasur sembari memeluk guling dan memandangi ponselnya yang bercahaya rendah. Ia membaca isi map yang sempat difoto dan dikirim Callista sepulang sekolah tadi, ia benar-benar penasaran.

Siapa yang membuat map itu dan apa tujuannya? Lagi pula, jika dipikir menggunakan logika, orang atau sekolah mana yang ingin sebuah rahasia terbongkar begitu saja dan hanya diletakkan di dalam lemari? Dea dan Hendra menemukan map waktu itu di dalam lemari kelas dan terhalang di belakang jejeran buku lain, sehingga tidak kelihatan.

"Pengen bahas ini, deh. Telepon mereka bertiga aja deh." Mengeklik simbol telepon di pojok kanan atas ponselnya, Dea pun menunggu panggilannya terjawab.

Dua menerima, satu menolak. Tunggu! Callista menolak panggilannya? Kenapa? Tumben sekali, apa ada suatu hal yang penting sampai-sampai gadis itu menolak panggilannya? Ya, sudahlah. Ia bicarakan ini dengan Hendra dan Putra saja.

Night Screams✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang