Chapter 9 | Clubbing

15.2K 127 4
                                    

Briana: Aku gak pulang, nginep di rumah Ivy.

Om Galahad: 👍

Aku lantas berdecih melihat balasan singkat dari Om Galahad. Setelah pertengkaran sengit kemarin, kami berdua memang belum bicara lagi. Dan pulang sekolah ini aku memutuskan untuk ikut ke apartment Ivy.

Aku, Ivy, Sesha dan Tristan memang berencana untuk clubbing. Kami berempat akan menjadi tamu tambahan di club langganan Kak Jeremiah. Meskipun aku pernah beberapa kali clubbing, namun ini pertama kalinya aku datang ke tempat tersebut.

Yang aku dengar sih clubnya cukup ekslusif. Kalau ingin datang harus menjadi member dulu. Dan yang paling utama harus kaya, karena tarif di layanan reguler saja sudah menyentuh 1 digit. Jadi kebanyakan pengunjung di sana jelas orang berada.

Tapi untungnya mereka punya layanan additional guest. Jadi member seperti Kak Jeremiah bisa membawa satu tamu tambahan dengan ketentuan biaya yang berlaku. Sesha bersama Kak Jeremiah, sedangkan aku, Ivy, dan Tristan masing-masing dengan temannya yang lain.

Karena tahu clubnya lumayan fancy maka aku memakai gaun yang sesuai dengan ketentuan dress code. Sebuah dress putih berplisket sebatas paha, dengan stocking socks hitam yang membalut kaki jenjangku dan sarung tangan leather diatas sikut. Rambutku dibiarkan tergerai dengan kalung choker berlogo Chanel yang melilit leher jenjangku.

Begitu sampai di club aku nyaris terpana melihat seberapa mewah tempat tersebut. Temanya lebih ke dark club yang kalem dan elegan. Padahal biasanya kami clubbing di tempat yang tidak murah-murah amat, tapi tempat ini jauh melampaui kata mewah.

Pengunjung yang kudapati di sini rata-rata dari kalangan pebisnis, karyawan bergengsi dengan gaji diatas dua digit, keluarga konglomerat bahkan para ekspatriat. Mereka terlihat bening dan elegan dengan aura dolar yang begitu kentara.

Dan ya, teman-teman Kak Jeremiah yang lain, hampir semua dari mereka masuk ke dalam kriteria amat sangat tampan. Seperti star-boy dengan pesona cassanova. Yah, mahasiwa pelita harapan memang tak pernah ada yang gagal.

Selain rupawan jelas isi dompetnya tebal. Ingatkan aku kalau biaya semester di prodi UPH yang paling murah saja berkisar 40 jutaan. Apalagi mereka ini para mahasiswa dari fakultas hukum.

Tapi tahu apa yang paling menyebalkan dari semua itu? Bahwa aku harus melihat orang yang paling aku kenal di sana. Dari banyaknya tempat bahkan waktu yang berbeda aku masih tak paham kenapa harus bertemu dengan Om Galahad di sini sekarang.

Ia bersama teman-temannya duduk di salah satu opentable ekslusif. Para pria dewasa penuh karismatik macam om-om senoparty. Mereka menikmati malam dalam cengkrama hiruk piruk, dengan meja yang diisi berbagai botol wine tua dari set menu VIP.

Tapi tidak, bertemu dengan Om Galahad bukanlah bagian menyebalkannya. Melainkan karena aku melihat Tante Yasmin. Ia satu-satunya wanita diantara para pria dewasa itu.

Gilanya lagi ia tak punya malu duduk di pangkuan Omku, membiarkannya mencupangi leher di depan teman-temannya yang lain. Bukannya malu, ia justru terkekeh-kekeh sok seksi. Si Yasmin ini benar-benar ya, dasar kucing betina.

Aku yang niatnya ingin langsung bergabung ke dance floor akhirnya berakhir duduk di bar sendirian. Hatiku panas sekali sampai-sampai aku tak sadar sudah mengisi cangkir whiskey yang ketiga dalam 10 menit terakhir.

Tapi tenang saja, aku memang peminum yang cukup kuat. Beberapa cangkir tidak mempan membuatku mabuk.

Hingga akhirnya aku memutuskan untuk menyusul teman-temanku yang lain di dance floor. Tidak, aku tidak mau berakhir menyedihkan dengan mabuk dan terus merutuk. Bagaimana pun caranya malam ini aku harus bersenang-senang.

Bad TensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang