BAB 5

5 3 10
                                    

Assalamualaikum, semuaa.

Ucap bismillah sebelum baca.

Tandai kalau ada typo, yaa.

Happy reading!!

🧑🏻‍🍳🧑🏻‍🍳

Hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan. Ya, sudah sebulan aku lewati dengan belajar masak. Hampir setiap hari aku berlatih. Kini, keahlian memasak ku meningkat. Begitu kata Ali dan Rika. Aku pun merasa begitu. Kegagalan dalam memasak pun akhir-akhir ini jarang terjadi. Usahaku sepertinya tidak akan sia-sia. Jika kalian melihat mataku, seperti ada api yang membara. Saking aku bahagia mempersiapkan lomba memasak, aku melupakan pelajaranku.

"Ko, lo beneran gak bakal masuk les sampai menjelang lomba masak? Ortu lo gak bakal marah?" Ali bertanya sambil menopang dagunya di atas meja dengan tangannya. Ali memandangiku yang sedang memasak di dapurnya. Yap, kali ini aku berlatih memasak di rumahnya. Bukan hanya sekali ini. Namun, sudah beberapa kali jika ada kedua orang tuaku di rumah.

Tenang, semua bahan masakan aku bawa sendiri, kok. Aku juga tau diri. Hehe.
Ibunya Ali juga dekat denganku. Beliau juga tahu aku akan lomba memasak dan beliau mendukungku.

"Iya. Gue bakal liburkan diri sampai lomba tiba. Gue nggak mau persiapan gue buat lomba terganggu. Aman, Li, selagi belum ketahuan, gue aman," jawabku santai.

Aku melirik Ali sebentar. Aku terkekeh dia merenggut kesal.

"Ya, terserah Lo, deh."
Ali beranjak mendatangiku.

"Masih lama?" tanyanya. Mata Ali berbinar kala melihat masakanku yang sangat menggoda. Udang saus Padang.

"Bentar lagi. Nanti, ah. Jangan disentuh dulu!" Kupukul pelan tangannya menggunakan gagang spatula saat Ali mengambil sendok hendak menyicipi, namun aku cegah.

"Yeu, Lo, mah," ucap Ali sambil kembali ke tempat duduknya.

"Lo udah nentuin menu yang bakal dibawa buat lomba?" lanjut Ali bertanya padaku.

Ku matikan kompor dan ku pindahkan masakan ke piring yang sudah kusiapkan.
"Udah, dong. Udah jauh hari malah," jawabku.

"Udah pernah dibuat? Kok gue belum pernah lihat?" tanya Ali penasaran.

"Emang Lo harus tahu? Rahasia, dong. Dijamin enak banget!"

"Diih," sahutnya.

"Nah, makan, nih. Cobain. Kalau ini enak, menu lomba besok lebih enak." Ku hidangkan di depan Ali. Aku menggeleng saat dia tak sabar menyicipinya.

"Gue panggil tante dulu, deh. Biar bisa menyicip juga. Masa iya, gue udah numpang dapurnya malah gak gue kasih," ucapku menyeringai.

Ali yang sedang makan malah terfokus dengan panggilanku kepada ibunya.

"Tuh, kan! Kita udah sahabatan dua tahun dan Lo masih manggil emak gue, Tante? Panggil 'Emak", Li. Emak."

"Hehehe, gue ngerasa aneh, Li," ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Ya elah, kenapa, deh. Pokoknya panggil emak gue, 'Emak". Yang ada emak gue yang aneh Lo panggil tante," sahur Ali sambil melanjutkan makannya.

"Iya, iyaaa. Dah, lah. Gue mau ke depan manggil emak."

**

Rumah sederhana dengan empat kamar itu adalah tempat tinggal si Ali. Sebuah bangunan kecil di depan rumahnya adalah warung emak Ali. Terkadang, Ali pun ikut menjaga warung sederhana emaknya. Abahnya Ali punya bengkel motor di depan gang rumah mereka. Abahnya jarang di rumah kalau siang-siang begini, ya, karena sedang kerja.

Aku memanggil emak untuk makan siang bersama.

"Mak, Ricko udah selesai masak, nih. Yuk makan siang dulu," ujarku pada Emak.

Emak berjalan ke arahku. Aku memang berada di depan pintu warung beliau. "Sudah selesai? Ya sudah, ayo makan!"

Aku berjalan beriringan dengan emak.
"Makasih banyak, Ricko. Emak jadi nggak enak. Masa emak dimasakin," ucap emak sambil mengelus kepalaku.

"Ih, gak papa, Mak. Aku yang makasih udah dipinjamkan dapur." Aku terkekeh.

"Kapan lagi Emak dimasakin, kan? Seorang ibu juga berhak untuk dimasakin. Kan, bukan kewajiban seorang ibu untuk masak," lanjutku.

"Haha, bener kamu. Tapi kalau mengharapkan masakan Ali yang ada Emak yang rugi." Mendengar jawaban Emak, kami pun tertawa.

**

"Masyaallah, ini enak banget, Nak!" Mata emak berbinar saat satu suapan pertama menyentuh lidahnya.

"Emak yakin kamu bakal menang," lanjutnya.

"Alhamdulillah, hehe. Makasih, Mak." Emak pun mengangguk melanjutkan makannya.

Setelah kami selesai makan siang, emak pun berkata lagi.
"Orang tua kamu masih belum tau? Nggak berniat kasih tau?"

Aku menggeleng pelan. "Enggak bakal diizinin, Mak. Aku bisa ke sini aja, ngomongnya mau les," ucapku tersenyum kecut. Bahkan orang tua kandungku pun tak tahu. Orang tua temanku yang tahu.

"Nggh, Emak tau perasaan kamu. Tapi kalau di awali dengan kebohongan apa nggak bahaya? Setidaknya coba ngomong baik-baik sama orang tua. Mana tahu mereka buka hati. Emak hanya takut, bakal ada kejadian gak baik kedepannya," ujar emak sambil mengelus pundakku. Beliau tersenyum tulus padaku.

Aku melirik sekitar. Aku kembali menggeleng. "Enggak, deh, Mak. Nggak bakal bisa," jawabku.

Emak beranjak untuk menyimpan piring. Ali pun sama. Ali melirikku sebentar dan menghela napas.

"Ya udah, nggak papa. Emak sama Ali tetap dukung keputusan kamu. Ada kami di sini. Jangan lupa belajar juga, Nak. Satu bulan lagi ujian."

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum pedih. Apakah aku se lalai itu?

🧑🏻‍🍳🧑🏻‍🍳

Ucap alhamdulilah setelah baca bab ini.

Bagaimana dengan bab ini?
Garing atau hambar?

Maaf banget telat up, yaa. Hari ini isi kepalaku berisik banget. Wkwkwk.

Makasih yang sudah menyempatkan membaca.

Terima kritik dan saran, yaaa.

Jangan lupa vote and comment.
⬇️🌟

Dapur Impianku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang