Bab 11

5.2K 366 30
                                    

Happy Reading!

Arin bangun lalu melihat keadaannya yang berantakan. Tubuhnya benar-benar lengket dipenuhi oleh cairan Magadha Ji. Belum lagi pakaiannya yang berserakan dan tubuhnya yang remuk redam. Biasanya setelah menyentuhnya, Magadha Ji tidak pernah meninggalkannya dalam kondisi seperti ini.

"Akh" Arin merintih saat perut besarnya bergejolak hebat. Gerakan-gerakan kasar ia terima secara bertubi-tubi. Bahkan ada banyak kaki kecil yang muncul dipermukaan kulit perutnya.

Arin segera mengusap perutnya berharap ketiga bayi yang ia kandung tidak bergerak gelisah lagi.

"Mama mohon, mama harus melakukan sesuatu."ucap Arin memelas dan untungnya ketiga bayi yang ia kandung langsung tenang.

Arin menghela napas lega lalu bergerak turun dari tempat tidur dengan hati-hati.

"Aku harus bicara dengan mas Haris."gumam Arin lalu segera mengambil pakaian yang ada di lantai lalu mengenakannya.

Arin keluar dari kamar dengan langkah tertatih namun ia tetap memaksakan diri.

"Mas Haris."panggil Arin dengan satu tangan memeluk perut dan satu tangannya lagi di pinggang.

"Ugh.. Mas Haris."panggil Arin lagi sambil menahan beban perutnya yang terus saja membesar secara tidak normal.

Arin berhenti sesaat saat melihat suami dan ibu mertuanya justru sarapan dengan tenang. Keduanya bahkan berbincang seolah tidak terjadi apapun.

Dengan langkah cepat, Arin segera memasuki ruang makan.

"Kamu gila, mas. Bisa-bisanya kamu biarkan aku disentuh oleh pria lain."bentak Arin lalu mengambil piring berisi ikan kemudian melemparnya ke lantai hingga pecah.

Brakk

Plakk

Haris menggebrak meja karena kesal lalu segera melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah Arin.

Brukk

Tubuh Arin langsung terjatuh dan perutnya menghantam lantai dengan keras. Ia langsung menjerit keras karena merasa sakit.

Astuti langsung berdiri. "Bukannya Magadha Ji datang untuk mengambil tumbal, lalu kenapa ia masih hidup?"

Arin langsung menoleh. Ternyata apa yang dikatakan oleh Magadha Ji benar. Suami dan ibu mertuanya ingin menjadikan ia dan tiga bayi yang dikandungnya sebagai tumbal.

"Tidak tahu, mah. Aku pikir ritualnya tadi malam. Tapi sepertinya Magadha Ji belum melakukannya."ucap Haris lalu bergerak dan menarik tangan Arin yang sedari tadi terus merintih memegang perutnya.

"Mas tolong akhhhh.. Mas Haris!"jerit Arin saat tangannya ditarik dan tubuhnya diseret keluar dari ruang makan.

Astuti melangkah mengikuti lalu membuka sebuah ruangan yang cukup gelap. Hanya ada satu lilin yang menerangi ruangan tersebut.

Brukk

Tubuh Arin langsung saja didorong kehadapan sebuah lukisan hingga sesuatu yang hangat keluar dari daerah intimnya.

"Sakitt arghh.."jerit Arin memeluk perut besarnya. Ia berusaha bangun dan memeriksa kakinya dan ternyata ketubannya pecah.

Arin menggeliat kesakitan hingga matanya tak sengaja melihat lukisan yang ada dihadapannya. Itu adalah lukisan Magadha Ji dengan sosok menyeramkannya.

"Arghh hhh sakitt"rintih Arin lalu menatap suami dan ibu mertuanya yang kini duduk dihadapan lilin dan merapal mantra.

Seketika Arin mengingat perkataan Magadha Ji bahwa ketiga anaknya harusnya menjadi tumbal tapi tidak bisa karena anak yang ia kandung adalah keturunan dari Magadha Ji langsung. Arin juga tahu jika saja ia benar mengandung anak dari suaminya maka tadi malam harusnya ia sudah mati menjadi tumbal.

Dengan rasa sakit yang melandanya, Arin langsung menatap ke arah lukisan Magadha Ji.

'Magadha Ji, aku mohon tolong aku dan anak kita. Aku ingin kamu membunuh suami dan ibu mertuaku. Tolong bunuh mereka dan aku akan menyerahkan diriku untuk menjadi milikmu.' batin Arin memohon. Karena ia tahu bahwa Magadha Ji bisa mendengar suara hatinya. Arin terus mengulangi perkataannya hingga lukisan dihadapannya terbakar dan keluarlah sosok besar hitam berbulu dengan mata menyala dan gigi bertaring menyeramkan.

Haris dan ibunya langsung saja bersujud.

"Magadha Ji, aku memanggilmu untuk menyerahkan tumbalku."ucap Haris membuat Arin yang sedang berbaring dengan perut besarnya hanya bisa menggeleng dan menangis keras.

"BAWA TUMBALKU KE SINI!"

Haris segera saja bangun lalu menarik tubuh Arin sekali lagi. Ia menyeret tubuh wanita yang akan melahirkan itu dengan kuat hingga tepat berada dihadapan sosok besar Magadha Ji.

"Ini adalah tumbalmu, Magadha Ji."ucap Haris yang kembali bersujud.

"HAHAHAHAHA"

Sosok menyeramkan itu tertawa lalu kemudian merubah wujudnya menjadi seorang pria tampan.

Arin yang sedang kepayahan karena akan melahirkan hanya diam saat sosok tampan Magadha Ji mendekat padanya lalu menyentuh perut besarnya.

"Ughh" Arin menjerit lalu meremas tangan Magadha Ji dengan kuat kemudian menatap sosok itu bingung karena rasa sakit yang ia rasakan tiba-tiba saja menghilang.

'Bunuh mereka untukku, Magadha Ji!' batin Arin meminta.

'Tapi ada hal yang harus kamu korbankan untuk itu.' Magadha Ji bicara namun hanya Arin yang mendengarnya. Sedang Haris dan ibunya seperti tak mengetahui apapun.

'Aku menerima apapun resikonya.' balas Arin dan seketika itu juga langsung terdengar suara petir yang begitu kuat dan semburan api muncul dari dinding ruangan itu.

Magadha Ji langsung menggendong tubuh Arin lalu perlahan menghilang sedang Haris dan ibunya tetap diposisi mereka hingga ruangan itu habis terbakar.

Bersambung

MAGADHA JITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang