Chapter 7

89 6 0
                                    

Selama mengikuti mata pelajaran lanjutan setelah jam istirahat, sampai waktu pulang sekolah, Lika sama sekali tidak fokus. la lebih banyak termenung. Memikirkan kata-kata pedas yang dilontarkan Kensa. Hatinya masih terasa nyeri setiap ingatan itu terulang di memory kepala.

Lika kesal, sangat kesal. la jadi membenci wali kelasnya itu. Lika sadar, ia memang kurang nyambung di pelajaran matematika, tapi tak juga harus diperjelas dengan mengatainya demikian.

"Aaaa benci banget gue sama dia, Sen!"

Di kelas dua IPA satu, hanya tersisa kedua gadis yang bersahabat itu. Lika meletakkan kepalanya ke meja sambil merengek dan menghentak-hentakkan kaki di bawah meja.

Sena yang sudah mendengar pengakuan dari Lika soal dirinya yang dimarahi Kensa, lantas menghela napas panjang. Menurutnya, ungkapan Kensa menang terdengar kasar. Jadi wajar jika sahabatnya sampai tersinggung dan bersikap reog seperti sekarang ini.

Sena pun jadi bingung harus mengatakan apa. Dia tidak mau memanas-manasi Lika dengan ikut menjelek-jelekkan Kensa. Karena yang ada Lika hanya akan semakin jengkel.

"Sabar, Lik, sabar. Lo tenang aja. Gue akan bantu lo cari bunga-bunga yang diminta sama Pak Kensa. Oke?" Sena merangkul Lika.

Lika mengangkat wajahnya lalu menoleh pada Sena. "Makasih, Sen. Tapi, bukan itu masalahnya. Gue tuh sakit hati banget tahu sama ucapannya itu! Kok ada sih orang yang kalau ngomong nggak mikir perasaan orang! Apa lagi dia kan guru!"

Sena menghela napas. "Mungkin memang kayak gitu cara Pak Kensa buat anak didiknya supaya mau belajar, Lik. Sebagian orang kan ada yang nggak suka basa-basi dan langsung to the point. Udah lah, lupain aja. Anggap aja ucapan Pak Kensa itu angin lalu,"

Lika mendengus seraya kembali duduk tegak. "Kok lo bela dia sih, Sen?"

"Gue nggak bela Pak Kensa, Lik. Tapi, dari pada kita omongin dia, mending gue ngomong gini, kan? Memangnya lo terima kalau pahala dari ibadah yang lo lakuin ditransfer buat Pak Kensa?"

Lika melunak. la menghembuskan napas berat. Sena benar. Apa gunanya membicarakan Kensa lagi? Sampai berbusa mulut Lika pun membicarakan pria itu, ia juga tetap tidak bisa merubah sikap ketus dan dingin Kensa.

"Makasih, Sen." Lika menatap Sena dengan mata berkaca-kaca.

"Sini peluk!" Sena merentangkan kedua tangannya.

Lika tersenyum manja, lalu menghambur memeluk sahabatnya. "Bersyukur banget gue punya elu, Sen."

"Gue juga, Lik. Ya meskipun kadang-kadang lo itu nyebelin,"

"Sena!"

"Hahaha becanda gue!"

Lika menarik diri dari Sena lalu bangkit dari kursi. "Ke rumah nenek gue, yuk."

Sena mengangguk seraya tersenyum kecil. Kemudian ia pun menyusul bangkit. Sambil bergandengan, kedua gadis itu bersamaan keluar dari kelas. Menyusuri koridor, tak lama mereka sudah tiba di depan kantor.

Melewati pintu kantor, Kensa tiba-tiba keluar. Ketiga orang itu jadi tak sengaja berpas-pasan. Lika kaget, ia langsung menunduk. Lalu menarik lengan Sena untuk segera beranjak dari hadapan Kensa, sebelum pria itu mengeluarkan kata-kata keramat yang membuat hidung Lika kembang-kempis.

Jika Lika terlihat menghindari Kemsa, lain halnya dengan Sena yang langsung menyapa pria itu.

"Pak,"

Hal tersebut membuat Lika berdecak. Lalu merutuki perbuatan Sena di dalam hati. Kensa hanya tersenyum tipis membalas sapaan dari Sena.

"Lo ngapain sih? Dicuekin kan lo!" bisik Lika ketika mereka sudah melewati Kensa.

Gadis Kecil Milik Kensa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang