BAB 1

22 5 14
                                    

Halo, semua.
Baca bismillah sebelum baca tulisan ini. Xixixi.

Happy reading!!

🧑🏻‍🍳🧑🏻‍🍳

Ricko_

Seperti biasa, aku menonton acara masak-masak di TV kamarku. Sudah dua jam aku menonton TV pagi-pagi begini. Biasanya, aku menonton sepulang sekolah atau sesudah les privat. Karena hari ini hari libur nasional, maka aku bisa menontonnya pagi hari. Dan ingat, aku menonton TV ketika orang tuaku tidak ada di rumah, sebab mereka tak suka aku lebih banyak bermain daripada belajar. Apalagi, mereka kurang suka dengan hobiku, yaitu memasak.

Mereka pikir aku hanya menghabiskan waktu untuk belajar memasak, bukan malah belajar agar bisa masuk sekolah favorit pilihan ibu.

Kami termasuk keluarga cukup. Yah, bisa dibilang golongan menengah ke atas. Ayah punya perusahaan di bidang batu bara, sedangkan Ibu punya toko butik di pusat kota. Walaupun hari libur begini, ayah bisa saja ada panggilan kerja. Sungguh sibuk. Kalau ibu, bisa juga sih, tergantung keadaan. Jika menjelang hari raya atau hari besar lainnya, ibu akan sibuk sekali, sebab permintaan baju baru meningkat pesat.

Aku adalah seorang anak sulung dari dua bersaudara. Aku masih duduk di bangku SMP kelas delapan. Aku bercita-cita ingin menjadi chef laki-laki terkenal. Aku ingin membuktikan pada dunia bahwa bukan hanya perempuan saja yang pandai dan ahli dalam urusan dapur, tapi laki-laki juga bisa. Ya, walaupun orang tuaku menentang karena mereka menginginkan aku menjadi penerus perusahaan, terutama ayahku. Tapi hal itu tidak pernah membuatku menyerah untuk terus belajar masak.

Oh, iya. Aku mempunyai adik perempuan. Dia masih duduk di bangku SD kelas lima. Dia lucu dan menggemaskan. Kita sering bermain bersama, walaupun aku sering menjahilinya, tapi dia tidak benci padaku. Menurutku, adik-kakak berantem itu hal yang wajar. Setuju, kan?

Aku suka memasakkan adikku masakan yang baru saja aku pelajari. Mulai dari makanan berat sampai makanan ringan. Adikku juga salah satu orang yang tahu aku belajar masak secara otodidak selama ini setelah sahabatku—Ali.

Aku percaya bahwa adikku penjaga rahasia yang tepercaya. Panggil saja Rika.

Tok... tok... tok...

“Abang,” terdengar suara adikku dari balik pintu kamarku.

“Boleh Rika masuk?” tanyanya meminta izin.

“Boleh, dong. Buka aja. Pintu enggak dikunci, kok,” ucapku sambil melihat ke arah gagang pintu kamar yang bergerak ke bawah.

“Abang, aku bosen. Buat makanan, yuk! Mumpung ibu sama ayah enggak ada,” adikku memohon sambil memegang tanganku.

“Em, boleh aja. Emangnya kamu mau makanan apa?” tanyaku.

“Gimana kalau camilan dari tahu? Em, stik tahu, Bang!” ujarnya dengan semangat.

“Oke, boleh. Yuk ke dapur.”

**

Kami berjalan menuju dapur yang hanya berjarak tiga kamar dari kamarku. Saat masuk pintu dapur, aku langsung bisa melihat kompor. Di atas kompor ada beberapa laci atau lemari kecil untuk menaruh bumbu-bumbu masakan, berbagai macam jenis mi instan, per tepung-an, dan lain-lainnya.

Di bawah kompor ada lemari kecil juga untuk tempat tabung gas. Di samping kanan kompor ada wastafel lumayan luas. Ah, aku tak tahu berapa ukurannya karena aku tak pernah mengukurnya.

Di samping kiri kompor ada kulkas tiga pintu dan di sebelah kulkas ada tong sampah juga. Ah, sepertinya begitu dulu penggambaran dapur, soalnya adikku sudah tak sabar makan stik tahu.

Dapur Impianku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang