2. Yuna: Air Mata Tersembunyi

8 2 1
                                    

Aku merasa kecewa berat sebab kerja kerasku mengerjakan tugas Sosiologi dengan sistem kebut semalam terasa sia-sia. Aku telah menulis hingga tinta pulpenku habis dan tidak jadi dikumpulkan hari ini, padahal aku mengerjakannya sampai tidur terlalu larut. Pagi ini aku baru membaca pesan dari Eka yang mengatakan kalau kbm ditiadakan selama sua hari. Sekolah secara khusus memberikannya agar para murid kelas 10 dan 11 bisa menonton pagelaran seni yang dibuat oleh kelas 12 agar tidak menganggu proses kbm. Pagelaran seni merupakan ujian praktek mata pelajaran Seni Budaya, itu artinya di kelas 12 nanti aku pasti akan kebagian.

Hari ini aku berangkat agak siang, dengan menggunakan tas kecil yang hanya berisi dompet dan beberapa make-up yang biasa kubawa. Meski kubilang make-up, yang kubawa hanya tabir surya, bedak, lip tint, dan lip balm. Aku melewati gerbang kedua yang langsung mengarah ke lapangan, semakin terlihat murid-murid yang sama tidak niatnya denganku. Kemudian seseorang menabrakku dari belakang, membuatku hampir kehilangan keseimbangan. Cewek ini sepertinya sengaja memanfaatkan tinggi badannya dan mengistirahatkan lengannya di bahuku.

"Ish! Ntar aku tambah pendek!" aku menyentakkan lengan Eka menjauh.

"Yakali! Oh iya, tumben kamu berangkat siang. Karna gak ada kbm?"

"Karna aku begadang ngerjain Sosiologi tapi ternyata gak dikumpulin hari ini." balasku malas. Aku melihat bagian bawah mataku yang menggelap saat bercermin tadi akibat hanya tidur selama empat jam.

"Lebay, aku juga baru tidur jam 4, tetap keliatan segar kan." Eka mengejekku, lagi-lagi mengistirahatkan lengannya di bahuku. Aku mendengus, aku tahu dia maraton drama korea sampai subuh, karena dia baru mengingatkanku tentang pagelaran pada pukul satu dini hari.

Sesuai dugaan, banyak wajah yang tidak tampak di kelas pagi ini. Ruangan kelas terlihat chaos dengan meja dan kursi yang berantakan, anak kelas yang menggelepar di lantai seperti ikan yang tengah dijemur, dan speaker kelas yang memutar lagu Domba Kuring yang sedang ramai diperdengarkan di Indonesia, atau setidaknya di tanah Pasundan ini.

Tak lama, bel berbunyi menarasikan perintah untuk para murid segera memasuki kelas dan belajar. Namun, bisingnya orang-orang di lapangan mengalahkan suara bel tersebut. Setelah itu seorang guru kesiswaan meminta seluruh murid sekolah ini untuk berkumpul di aula dan menikmati pertunjukan kakak kelas kami. Pagelaran yang dipertunjukkan masing-masing kelas terlihat luar biasa, persiapannya pasti dilakukan sejak jauh-jauh hari.

"Itu Téh Kania! TÉH KANIA!!!" Eka bersorak tepat di samping telingaku, memberikan dukungan terbaik pada kakak kelasnya. Rela kehabisan suaranya akibat beradu dengan sorakan penonton lain. Namun, tak berselang lama Eka terlihat kelelahan. Aula ini meskipun luas tapi terasa pengap karena banyak manusia memenuhi tempat ini, bahkan tetap panas walaupun semua pintu terbuka lebar.

Eka mengajakku ke kantin, berniat ngadem dan membeli minuman karena tenggorokannya kering akibat menyoraki kakak kelasnya tadi. Bahkan dari tempat ini masih terdengar hebohnya aula. Kondisi kantin juga lumayan penuh, ternyata banyak juga yang tengah ngadem di sini dengan minuman dingin mereka. Meski demikian, di sini terasa lebih baik dibandingkan di aula yang pengap, kantin ini dapat dilewati angin sepoi-sepoi yang menyejukkan setiap orang yang duduk di sini.

Eka mengambil sekotak teh, dan sebotol soda untukku. Setelah membayar, kami mencari tempat di balik gedung kelas karena tempat duduk di kantin sudah penuh. Kami duduk di undakan setinggi paha yang mencuat dari tebok, seolah memang dibuat untuk diduduki. Tempat ini juga tidak sepi, beberapa orang duduk di tempat yang sama denganku. Bahkan ada Fanny dan Randy, sejoli paling ikonik di 10 IPS 1. Aku dan Eka memilih tidak mengganggu keduanya dan mengobrol saja berdua di tengah suara orang-orang.

"Setelah hampir dua bulan sekolah sini, overall menurut kamu gimana?" Eka bertanya setelah seruputan terakhirnya menimbulkan bunyi nyaring.

"Sejauh ini aman aja, sih. Aku suka karena aturannya gak ketat, si sekolahku dulu semua cewek yang rambutnya panjang harus diikat. Di sini jarang ada razia juga, jadi aman banget kalo mau make-up tipis-tipis." balasku, Eka juga setuju denganku mengingat dialah yang paling addict dengan barang-barang kosmetik. Bahkan setiap sekolah ia harus memakai lip tint, pensil alis, dan sedikit perona pipi. Namun, Eka terlihat sedikit speechless, rahangnya jatuh untuk sesaat.

Roda Gigi Terkecil SekalipunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang