Keluarga Altama berkumpul di ruang tengah dimana ada Astalian, Jeremy, Marvin, dan Felisha berada. Sesuai kesepakatan tempo hari, ketika Astama Fair selesai—keluarga tersebut akan membicarakan hal serius. Terlebih Astalian yang sudah siap untuk jujur.
"Sejak kapan kamu berani membohongi Papa, Asta?"tanya Jeremy membuka pembicaraan keluarga di malam ini.
Astalian terperanjat kaget. Ia menatap ke arah Papanya yang memandang penuh tanya. Sejenak ia hela nafas dan berusaha menghilangkan rasa gugup yang mulai menjeratnya. "Aku minta maaf. Sebenarnya hari ini aku ingin jujur soal semua hal yang saat ini Papa pertanyakan."
"Sekarang jelaskan. Papa akan dengarkan,"ucap Jeremy mempersilahkan Astalian.
Astalian mengangguk. "Papa ingat waktu pembahasan pernikahan saat makan malam bersama keluarga Lavelyn? Setelah acara makan malam itu, Lavelyn dan Serena bertengkar hebat karena Asta. Dari kejadian itu, Serena nggak masuk kerja beberapa hari. Asta tergerak untuk cek keadaan Serena sekaligus minta maaf atas kejadian di malam itu. Hari itu bertepatan dengan jadwal fitting baju pernikahan dan Asta bohong sama Lavelyn. Saat Asta sampai di rumah Serena, ada tetangga sekitar sana yang bilang kalau Serena seringkali mendapat siksaan dari Ayah dan Ibu Tirinya."
"Hal itu jelas membuat jiwa kemanusiaan Asta terguncang untuk membantu. Apalagi setelah dengar teriakan Serena di dalam rumah. Mengejutkannya, Mama Tiri Serena itu Mama Hana. Mama aku, Kak Marvin, dan Atsa. Aku lihat Serena udah nggak sadarkan diri dengan banyak luka dan darah. Mama berusaha menghalangi Asta yang akan bawa Serena ke rumah sakit dan sempat mencekik leher Asta. Beruntungnya, Asta berhasil lepas dari Mama dan segera menyelamatkan Serena. Dari situ awal mula Asta punya perjanjian sama Serena dengan membelikan dia sebuah apartemen dan mobil. Perjanjian itu juga yang buat Serena rahasiakan soal trauma yang Asta punya dari Lavelyn. Besok Mama dan Ayah Serena pergi dari Indonesia."
Jeremy tersenyum kecut. Begitu besarnya rahasia ini Astalian tutupi darinya. Semua itu Astalian hadapi sendirian tanpa bantuannya. "Nak, Papa paham niat kamu baik membantu Serena. Tetapi, kalau itu hanya membuat kamu jadi seorang pembohong. Tentu nggak akan baik untuk dirimu sendiri dan orang di sekitarmu. Sekarang, Papa tanya. Untuk apa kamu berencana membuat Mama dan Ayah Serena pergi dari negara ini?"
"Ya, supaya Mama nggak ganggu kehidupan aku lagi. Mama nggak nyakitin Serena. Hanya itu Pa tujuan aku. Aku pengen hidup tenang tanpa harus ingat bayangan ucapan menyakitkan Mama sewaktu aku masih kecil. Aku pengen sembuh dari Trauma itu, Pa. Itu semua sudah mulai bisa aku kendalikan karena adanya Lavelyn. Terus aku harus biarin Mama tetap ada di sini gitu? Nggak akan, Pa."
Marvin meremas kuat kedua tangannya. "Tetapi, bertindak dengan gegabah nggak akan bikin rencana lo berjalan dengan mulus! Harusnya lo bilang sama gue dan Papa. Jangan bertindak sendirian Asta! Gue paham lo nggak mau lagi berurusan sama Mama. Nggak gini caranya. Kalau seandainya Mama pulang gimana?"
"Nggak akan, Kak. Mama dan Ayah Serena akan hidup di negara terpencil tentunya dengan pengawasan orang suruhan gue,"ucap Astalian dengan yakin.
Marvin tertawa sinis. "Jangan bodoh, Asta! Lo tinggal bawa Mama ke penjara. Apa susahnya? Daripada harus mengasingkan Mama ke negara terpencil. Sewaktu-waktu bisa saja orang suruhan lo lengah dan membuat Mama mengganti identitas terus pulang ke Indonesia. Zaman sudah canggih. Otak lo kenapa nggak berpikir ke depan, hah?!"
"Kak, gue lakuin semuanya bukan untuk ego semata. Tetapi, untuk keamanan kita semua. Gue nggak mau Mama jadi pengganggu hubungan gue dan Lavelyn. Gimana kalau misalnya Kak Felisha di serang sama Mama. Apa lo bakalan tetap pada pendirian untuk bawa Mama ke penjara?!"
"CUKUP!"
Jeremy menghembuskan nafas, kemudian menatap secara bergantian ke arah Astalian dan Marvin. "Bicara yang baik. Jangan pakai emosi. Bisa?"
"Asta, nggak semudah itu melakukannya. Kamu mau hidup terus mengurung Mama seperti itu? Bagaimanapun, dia Mama kamu. Papa paham kamu tidak ingin Mama menjadi pengganggu dalam hubunganmu dengan Lavelyn atau sewaktu-waktu Mama mencelakai kamu. Tetapi, akan lebih baik kamu bicarakan ini semua bersama Papa dan Kak Marvin,"ucap Jeremy.
Astalian menunduk. "Maaf, Pa. Aku terlalu gegabah mengambil tindakan sebahaya ini tanpa berkomunikasi dulu. Aku terlalu panik, Pa. Aku sengaja ngurung Mama dan Ayah Serena karena waktu itu Mama nyerang Serena lagi. Aku nggak mau itu berimbas menyerang ke Lavelyn, Papa, Kak Marvin, bahkan Kak Felisha. Aku nggak mau itu terjadi."
"Kita hadapin semuanya bersama. Sekarang lo cukup kasih tahu dimana keberadaan Mama dan Ayah Serena ke kita,"ucap Marvin.
Astalian tersenyum simpul. "Di rumah kosong tempat dulu kita tinggali."
"Oke, biarkan Papa dan Kak Marvin yang urus masalah Mama dan Ayah Serena. Sekarang, kamu hanya cukup menenangkan diri dan jujur sama Lavelyn. Selesaikan juga urusanmu dengan Serena. Paham?"
Astalian mengangguk. "Makasih, Pa."
"Lain kali, tolong cerita sama kita. Gue dan Papa bukannya nggak percaya sama kemampuan lo dalam menyelesaikan masalah. Cuma, semua hal tentang Mama juga jadi urusan gue dan Papa. Makasih ya. Sampai hari ini lo kuat menghadapi semuanya. Semoga hubungan lo dan Lavelyn segera membaik. Gue percaya sama lo, Asta."
Astalian mendekap erat tubuh Marvin. "Makasih, Kak. Lo selalu percaya sama gue. Nggak pernah ninggalin gue. Maaf, ini semua gara-gara gue. Coba aja dulu gue bisa hati-hati sama orang asing. Pasti Atsa nggak akan di bunuh. Pasti Mama nggak akan segila ini sampai menyiksa Serena dan membahayakan keluarga kita."
"Bukan salah lo. Ini semua terjadi di luar kendali kita. Hal terpenting sekarang, lo fokus sama kehidupan bersama Lavelyn. Jangan sia-siakan dia lagi. Gue mau lo bahagia, Asta. Pasti di surga sana, Atsa juga inginkan hal yang sama. Melihat lo bahagia,"ujar Marvin tersenyum simpul.
Jeremy menepuk pundak Astalian dan Marvin. "Jagoan sudah sudah besar semua. Papa bangga pada kalian. Terus saling menguatkan ya? Papa ingin kalian berdua menemukan kedamaian dan hidup bahagia bersama perempuan yang di cintai."
"Makasih, Pa. Nggak pernah ninggalin aku dalam keadaan apapun. Nggak pernah membenci aku atas ulah aku sewaktu kecil. Maaf ya, Pa? Asta masih saja memberi luka di hidup Papa. Maaf Asta nggak bisa menyelamatkan Atsa waktu itu. Maaf Asta udah menyebabkan keluarga kita hancur. Membuat Mama pergi dari hidup kita. Membuat Mama benci sama aku dan berusaha menghancurkan keluarga ini. Maafin Asta, Pa. Maaf,"lirih Astalian dengan air mata yang sudah deras mengalir di pipinya.
Jeremy menepuk puncak kepala Astalian. "Nggak, Nak. Kamu tidak perlu minta maaf. Bukan salah kamu atas segalanya. Makasih ya sudah bersabar menghadapi semuanya? Papa minta maaf sudah memberikan luka yang amat menyakitkan semasa hidupmu. Kita hadapi semuanya bersama-sama. Bahagia ya, Nak? Hanya dengan itu, Papa akan turut bahagia. Kamu pantas bahagia Asta. Nggak ada yang boleh menghalangi kebahagiaan kamu."
"Lo hebat, Asta,"gumam Felisha menepuk pundak Astalian dengan matanya yang sudah berkaca-kaca.
Keempat anggota keluarga tersebut saling memeluk dan memberi dorongan positif. Mengucapkan mantra bahagia satu sama lain dengan mata berbinar. Sudah sepatutnya semua hal dilalui bersama dengan keluarga. Tidak ada yang boleh merasa paling bersalah dan paling merasa tersakiti. Mungkin, tidak semua masalah bisa dengan mudah teratasi. Tetapi, dengan dukungan keluarga semuanya bisa dilewati dengan senyuman.
...
Astalian sudah jujur dengan keluarganya. Giliran jujur sama Lavelyn nih hehe
Ada saran kah untuk ceritanya?
Apa kalian setuju kalau Mama Astalian dan Ayah Serena masuk penjara?
Kalau nggak setuju, apa alasannya?
Terus nantikan ceritanya ya. Maaf part ini kurang ngefeel.
* Published on May 24th, 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Cowok Idaman!
FanficIni kisah Lavelyn mengejar lelaki idaman yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Namanya Astalian Altama. Laki-laki yang bahkan tidak pernah menatap ke arahnya, tidak ingin di sentuh, irit bicara, dan selalu memejamkan mata setiap berhad...